Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (1)

Novel

By. Ninien Supiyati

Ini adalah kisah cinta remaja sekitar tahun 1971 di mana kemajuan teknologi tidak seperti sekarang. Saat itu belum ada HP, pesawat TV saja hanya ada di tempat tertentu yaitu di terminal dan di Kantor Kelurahan. 

"Pergilah tidur Hari sudah larut malam." perintah sang ayah yang tak dihiraukan oleh Ningrum. Hari sudah menunjukkan pukul 23.00 

"Ya Ayah sedikit lagi hampir selesai." jawab Ningrum sambil terus mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru Ilmu ukur ruang, tanpa menoleh pada ayahnya. 

Ningrum yang Nama lengkapnya Respati Ningrum adalah putra kedua dari lima bersaudara. Kakaknya laki-laki sudah berkeluarga, sedang ketiga adiknya masing-masing duduk di bangku SMP, SD dan yang terakhir masih berusia 3 tahun. 

Ningrum yang waktu itu tahun 1971 menginjak usia remaja dan duduk di bangku SMA Kelas 2 jurusan paspal. Ningrum ke sekolah pulang pergi naik sepeda. Angkutan kota belum ada, transportasi umum dalam kota yang ada saat itu hanyalah becak dan pedati. 

Pedati adalah kendaraan yang terbuat dari bahan kayu dan besi yang ditarik oleh seekor kuda yang dikendalikan oleh seorang kusir. Sepeda motor hanya beberapa orang saja yang mempunyai. 

Dalam kota setingkat Kecamatan yang rumahnya jauh sampai belasan kilo meter, pulang pergi ke sekolah dengan naik sepeda. Bagi mereka yang orang tuanya cukup berada mereka kost di kota kecil itu atau naik bis antar kota. Sekolah Menengah Atas Negeri waktu itu siswanya berjumlah kurang lebih 420 orang, hanya 2 orang yang pulang pergi ke sekolah mengendarai sepeda motor. 

Sekolah Menengah Atas waktu itu hanya satu-satunya di kota Kertosono, sebuah kota kecil kecamatan yang terletak di provinsi Jawa Timur. Letak sekolah itu sangat strategis yaitu di tepi jalan raya, Jalan provinsi yang menghubungkan antar kota dalam provinsi. Setiap pulang sekolah banyak siswa yang menunggu Bis Antar Provinsi sebagai angkutan pulang pergi ke sekolah bagi mereka yang tinggal di luar kota. 

Tepat di depan teras sekolah terdapat tanaman pohon beringin yang masih muda belum bisa melindungi orang-orang yang berteduh dibawahnya dari terik matahari. Di sekeliling pagar sekolah terdapat tanaman pohon cemara yang sangat tinggi. 

Ningrum dikenal ramah dan tidak sombong oleh teman-teman di sekolahnya, walaupun Ningrum menduduki jurusan paspal atau jurusan ilmu pasti alam, namun Ningrum banyak berteman dengan siswa jurusan sosial budaya. 

Jurusan paspal adalah jurusan yang betul-betul memeras otak, mereka bisa gila kalau tidak kuat menerima pelajaran. Banyak mereka yang pindah jurusan karena merasa berat menempuh pelajaran di jurusan paspal. Waktu istirahat Ningrum di sekolah, dihabiskan bercanda dengan teman-teman jurusan sosial budaya. 

Ningrum adalah gadis yang berperawakan kecil, berambut hitam Ikal sebatas pundak, imut dan memiliki hidung mancung. Mata tidak terlalu besar tapi tajam, kulit sawo matang, gadis yang lincah. Kepintarannya sedang-sedang saja dan sederhana, teman sekelasnya berjumlah 37 siswa yang terdiri dari 3 siswa perempuan dan 34 siswa laki-laki. 

Ayahnya, Hadi Supriyo, adalah seorang pegawai rendahan di kota kecil setingkat Kecamatan. Sosok pria tua, berambut putih yang sabar dan bijaksana itu bekerja tak Kenal lelah siang dan malam demi membiayai sekolah putra-putrinya. Sepulang kantor ayahnya membantu istrinya yang membuka pracangan yaitu toko kecil yang menjual sembako dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari lainnya.

 Perjuangan sang ayah itu telah mendorong semangat Ningrum untuk belajar lebih giat untuk mencapai cita-citanya.  Ibu Ningrum tidak bekerja. Beliau hanya mengasuh kelima putra-putrinya supaya menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Kondisi ekonomi orang tuanya yang pas-pasan membuat Ningrum menjadi gadis yang ulet dan tangguh. 

Sebenarnya Ningrum ingin menjadi seorang dokter, karena keuangan orang tuanya yang tidak mendukung untuk mencapai cita-citanya, maka Ningrum berkeinginan untuk bekerja sambil kuliah selepas SMA nanti. 

"Melamun ya," colek Sundari teman jurusan sosial budaya. 

"Oh, tidak.." jawab Ningrum terbata-bata. Ningrum sebenarnya sedang gelisah karena tadi dipanggil oleh guru olahraga untuk mengikuti Tri lomba juang. Tri lomba juang adalah lomba lari, loncat dan lompat. Ningrum ditunjuk untuk atlet loncat tinggi. Terakhir dia hanya mampu melompat setinggi 125 cm. 

"Loncatan hanya setinggi itu dikirim ke Kabupaten?" pikir Ningrum. Ningrum tidak berani menolak perintah gurunya. Ningrum sudah mendapat info bawa di SMA Kabupaten loncatan tertinggi untuk wanita adalah 150 cm. d

Dirinya sedang berpikir mampukah meraih kemenangan untuk mewakili sekolah. 

" Pak Hadi, guru olah raga kita, memanggilku menunjuk aku untuk mewakili sekolah mengikuti Tri lomba juang. Menurutmu bagaimana apakah aku bersedia melaksanakannya atau mencari teman lain untuk menggantikanku. Terus terang aku merasa kurang mampu untuk itu. " jawab Ningrum sambil beringsut membetulkan duduknya. Waktu istirahat para siswa biasanya hanya dihabiskan untuk duduk-duduk di tepian lantai teras yang tingginya sekitar 70 cm dari tanah. 

"Terus siapa kira-kira Menurutmu yang akan menggantikanmu. Loncatanmu adalah tertinggi di antara teman-teman perempuan" jawab Sundari sambil menatap tajam wajah Ningrum yang kelihatan gelisah. "Entahlah aku tak tahu jawab Ningrum, sambil memainkan ujung sepatunya untuk menyentuh rumput di bawahnya." "Jangan putus asa Ningrum. Ayo bangkitkan semangat mu, tidak semua bisa dipilih seperti kamu"

 "Kamu dipilih, berarti kamu punya kelebihan dan kamu sudah mempunyai nilai tambah untuk itu." Sundari merangkul pundak sahabatnya. 

"Aw...." teriak Ningrum sambil menutup telinganya sendiri. Secara spontan Sundari melepas tangannya dari pundak Ningrum untuk menutup telinganya juga.

( bersambung )


Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (1)"