Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (13)



Ninien Supiyati

Kini nilai Ningrum melonjak tajam semenjak belajar bersama dengan Haryadi setiap hari. Haryadi merasa bangga karena tidak sia-sia setiap hari mengajari Ningrum.

“Aku pulang dulu ya. Badanku agak kurang sehat, mungkin karena terjatuh beberapa hari yang lalu”

“Sebentar, aku buatkan teh hangat dulu ya siapa tahu bisa agak enakan sedikit,” kata Ningrum sambil beranjak kedapur untuk membuat teh. 

Tak lama kemudian Ningrum membawa nampan dengan secangkir teh hangat diatas lepek. Ningrum mengangkat lepek untuk diletakkan diatas meja. 

Tangan Haryadi menerima lepek itu sambil tetap memegangi tangan kanan Ningrum yang menyangga lepek. Haryadi tidak segera melepaskan tangan ningrum, hanya matanya saja yang menatap mata Ningrum dengan mesra. 

Ningrum membalas tatapan mata Haryadi sambil tersenyum. Berdesir rasanya darah mengalir dalam tubuh Haryadi, mengapa Ningrum pakai tersenyum segala. 

Rasanya tak ingin Haryadi melepas tangan itu, namun Ningrum dengan lembut mendorong tangan Haryadi. Haryadipun melepaskan tangannya.

“Silahkan diminum pumpung masih hangat,” kata Ningrum.

Haryadi meminum teh hangat buatan Ningrum. Haryadi benar-benar menikmati hangatnya the buatan Ningrum. 

Haryadi kemudian pamit pulang, Ningrum mengantarnya sampai ke teras rumah. Sesampainya diteras rumah, yang didepannya terhampar halaman yang cukup luas, mereka berdua berhenti sebentar.

Sepasang layang-layang sedang menari-nari di angkasa. Satu layang-layang tenang, hanya ekornya yang meliuk-liuk, satu lagi yang tak berekor terbang mematuk kekanan dan kekiri seakan sedang mencumbu layang-layang yang berekor. 

Angin bertiup tenang, kedua layang-layang itupun bebas menentukan gerakan tariannya. Haryadi dan Ningrum saling berpandangan sambil tersenyum.  

Tiba-tiba Haryadi meminta minyak angin pada Ningrum, karena kepalanya merasa pusing. Ningrum mengambilkan sebotol kecil minyak angin dan memberikannya pada Haryadi. 

Diluar dugaan Ningrum, yang dipegang Haryadi bukan botol minyak angin tetapi Haryadi memegang erat ibu jari Ningrum. 

Ningrum terkejut bukan main, karena hal itu tidak terduga sebelumnya. Wajahnya nampak kebingungan harus berkata apa, tapi dia juga tidak berusaha menarik tangannya supaya lepas. 

Pandangannya tertuju pada wajah Haryadi kemudian pada ibu jari yang tak kunjung dilepaskan. Sadar dari kebingungannya dengan perlahan-lahan Ningrum menarik ibu jarinya. Mereka kemudian duduk di kursi yang ada di teras. 

Haryadi mengoleskan minyak angin pada kedua pelipisnya, walaupun sebenarnya ia tidak sakit. 

Tidak ada kata-kata diantara mereka. Lagi-lagi suara burung kedasih mendayu-dayu memilukan hati.Apa gerangan yang terjadi pada burung itu, sepertinya dia memanggil-manggil sesuatu. 

Ningrum dan Haryadi saling berpandangan, lama….dan lama. Ingin rasanya masing-masing menembus bola kaca kecil itu kedalam, dan terus kedalam untuk melihat isi hati masing-masing. 

Nyanyian burung kedasih itu bagaikan musik yang mengiringi lahirnya  cinta sepasang kekasih. Indah sekali….tak cukup dilukiskan dengan segudang kertas dan sedanau tinta. 

Tak cukup digambarkan dengan syair pujangga, cinta mereka begitu dalam dan indah, sedalam lautan dan seindah mutiara.

“Ya Allah …apakah ini amanah bagiku” batinHaryadi “wujudkanlah cinta kami berdua kelak. Hamba benar-benar mencintainya.”

“Burung itu .." kata Ningrum

“Ya burung kedasih itu saksi cinta yang abadi” sahut Haryadi.

“Aku akan selalu mencintai dirimu sepanjang hidupku,” lanjut Haryadi.

“Aku juga” kata Ningrum sambil menunduk malu.

“Andaikata kita tidak berjodoh bagaimana?” tanya Ningrum

“Akan kutunggu jandamu,” jawab Haryadi.

“Kalau kau sudah punya isteri bagaimana? Aku tak mau merusak rumah tangga orang,”

“Kujadikan isteri keduaku.”

“Aku tak mau jadi madumu.”

“Kau tetap jadi isteri pertamaku, walaupun posisi kedua.”

“Ngapain ngelantur, berdoa saja semoga kita bisa dijodohkan kelak,” kata Haryadi. 

Mereka diam, sayup-sayup bersama angin senja terdengar lagu Love Story-nya Andy Williams. Baris demi baris lyric lagu itu menyentuh hati yang sedang kasmaran. Banyak remaja yang hafal lyriknya karena sedang populer. 

“Aku pulang dulu,” kata Haryadi setelah lagu Love Story selesai.

“Hari sudah hampir maghrib jaga dirimu baik-baik,” pesan Haryadi sambil mencolek hidung Ningrum yang mancung. 

Haryadi berpamitan dan mengayuh sepedanya kuat-kuat. Diufuk barat warna lembayung sudah menghiasi alam semesta. Suara burung kedasih itu masih terngiang ditelinganya, rasanya tak ingin nyanyian itu lenyap ditelan malam yang sebentar lagi tiba.

“Tumben sudah pulang?” tegur Hamid teman satu kost. 

Haryadi kaget karena sepanjang perjalanan sampai masuk rumah bayangan peristiwa yang baru saja dialami masih saja menghiasi lamunannya.

“Oh,…aku..aku agak kurang enak badan,” jawab Haryadi sekenanya. 

Haryadi segera ke kamar mandi ambil air wudhu dan sholat maghrib. Selesai sholat, diambilnya buku-buku untuk pelajaran esok hari dan mulai belajar.

oOo

Sejak peristiwa itu mereka sering belajar berdua di kelas. Sandi mulai curiga dengan sikap Ningrum dan merasa bertepuk sebelah tangan. 

Perjuangannya selama ini untuk mengambil hati Ningrum sia-sia. Apa mau dikata, Sandi tak bisa memaksakan kehendaknya, tak ada gunanya.

Akhirnya Sandi memutuskan untuk fokus pada pelajaran dan tak pernah lagi memikirkan tentang wanita. 

Wanita memang unik. 

oOo

Kini, di waktu istirahat pun Sandi tak pernah keluar dan berkunjung ke kelas tiga Sosbud-1 seperti dulu. Dulu, Sandi bersama Ningrum setiap jam istirahat, selalu berkunjung ke kelas tiga Sosbud-1. 

Sekarang Sandi lebih banyak diam di dalam kelas untuk belajar. 

Berbeda dengan Sundari dan Rosa yang sudah terlanjur memendam rasa cinta yang mendalam. Rosa yang semula hanya main-main, tidak berminat menjadi pacar Haryadi, kini sedikit demi sedikit tumbuh rasa cintanya pada Haryadi. 

Rosa tak rela Haryadi menjadi milik Ningrum. 

“Aku harus bisa merebutnya kembali dari tangan Ningrum,” pikir Rosa. 

Rosa tahu bahwa Haryadi orangnya tak tegaan, dia pasti tak tega melihat dirinya tersakiti. Haryadi orangnya taat pada agama. 

Besok lusa adalah hari ulang tahun Rosa. Rosa berminat merayakan dengan mengundang teman-teman sekelasnya. Bersama Sundari, Rosa mendatangi kelas tiga paspal-2. 

Rosa mendapati Haryadi dan Ningrum sedang mengerjakan soal bersama. Dengan langkah genitnya Rosa mendatangi meja dimana Haryadi dan Ningrum sedang belajar bersama. 

Sundari melihat kesana kemari, namun dia tak menemukan dimana Sandi berada. 

Sejak peristiwa perkelahian Rosa dan Ningrum di kelas tiga Sosbud-1, antara Ningrum dan Rosa tak bertegur sapa. Sundari juga tak banyak bicara dengan Ningrum. 

“Duduklah,” kata Ningrum pada mereka berdua.

Rosa tak menghiraukan perkataan Ningrum, dia langsung tertuju pada Haryadi dan berdiri sangat dekat dengan tempat duduk Haryadi.

“Datang ya, pada perayaan ulang tahunku lusa,” kata Rosa sambil mengulurkan undangan pada Haryadi.

“Aku sangat mengharap kedatanganmu, jangan sampai tidak datang, kita akan mengenang masa-masa lalu dan kembali seperti dulu lagi,” kata Rosa sambil memegang tangan Haryadi.

Rossa juga meletakkan undangan berwarna biru yang bertuliskan tinta emas “My dearest Haryadi.”

“Insya Allah.”

“Pokoknya harus datang, aku sudah ceritakan ini ke papa dan mama, beliau menunggumu.”

“Untuk Ningrum mana?” tanya Haryadi.

“Aku hanya mengharap kehadiranmu saja,” kata Rosa sambil beranjak pergi dan menggandeng tangan Sundari. (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (13)"