Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (6)

Novel


 Ninien Supiyati 


"Baiklah untuk rangking pertama dengan jumlah nilai 88 diraih oleh Haryadi ranking kedua, dengan jumlah nilai 85 diraih oleh Satria, ranking ketiga dan keempat sama nilainya diraih oleh Yanto dan Yudi Ari dengan nilai 84 dan rangking kelima dengan jumlah nilai 83 diraih oleh Sandi Irawan." 

Selanjutnya pak Sarif membagikan raport sampai habis. Ternyata ada tiga siswa yang terpaksa harus tinggal kelas.

oOo

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, oh nak Sandi, silahkan masuk," jawab Bu Hadi Ibu Ningrum, sambil membukakan pintu,

"Tumben pagi-pagi kesini, sebentar Ibu panggilkan Ningrum, silahkan duduk dulu," bu Hadi masuk untuk memanggil Ningrum yang sedang berada di dapur. 

oOo

"Ningrum, Sandi itu ayahnya orang yang terpandang di masyarakat kita, kamu jangan bergaul terlalu jauh dengannya, lagi pula kamu belum cukup dewasa untuk urusan cinta," kata sang ibu sambil mengambil alih pekerjaan Ningrum. 

Bu Hadi bisa membaca gelagat Sandi yang menaruh hati pada Ningrum. Sebagai orang tua, bu Hadi merasa harus hati-hati menjaga anak gadisnya yang menginjak usia remaja. 

"Tidak bu, Ningrum tidak ada perasaan apa-apa dengan Sandi, dia hanya sekedar teman belajar, sama seperti teman-teman Ningrum yang lain," memang Ningrum tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Sandi. Ningrum hanya merasa bawa Sandi banyak membantunya dalam hal pelajaran. Kedudukan Sandi dalam hatinya sama seperti Sundari. Rasanya seperti kakak beradik. 

"Sana, temui dia dan buatkan dia minum dulu," kata ibu. Ayah dan ibu Ningrum selalu mendidik putra-putrinya untuk selalu memuliakan tamu, siapapun tamu itu. 

"Ya Bu," jawab Ningrum singkat, sambil beranjak untuk membuat segelas teh manis.

"Tumben pagi-pagi sudah ke sini," kata Ningrum sambil meletakkan segelas teh manis di atas meja, 

"ada yang perlu dibahas?" tanya Ningrum. 

"Tidak ada yang penting," jawab sandi sambil menggeser duduknya lebih nyaman lagi. 

"Kemana acara liburan minggu ini? " 

"Tidak ada acara, di rumah saja membantu ibu. Kamu acara ke mana?" 

"Rencana bertiga bersama Rizky dan Alfian mau ke Sedudo, naik angkutan umum sampai Sawahan, terus kita jalan kaki ke-Sedudo."

"Kapan berangkat?" 

"Rabu lusa, Bagaimana jadi ikut?" 

"Ayah tidak mengijinkan" jawab Ningrum 

"Ya sudah, nggak usah pergi kalau orang tua tidak mengizinkan." 

"Ayo, di minum tehnya" Ningrum mempersilahkan 

"Ayah ibuku tidak keberatan aku mendaki, asal ada temannya," kata Sandi sambil menghirup sedikit teh panas buatan Ningrum. 

"Manis..seperti orangnya," kata Sandi sambil melirik ke arah Ningrum. Tidak ada ekspresi di wajah Ningrum. 

"Wah..bisa-bisa dikerubuti semut aku. Aku mau ikut jadi semutnya"  

"Bisa saja kamu" balas ningrum

"Setelah lulus nanti rencana mau melanjut kemana?" tanya Sandi. 

"Tidak tahulah, mengikuti orang tua saja" jawab Ningrum 

"Baiklah.. Aku pamit dulu, kedatanganku sebenarnya cuma ingin memastikan kamu jadi ikut atau tidak"

"Dihabiskan dulu tehnya." 

oOo

Hari Rabu Pagi beberapa teman Sandi berkumpul di rumah Sandi. Akhirnya mereka berangkat bertiga, karena Ningrum tidak jadi ikut. Tawa Ria dan senda gurau mengiringi sepanjang perjalanan menuju Sawahan. 

Jam tujuh pagi mereka sudah sampai Pasar Sawahan. Jalan menuju Sawahan ke Sedudo dilanjutkan dengan berjalan kaki. Jarak pasar Sawahan-Sedudo sekitar tiga kilo meter. Pagi itu udara masih sangat segar. Sepanjang perjalanan terhampar sawah yang luas, dan sejauh mata memandang, yang tampak adalah warna hijau yang menyejukkan. 

"Tak usah terburu-buru jalannya, santai saja, " kata Sandi pada Alfian yang jalannya terlalu cepat.

"Aku ingin segera sampai di tempat tujuan, menikmati dinginnya air terjun." 

"Belum sampai ke air terjun kamu sudah K. O duluan Fian," Fian adalah panggilan Alfian di lingkungan teman-temannya, 

"kamu akan cepat capai kalau begitu caramu berjalan."

"Lihat itu di samping kiri, pohon-pohon cengkeh yang sudah mulai berbunga," kata Rizky. 

"Hello friend kita jalan sama-sama yuk," ternyata bukan hanya rombongan Sandi saja yang pagi itu menuju Sedudo. Serombongan pemuda lain seusia mereka mendahului sambil menyapa rombongan Sandi. 

"Silahkan duluan, kami sedang menikmati perjalanan Ini," kata  Sandi. Sandi benar-benar menikmati perjalanan ini, tidak sekilas pun bayangan Ningrum melintas di benaknya. Lain halnya ketika Sandi sedang sendiri di kamar rumahnya, bayangan Ningrum hampir setiap saat muncul.

"Istirahat dulu, yuk kita minum dan makan kue," kata Alfian 

"Tadi ibuku membekaliku, pisang rebus, ini ada juga makanan kecil," mereka istirahat dulu sebelum mencapai tanjakan yang paling terjal. Beralaskan rumput, mereka duduk bertiga di bawah naungan rerimbunan pohon-pohon yang tidak terlalu tinggi.

"Enak sekali pisang rebusmu Fian," kata Rizky.

"Apapun makanan asal layak, pasti enak kita makan di tempat seperti ini," kata Sandi sambil mengambil sebuah pisang rebus itu. 

Hanya sekitar sepuluh menit mereka beristirahat. 

"Ayo kita melanjutkan perjalanan," ajak Sandi "kalau terlalu lama beristirahat kita jadi malas untuk melanjutkan perjalanan." 

Setelah merasa cukup beristirahat, mereka bertiga melanjutkan perjalanan. Kali ini akan menempuh tanjakan paling terjal, diantara tanjakan-tanjakan lainnya, menanjak kemudian membelok dengan tajam. 

"Untung kita hanya berjalan kaki, andaikata kendaraan bermotor bagaimana ya? Ekstra hati-hati mungkin, " kata Alfian sambil menghunjamkan tongkat pramukanya ke tanah. Kali ini perjalanan mulai benar-benar penuh tantangan dan melelahkan. 

"Hai... Riz, Fian... Cobalah berjalan mundur, betapa indahnya pemandangan di bawah sana," teriak Sandi sambil berjalan mundur. 

"Wow benar-benar mengagumkan, Subhanallah " kata Rizki. 

Setelah menempuh sekitar 15 menit perjalanan, mulailah terdengar suara binatang-binatang kecil penghuni hutan bersahut-sahutan,  mengiringi Sandi dan kawan-kawan sepanjang perjalanan. Luar biasa, aransemen musik terbagus di dunia. Siapa yang mampu menandingi menciptakan paduan nada seindah itu. 

Allahuakbar 

Hati manusia mana yang tak tersentuh oleh alunan musik semerdu itu? Hati siapa yang mampu untuk tidak mengucapkan tasbih dan takbir? Semua itu paduan alunan nada dan irama binatang-binatang penghuni hutan yang mampu menghapus rasa lelah setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam. 

Udara dingin mulai menusuk kulit, selang beberapa menit kemudian terdengar gemercik air terjun yang yang menambah semaraknya alunan musik alami itu. Gemercik air terjun itu semakin terdengar jelas, seiring langkah kaki. 

Akhirnya sampailah mereka di penghujung jalan, suara air terjun terdengar semakin keras. 

Setapak demi setapak mereka menuruni tangga yang konon, kalau dihitung dari atas dan dari bawah jumlahnya tidak sama. Udara terasa semakin dingin, semakin ke bawah menuruni anak tangga semakin dingin rasanya, bahkan terasa butir-butir air menerpa wajah. Akhirnya sampailah mereka pada anak tangga paling bawah. 

oOo

"Alhamdulillah.... akhirnya sampailah kita ada tujuan. Ayo kita mandi," teriak Alfian. 

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua setengah jam rasa lelah yang luar biasa itu terobati sudah. Air terjun ini terletak di kaki Gunung Wilis, dan dikelilingi oleh pemandangan yang sangat indah, karena terletak di tengah hutan yang masih alami. 

Kabar yang beredar, kalau mandi di  air terjun Sedudo orang bisa awet muda. Wallahualam. 

Banyak remaja yang mandi di kolam tempat air terjun itu berlabuh, ada yang hanya duduk berendam, ada yang duduk tepat di bawah air terjun, ada yang bermain kejar-kejaran dan saling melempar air ke wajah. Dingin luar biasa memang, tetapi kalau sudah terjun ke dalam air, rasa dingin itu tidak terasa lagi. 

Sejauh mata memandang ke atas, tidak terlihat oleh mata dari mana sumber air terjun tersebut. Mungkin karena cuaca yang sedang berkabut. Air terjun Sedudo adalah air terjun tertinggi di Jawa Timur. 

Setelah puas bermain air, akhirnya mereka keluar dari kolam dan bergegas untuk berganti pakaian dan kemudian pulang. Tak terasa memang hari sudah mulai siang, jangan sampai kemalaman di perjalanan. Persiapan perjalanan pulang sudah selesai. Satu persatu kembali mereka menaiki anak tangga. 

Rasa capai mulai menghinggapi sekujur tubuh, rasa puas menghapus rasa lelah itu. 

Hanya ada satu warung dalam perjalanan dari desa Ngaliman sampai ke Air Terjun Sedudo. (pengalaman penulis yang pernah kesana berjalan kaki tahun 1975, sekarang kendaraan roda empat bisa sampai Sedudo). 

Setelah melalui hutan belantara, diketemukanlah warung, mereka bertiga beristirahat untuk makan dan sekedar mencari minuman untuk menghangatkan badan. Alfian makan duluan, iya keluar dari warung dan duduk duduk di rerumputan, sambil menikmati keindahan alam disekitarnya. 

Semilirnya angin membuai Alfian sehingga rasa kantuk menghinggapinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.30. Tiba-tiba.. terdengar suara jeritan Alfian yang mengaduh kesakitan. (bersambung).

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (6)"