Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (18)

layang-layang ditelan badai



Ninien Supiyati

Sementara itu malam itu juga di rumah makan Indonesia, disudut ruangan yang cahayanya kurang terang, berkumpul dua orang pemuda dan seorang setengah baya. 

Tak jelas apa yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian datang seorang pemuda dengan tergesa gesa.

“Beruntung aku melihat mobilmu parkir di depanku. Aku segera putar balik mengantar gadisku pulang.” kata pemuda yang baru datang tadi. Mereka bertiga terlibat pembicaraan yang serius.

Sekitar lima belas menit kemudian, masuklah turis wanita asing kedalam rumah makan tersebut. 

Wanita asing itu tidak segera mencari tempat duduk, tetapi pandangannya menyapu kesana kemari seperti ada yang sedang dicari. 

Akhirnya wanita asing tersebut menemukan tempat duduk bersebelahan dengan pemuda yang baru datang tadi. Pemuda dan teman temannya tidak menghiraukan kedatangan turis wanita asing di meja sebelahnya.

Wanita asing bule tadi mengenakan celana jeans warna biru, kaos lengan pendek tanpa kerah berwarna pink, dan ada gambar candi Borobudur dibagian dadanya, rambut pirang sebatas bahu yang dipotong oval. 

Rambut sebelah kanan disisir kedepan sehingga menutupi sebagian wajahnya, menggunakan kaca mata minus agak kebiruan, dan menenteng tas tangan berwarna merah tua.

“Excuse me mom,” sapa seorang pramusaji sambil menyodorkan menu masakan.

“Can you speak Indonesia,” tanya pramusaji lagi.

“No,” jawab turis tadi singkat. Kemudian turis tadi meneliti satu persatu makanan dan minuman yang tercantum pada daftar menu.

“I like this,” jawab turis asing wanita tadi singkat, sambil menunjuk salah satu masakan yang ada dalam daftar menu. 

Tanpa disadari oleh turis wanita tadi, ketiga orang yang ada disebelahnya memperhatikan pembicaraan mereka.

“Dia tidak mengerti bahasa Indonesia, kita bisa leluasa,” kata salah seorang diantara mereka.

“Bagaimana Anton, apakah sicantik sudah dilamar orang?” tanya pemuda yang baru datang tadi pada salah satu rekannya yang dipanggil Anton. 

“Sudah bos tapi maharnya menyusul,” jawab Anton pada pemuda tadi.

“Tidak bisa,” kata pemuda yang dipanggil bos 

”kamu lepas dia?”

“Tidak bos.”

“Bagus awasi pelamar itu, jangan-jangan hanya menyamar”

“Aku yakin tidak, dia bawaan sibogel, aku sudah kenal lama dengannya,” jawab pemuda yang dipanggil Anton. Bogel adalah teman kerja mereka.

“Ok tanya sekali lagi, kapan kepastiannya bisa diambil, dan bilang jangan macam-macam”

“Aku jamin bos, dia suka juga pada sicantik”

“Habiskan makananmu, kita ketemu lagi hari Minggu di Gudeg Bu Syamsi, jam 8.00 pagi.” Pemuda tadi melirik kearah tempat duduk turis asing. 

Turis asing makan dengan lahapnya tanpa mempedulikan pemuda dan kawan-kawannya tadi.

“Minggu besok atau Minggu depan bos?”

“Minggu depan sajalah, besok aku masih ada urusan lain.”

Merekapun membubarkan diri, kembali ke kendaraan masing-masing. Seorang lagi yang setengah baya, tidak ikut terlibat dalam pembicaraan tadi, dia hanya mendengarkan saja. 

Turis wanita yang ada di meja sebelah kawanan tadi tidak segera meninggalkan meja, tapi mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dan menuliskan sesuatu. 

Beberapa saat setelah kawanan tersebut pergi, barulah turis tersebut keluar dari rumah makan dan mengendarai sebuah mobil bersama sopirnya. 

oOo

Haryadi mengayuh sepedanya dengan santai sepulang dari kuliah. Santai saja Haryadi bersepeda sendirian, sambil menikmati sejuknya udara Yogyakarta karena habis hujan. 

Langitpun kembali terang, matahari bersinar tidak terlalu terik. Waktu masih menunjukkan pukul 10.00 ketika kuliah usai. 

Pikirannya menerawang jauh kepada kekasihnya yang tidak ada berita sama sekali. Sudah dua kali ditulisnya surat untuk Ningrum, tapi tak pernah ada balasan. 

Tiba-tiba seseorang menyrempetnya dengan sepeda motor dari belakang, Haryadi bermaksud menghindari genangan air yang ada didepannya. 

Tak sadar bahwa hal itu membahayakan dirinya karena lalu lintas sangat padat. Haryadi terjatuh, untung tidak sampai luka parah, hanya lecet-lecet saja tangan dan keningnya. Pengendara sepeda motorpun terjatuh dan tidak mengalami luka-luka. 

“Lain kali jangan nglamun kalau dijalan umum,” kata pengendara sepeda motor.

Haryadi menoleh pada orang itu. Orang-orang disekitarnya berkerumun untuk membantu mereka.

Tiba-tiba sebuah mobil Fiat menepi,  menghampiri kerumunan orang-orang tersebut. Rosa keluar dari mobil, berdiri diantara kerumunan orang. Dia kaget melihat wajah si pengendara sepeda motor.

Namun belum sempat ia menegur, si pengendara motor terburu-buru meninggalkan lokasi.

Melihat korban tidak mengalami luka yang berarti, pengendara sepeda motor itupun segera berdiri dan melarikan sepeda motornya dengan sangat tergesa-gesa.

“Kamu tak apa-apa?” tanya Rosa pada Haryadi.

“Tidak hanya lecet-lecet sedikit”

“Aku antar pulang ya, sepedamu dititipkan dulu di warung depan itu”

“Tidak usah aku tidak apa-apa, masih bisa naik sepeda kok.”

“Ya sudah kalau ada apa-apa hubungi aku, ini alamatku,” kata Rosa sambil memberikan kartu nama.

Haryadi menyimpan kartu nama tersebut, dan segera mengayuh sepedanya lagi. Kali ini tidak bisa santai seperti tadi, dia harus segera sampai dirumah dan menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. 

Ternyata kuliah di Fakultas Kedokteran amat berat. Begitu banyak materi dan tugas yang harus diselesaikannya. 

Mungkin Ningrum juga sepertiku, pikir Haryadi. Banyak tugas, hingga tak bisa menjawab surat-suratku 

oOo

“Minggu besok bisa antar aku untuk menghadiri acara dirumah teman?” tanya Rosa kepada Andri.

 ketika mereka sedang berada di mobil dalam perjalanan untuk nonton. Hari itu malam Minggu, seperti biasa Rosa dan Andri menghabiskan waktunya dimalam panjang yang sejuk.

“Jam berapa?”

“Pagi sekitar jam 9.00”

“Maaf aku tidak bisa, besok aku juga ada acara dengan keluargaku. Lain kali saja.”

“Ya sudah tidak apa-apa kalau tidak bisa. Keluarga utamakan dulu,” jawab Rosa.

Malam itu bioskop sangat ramai, penontonnya sangat padat. Hingga membeli tiketpun harus mengantri panjang. 

Maklum judul film bioskup malam itu adalah “Malam Penganten”. Judul yang lagi trend saat itu dan dibintangi antara lain oleh Lenny Marlina, WD Muchtar. 

Mereka adalah bintang-bintang yang lagi ngetop saat itu. Akhirnya Andri mendapatkan tiket masuk. Mereka duduk dibangku deret kedua dari belakang. 

Selama pertunjukan, angan-angan keduanya melayang ke mana-mana, tidak terfokus pada jalan cerita. Rosa terbang dengan angan-angannya sendiri, yang akan mengunjungi budhenya yang lain di Yogya juga.

Sedangkan Andri dengan angan-angannya juga, ia akan ada pertemuan dirumah makan. 

Akhirnya pertunjukanpun usai, mereka tidak segera pulang tapi makan dulu di rumah makan Indonesia.

“Nanti kamu merasa tidak enak badan lagi kalau makan disini,” ejek Rosa.

“Tidaklah….minggu lalu itu memang aku benar-benar tidak enak badan”

“Ya sudahlah, tidak perlu dibahas,” kata Rosa. 

Merekapun turun dari mobil dan mengambil tempat duduk yang agak jauh dari lalu-lalang pengunjung.

Tiba-tiba di meja sebelah kanan mereka, duduk seorang turis asing wanita sendirian.  

Andri agak terkejut melihat turis asing tadi. Rosa melihat adanya perubahan pada wajah Andri, Rosa hanya tersenyum saja.

“Can you speak Indonesia,” tanya pramusaji.

“No,” jawab turis asing tadi singkat

“Wich one do you want,” tanya pramusaji sambil menyodorkan daftar menu makanan dan minuman. Turis asing tadi meneliti satu persatu daftar menu makanan.

“This one,” jawab turis wanita asing  tadi singkat, sambil menunjuk salah satu masakan pada daftar menu.

Andri tak habis pikir, matanya tak berkedip sedikitpun mengawasi turis asing tadi.

“Aneh sungguh aneh, kok bisa ya.,” pikir Andri.

“Melamun…?” tanya Rosa sambil menggerakkan tangannya didepan mata Andri dengan gaya seakan akan menangkap sesuatu yang menjadi angan-angan Andri.

“Minggu yang lalu…ah tidak..Tidak ada apa-apa. Sudah pesan makanan?” tanya Andri mengalihkan pembicaraan.

“Sudah, tapi kok lama belum dikirim juga,” jawab Rosa.

“Pengunjungnya terlalu banyak mungkin, maklum malam Minggu sih,” kata Andri sambil sesekali melirik kearah turis asing tersebut. (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (18)"