Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (19)


jendela hati

Ninien Supiyati

Tak lama kemudian makanan dan minuman pesanan Rosa dibawakan oleh pelayan. Selama menikmati makanan, tak banyak yang mereka bicarakan. 

Setelah selesai makan, mereka meninggalkan tempat duduk. Andri beranjak menuju ke kasir, Rosa mengikuti dari belakang. 

Rosa berhenti sejenak dan menoleh pada turis asing tadi. 

Tak dinyana, turis asing tersebut mengerdipkan mata dan tersenyum pada Rosa. Rosa hanya menganggukkan kepalanya, sedikit. 

Karena ia tidak tahu, apakah turis asing tersebut tersenyum kepadanya atau ke orang lain. Ia hanya berusaha membalas, meski penuh keraguan. 

Rosa bergegas melangkah mengikuti langkah Andri kembali ke mobil. 

Sedangkan turis asing tersebut nampak menuliskan sesuatu di buku kecilnya.

oOo

Rumah makan khusus gudeg Yogya Bu Syamsi, hari ini cukup ramai.

Pengunjung gudeg Bu Syamsi tidak hanya warga Yogya, banyak juga pembeli dari luar kota, bahkan beberapa dari Mancanegara.

Ruangan utama rumah makan tersebut cukup luas. Ada tempat makan lesehan, ada juga meja makan layaknya tata hidang ada umumnya. 

Tempat area lesehan tidak benar-benar lesehan, namun diatas papan kayu, yang tingginya tidak melebihi lutut orang dewasa. 

Tempat area lesehan ini cukup luas. Cukup untuk beberapa keluarga sekaligus. 

Disudut ruangan di dalam rumah makan terdapat panggung kecil. Panggung itu digunakan untuk acara hiburan yang disuguhkan kepada para tamu.

Hiburan yang disuguhkan beragam, namun selalu bernuansa tradisional jawa. 

Disalah satu sudut rumah makan, sekelompok pemuda sedang berkumpul. 

Salah seorang diantaranya selalu dipanggil bos oleh mereka. Dia adalah seorang pemuda berperawakan tegap. Rambutnya dibiarkan panjang hampir sebahu, dan kumisnya tebal. Seolah tak ingin kalah dari kumisnya, alis si bos ini juga cukup tebal. 

Pemuda yang dijuluki bos ini memiliki tanda lahir berupa tahi lalat pada dagu sebelah kanan.

Kelompok mereka berjumlah lima orang. Entah apa yang mereka bicarakan, mereka asyik ngobrol, meskipun sambil makan. 

Tak lama kemudian datanglah seorang turis asing, wanita. Dia mengambil tempat duduk dimeja tak jauh dari mereka. Turis tersebut mengenakan celana jeans hitam, dan kaos berwarna pink. 

Rambut pirangnya dipotong oval sebatas bahu, sebagian rambutnya menutup wajahnya. Kaca mata berwarna agak kebiruan dan tas tangan warna merah digunakan sebagai pelengkap penampilannya. 

Tak lama kemudian seorang pelayan wanita mengenakan kaos bertuliskan “Gudeg Bu Syamsi” datang menghampirinya. Ternyata pelayan tersebut sangat lancar berbahasa Inggris. 

Kini antara turis wanita dan pelayan tersebut terlibat saling bincang.

Di sudut yang lain, obrolan sekelompok pemuda tadi nampak semakin hangat.

“Kamu jadi melamar si cantik?” tanya pemuda yang dipanggil bos kepada salah seorang diantara mereka.

“Jadi dong, masak sudah ketemuan tidak jadi dilamar?” jawab orang yang ditanya bos.

“Maharnya harus kontan”

“Baik, ini aku sudah bawa uang kontan”

“Ha..ha..ha…bagus…bagus!” kata bos sambil menerima uluran tiga buah  amplop panjang berwarna coklat yang sangat tebal. 

Masing-masing amplop setebal kurang lebih sejari orang dewasa. 

“Aku hitung dulu. Awas kalau kurang! kamu tak akan kubiarkan pergi,” kata si bos tadi. Si bos berpindah tempat duduk. Dia mengambil kursi agak mojok agar tidak terlihat oleh para pengunjung.

Bos membuka amplop tebal tersebut. Ada tiga amplop yang ia terima. Dia menghitung satu-persatu lembaran-lembaran uang tersebut. 

Bos belum beranjak dari tempatnya menghitung uang, tiba-tiba lewat pelayan yang tadi berbincang dengan si turis wanita. 

Secara mendadak bos memanggil pelayan yang baru saja mengantarkan pesanan turis asing wanita tersebut.

“Pelayan…sini, bawakan lap. Ini ada minuman yang tumpah,” kata si bos 

“Injih ndoro..,” jawab pelayan tadi dengan sangat hormat.

Sementara itu permainan keroncong sudah dimulai. Alat-alat yang dipakai sederhana sekali. Hanya terdiri dari ukulele, bas betot dan biola serta seorang penyanyi wanita. 

Mengetahui pertunjukan keroncong sudah dimulai, si bos tiba-tiba menyambar jacket kulitnya yang tersandar pada kursi, dan cepat-cepat mengenakannya. 

“Pakai jaketmu, cepat!” perintah si bos pada salah seorang rekannya.

“Kamu bayar kekasir cepat!” 

“Dan kamu, kembali ke kendaraanmu sekarang dan pergi, cepat!” perintahnya pada seorang rekan lainnya.

Teman-temannya belum memahami situasi, hanya menuruti semua perintah si bos. Apalagi si bos kini nampak begitu tegang.

Tak lama, pelayanpun datang sambil membawa kain untuk membersihkan minuman yang tumpah. 

Dengan gerakan tiba-tiba, si bos  menggelayutkan tangan kanannya pada pundak pelayan tersebut. Si pelayan, yang kaget dengan tindakan tersebut, hampir saja berteriak.

Namun belum sempat ia berteriak, si bos menempelkan sesuatu pada lehernya. Entah, benda apa itu, namun terasa dingin di kulit lehernya.

“Jangan berteriak! kalau tak ingin pisau  ini merobek lehermu. Ayo berdiri!” bisik si bos

Tidak ada satupun pengunjung yang tahu akan kejadian tersebut. Karena semua perhatian sedang tertuju pada pertunjukan musik keroncong. 

Mengetahui aksinya berjalan lancar dan tidak ada perlawanan, si bos melanjutkan aksinya. 

Ia mengajak si pelayan untuk keluar ruangan. Mereka keluar ruangan seperti sepasang kekasih. Tangan kanan si bos merangkul sipelayan, dengan pisau masih menempel di leher.

Keadaan semakin menguntungkan bagi si bos. Karena pisau yang ia tempelkan kini bisa tertutup rambut tebal si pelayan.

Pelayan tidak berani berbuat apapun, karena ia merasakan pisau di lehernya menempel semakin kuat. Mereka berdua berjalan menuju mobil.

Sementara itu, salah satu rekan bos yang lain juga melakukan aksi yang sama. Diam-diam dia menempelkan pisau kecil di leher turis wanita. Aksinya juga berjalan lancar.

Pisau ditempelkan di leher si turis, dan tidak ada seorang pun yang tahu. Karena pisau lipat tersebut tertutup rambut pirangnya

“Jangan berteriak! Ayo jalan,” kata si penodong

Bos dan pelayan sudah di dalam mobil. Si sopir sudah sedari tadi menyalakan mesin mobilnya. Hanya menunggu rekannya yang bertugas membawa si turis wanita. 

Begitu rekannya berhasil membawa si turis keluar dan masuk mobil, mobil segera meluncur meninggalkan rumah makan.

“Ikat tangannya, dan bungkam mulut mereka pakai ini,” kata si bos sambil melempar lakban warna coklat. 

Tanpa banyak bicara, rekan si bos langsung melaksanakan perintahnya. Ia menutup mulut kedua wanita tersebut menggunakan lakban.

Si pelayan dan turis wanita hanya saling berpandangan dengan tatapan mata penuh ketakutan. Mereka tidak sanggup membayangkan, nasib apa yang akan menimpanya.

Begitu takutnya, hingga mereka tidak menyadari bahwa kedua tangannya sudah diikat kebelakang dengan kain yang cukup kuat. Tidak ada yang bisa mereka lakukan.

Mobil terus melaju menuju pinggiran kota Yogya. 

Di hutan tidak jauh dari kota, tiba-tiba mobil berbelok menuju jalanan kecil. Tidak ada yang menduga bahwa di hutan tersebut ada jalan yang cukup untuk dilalui mobil. Meskipun harus menerobos semak belukar.

Tidak ada percakapan di dalam mobil. Namun kedua perempuan di dalam mobil tersebut, berusaha mengingat jalur yang dilaluinya sejak awal. 

Tidak lama kemudian nampak sebuah rumah tidak berpenghuni. Semak belukar dan tanaman liar di halamannya membuat orang yakin, rumah itu sudah lama tidak ditempati manusia. Bahkan banyak tanaman rambat yang menjalar di tembok hingga ke atapnya. 

Tidak ada rumah lain di kiri dan kanannya. Mobil segera berhenti. Salah satu rekan si bos turun untuk membuka pintu garasi. 

Tanpa dikomando sopir memarkir mobilnya di garasi yang tidak luas tersebut.

Mereka segera keluar. Pelayan dan turis wanita ditarik keluar mobil. Karena tidak bisa menjaga keseimbangan, si pelayan terjatuh dengan bertumpu lutut disamping pintu mobil. 

Ia hanya bisa meringis menahan sakit. Karena mulutnya tertutup lakban. Sementara kedua tangannya masih terikat kuat di belakang.

Rumah itu ternyata benar-benar tidak berpenghuni. Banyak sarang laba-laba, debu yang menempel di lantai juga cukup tebal. 

Tidak ada perabot apa pun. Hanya ada bangku panjang di belakang pintu ruang utama. 

Sepertinya penghuni rumah ini meninggalkan rumahnya melalui pintu garasi. Karena pintu utama tidak dikunci, hanya diganjal bangku kayu. 

“kalian berdua akan kubunuh! Agar arwah kalian tenang di alam sana, kalian harus tahu siapa aku" kata si bos. 

Bos melepas rambut dan kumis palsunya. Tidak berhenti disitu, ia juga menghapus tahi lalat palsu didagu kanannya. Terbelalak mata si pelayan, mengetahui wajah asli salah satu gerombolan yang telah membawanya kesini.

“Eemmmhhhh..!!!” tidak ada kata yang bisa diucapkan. Hanya geraman dan mata yang melotot, yang bisa ia lakukan

“Kau kira aku bodoh hah!” bentak bos sambil mengangkat dagu si pelayan.

Wajah mereka kini berhadapan, saling berdekatan. 

“Aku tahu kau menyamar menjadi turis asing, dan mengikutiku di rumah makan Indonesia seminggu yang lalu" bos mulai membuka tabir

"Penyamaranmu sempurna. Bagus sekali. Tapi kau lupa, kau tidak memakai sarung tangan!” 

Pernyataan si bos membuat si pelayan bertanya-tanya dalam hati. Apa maksudnya? 

"Tahi lalat besar ditangan kananmu, mengingatkan aku pada seseorang yang aku cintai…dan aku yakin itu adalah…kamu!” kata bos tadi sambil mencengkeram wajah pelayan.

Si pelayan semakin ketakutan, karena merasa kedoknya terbongkar. Nafasnya kini kembang kempis. Apalagi ada tangan besar yang menutup wajahnya.

“Dan hari ini kamu menyamar lagi menjadi pelayan. Bagus! tapi kau lupa dengan tahi lalat besar ditangan kananmu itu" kata si bos dengan tangan masih mencengkeram wajah si pelayan

"Dan..rambut palsumu, membuat penyamaranmu hampir sempurna!!!” kali ini si bos menjambak dengan kuat rambut si pelayan.

Si pelayan yang tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu, hampir terjengkang kebelakang. Beruntung ia bisa memundurkan sedikit kaki kanannya, sehingga tidak sampai jatuh.

Ia tidak merasa kesakitan dengan jambakan yang dilakukan si bos. Namun kini rambut palsunya terlepas.

Bos nampak semakin marah mengetahui si pelayan ternyata benar-benar mengenakan rambut palsu. Ia melempar, menghempaskan begitu saja rambut palsu yang kini ada ditangannya. 

Matanya semakin memerah, melotot menahan amarah(bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (19)"