Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (5)

Novel

By Ninien Supiyati 

Di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Ningrum tidak menyadari kekagetan Sandi, karena memang Ningrum merasa tidak ada ikatan apapun di antara mereka. 

Ningrum menganggap Sandi seperti kakaknya, karena sifatnya yang lebih dewasa, ngemong dan sering mengajari Ningrum di saat mengalami kesulitan dalam belajar atau menyelesaikan pekerjaan rumah.

Sandi untuk beberapa saat tertegun, rasa cemburu yang luar biasa berkecamuk dalam dadanya. 

"Apakah ini yang dinamakan cinta? Apa sih sebenarnya cinta itu? Mengapa begini sakit rasanya? " peduli amat, Ningrum kan bukan apa-apa aku, pikir Sandi untuk melawan perasaannya sendiri. 

Hanya beberapa detik Sandi tertegun. Tak lama kemudian datanglah Sundari sambil tergopoh-gopoh 

"Habis lemnya, tidak ada aku minta di kantor tata usaha, " kata Sundari.

"Ini pakai isolasi transparan saja, " kata Sundari sambil menyodorkan isolasi kecil. Ternyata Ningrum tidak berdua dengan Eko Prasetyo, sebelumnya juga sudah ada Sundari. 

Sundari pergi ke kantor tata usaha sebentar untuk minta lem kertas. Tak lama kemudian datanglah beberapa panitia lainnya. permohonan Sandi dan kawan-kawan menggabungkan grup volley putri, untuk kelas 2 paspal-2 dan 2 paspal-1 dikabulkan oleh panitia. 

"Terima kasih Sandi, terima kasih Eko... " sambut Ningrum dengan wajah berseri-seri. 

oOo

Ningrum tidak bertubuh atletis, tapi dia menyukai beberapa cabang olahraga, walaupun tidak pernah mendapatkan prestasi pada cabang olahraga tertentu. Bulutangkis, volly, lari, loncat, lompat, merupakan cabang olahraga yang sangat digemarinya. 

Ningrum memeluk Sundari erat-erat saking senangnya. 

"hei,... Memeluknya kok kesitu, sini dong, " kata Prasetyo sambil menunjuk dirinya. 

"Kau peluk itu daun pintu, " ujar Sundari sambil melepaskan Ningrum pelan-pelan. 

"Sampai ketemu di arena sayang.." ucap Sandi sambil memeluk daun pintu dan meninggalkan ruangan. 

"Gerr... " mereka yang ada dalam ruangan tertawa semua, melihat tingkah laku Sandi. 

"Telat tuh minum obatnya, " ucap salah satu panitia sambil meletakkan jari telunjuk melintang di jidatnya. 

oOo

Arena volly bal  sangat meriah. Panitia memutuskan bahwa untuk volly putri diadakan pertandingan antar jurusan. 

Suporter masing-masing jurusan bergerombol di bagian lapangan tempat pemain andalannya. Jurusan Sosial Budaya bergerombol di sebelah barat lapangan. Jurusan Paspal bergerombol di sebelah timur lapangan. 

Para supporter memberi semangat kepada kelompok andalannya. Tepuk tangan meriah dan teriakan teriakan saling bersahutan. 

Diam-diam Sandi menghampiri Sundari. 

Sandi yakin kalau Ningrum tidak membutuhkan perhatiannya. Ada atau tidak adanya sandi sama saja bagi Ningrum. Tapi sandi tak akan dan tak bisa melupakan Ningrum. 

Sandi berdiri tepat disamping Sundari sahabat Ningrum. Sandi merasa seakan Sundari adalah Ningrum, karena Sundari sahabat Ningrum.

oOo

Pertandingan telah usai dan kemenangan diraih oleh grup volly putri jurusan Sosial Budaya. Mereka Merayakan kemenangan itu dengan rujakan di dalam kelas. 

Ini memang sudah direncanakan sebelumnya. Menang atau kalah tetap acara rujakan akan dilaksanakan. Sandi juga ikut merayakan kemenangan jurusan  Sosial Budaya. 

Tak ketinggalan Ningrum yang memang bersahabat dengan para siswi jurusan Sosial Budaya. Akhirnya Sandi pun terbiasa akrab dengan para siswa jurusan Sosial Budaya. 

oOo

Hari-hari berikutnya jika Ningrum tidak ada, Sandi mendatangi Sundari di kelasnya, sementara itu Ningrum sering tidak masuk sekolah karena harus membantu ibunya dirumah. 

Di sekolah memang sudah tidak ada proses belajar mengajar. Para guru sibuk menyelesaikan raport untuk kenaikan kelas.

oOo

Tidak ada rasa berdebar atau getaran apapun dalam hati Sandi ketika menemui Sundari, lain halnya ketika sandi harus berurusan dengan Ningrum. Dalam hal apapun sandi tidak bisa konsentrasi ketika berurusan dengan Ningrum. 

Serba salah tingkah semua yang dia lakukan. 

Beda dengan Sundari, Sundari merasa bahwa Sandi mulai ada perhatian padanya. Hal ini membuat setiap hari Sundari datang lebih awal dari biasanya. 

Biasanya Sundari datang agak siang, karena memang di sekolah tidak ada pelajaran, yang ada hanya pertandingan volly antar kelas untuk mengisi waktu. Pintu pagar tidak pernah ditutup, jadi walaupun datang agak siang tidak ada masalah. 

oOo

Hari Sabtu adalah hari penentuan kenaikan kelas, hari yang sangat ditunggu dengan penuh rasa was-was. 

Pagi itu tidak tidak terdengar canda tawa para siswa, mereka hanya duduk-duduk diteras bergerombol di teras masing-masing kelas, menunggu wali kelas untuk membagikan raport. Tidak terlalu tegang, tapi suasana pagi itu enggan untuk membicarakan acara liburan sekolah. 

"Kemana saja tak pernah muncul di sekolah," tegur Sandi sambil berdiri disamping Ningrum. 

Ningrum bersandar di pintu dengan santai sambil membersihkan kukunya, walaupun sebenarnya kukunya tidak terlalu kotor. Bunyi cetak cetik terdengar ketika kuku-kukunya saling membersihkan. 

Sandi sebenarnya tidak menginginkan Jawaban dari pertanyaan nya, dia hanya ingin membuka pembicaraan saja. Betapa lentiknya jari-jari itu, kecil panjang dan meruncing sampai ke ujung kukunya. 

Mengapa lidahnya terasa kelu ketika berhadapan dengan Ningrum, apa yang harus diomongkan setelah ini. 

"Aku di rumah saja membantu ibu," jawab Ningrum.

"Oh..ya, liburan nanti bagaimana kalau kita pergi ke Sedudo seperti rencana semula " kata Alfian.

"Kita perlu minta izin dulu pada orang tua" jawab Sandi sambil berjalan ke tembok seberang, yang hanya dua langkah dari tempatnya berdiri disamping Ningrum, dan menyandarkan dirinya di tembok itu. 

Sandi merasa kurang sopan dilihat teman-teman, karena ada beberapa teman yang mengetahui bahwa dia menaruh hati pada Ningrum. Teman teman sekelasnya  menyimpulkannya dari puisi yang dibacakan di depan kelas. 

"Mau ikut? " tanya Sandi pada Ningrum. 

"Tidak, aku tidak punya pengetahuan tentang pendakian, dan juga tidak berpengalaman." 

"Nanti aku akan mengajarimu," mudah-mudahan Ningrum mau ikut pikir Sandi. 

"Kita berangkat pagi sehabis shalat subuh dan pulang sore hari, mau? "

"Nanti aku coba minta izin pada ayahku." jawab Ningrum. 

Tak lama kemudian pak Sarif wali kelas 2 Pasal-2 datang sambil menenteng raport para siswa. Sandi tergopoh-gopoh menghampiri pak Sarif untuk membantu membawakan raport sebanyak itu. 

Pak Sarif pun memberikan seonggok raport itu pada Sandi. Sandi berjalan mengikuti pak Sarif masuk kelas. Sandi meletakkan seonggok raport itu di meja guru. 

Satu persatu para siswa masuk dan menempati tempat duduk masing-masing. Pak Sarip mengucapkan salam yang dijawab salam juga oleh para siswa. Setelah itu suasana kelas senyap Tidak seorangpun bersuara. 

Dengan suara yang berat Pak Sarif mulai membuka pertemuan. 

"Anak-anak, tinggal kelas atau terpaksa tidak dapat melanjutkan ke kelas tiga bukanlah suatu hukuman," kata pak Sarif dengan sangat hati-hati supaya tidak menyakitkan bagi mereka yang merasa terpaksa tidak naik kelas. 

"Nanti kalian akan tahu hikmahnya mengapa terpaksa harus tinggal kelas. Allah telah merencanakan semua yang terbaik untuk kalian. Hikmah itu bisa kalian rasakan kelak setelah kurun waktu tertentu, tidak sekarang" pak Sarif  berhenti sejenak.

"Kalau Hikmah itu diturunkan sekarang oleh Allah, bapak yakin kalian semua akan minta tidak naik kelas, " suasana kelas semakin sepi. Pak Sarip berhenti beberapa saat, dan mengamati beberapa raut wajah yang nampak tegang. 

Terdengar suara kicauan burung kedasih dari kejauhan, menambah semakin sendu suasana. 

Dalam hati, para siswa bertanya-tanya, siapa diantaranya yang tidak naik kelas, dan ada berapa orang mereka? 

"Saya ucapkan selamat, bagi mereka yang naik kelas, ingat jangan berlebihan dalam bersenang-senang. Kelas tiga bukan untuk gagah-gagahan, di pundak kalian ada beban berat yang harus kalian pikul. Sebentar lagi kalian harus menghadapi ujian akhir yang cukup berat, " sekali lagi Pak Sandi berhenti untuk beberapa saat. 

"Bagi mereka yang terpaksa tinggal kelas, jangan putus asa. Jangan terlalu larut dalam kesedihan, karena tinggal kelas memang bukan suatu hal yang tidak menyenangkan, Kalian harus tetap semangat. Tinggal kelas adalah keberhasilan yang tertunda" kata pak Sarif menghibur para siswa yang mungkin tidak naik kelas.

"Bapak akan membagikan raport ini secara acak, tidak urut absen maupun ranking, kecuali yang masuk lima besar, akan bapak bagikan sesuai urutan ranking, " kata Pak Sarif sambil memisahkan raport mereka yang termasuk lima besar. Kelas semakin mencekam, siapa gerangan yang termasuk lima besar.

(bersambung)

3 komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (5)"