Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (16)

layang-layang ditelan badai

Ninien Supiyati

Rosa bagaikan melihat matahari didepan sana. Hatinya berbunga-bunga. Orang yang ditunggu-tunggu sejak sore akhirnya muncul juga, walaupun acara sudah dimulai sejak tadi. 

Rosa tak lagi melihat pakaian yang dikenakan Haryadi, tapi dia lebih tertarik pada Haryadinya. 

“Mengapa jam segini baru muncul,” tegur Rosa.

“Maaf tadi aku masih ada urusan”

“Urusan apa? Dengan siapa? Dengan Ningrumkah?” Rosa mencecar Haryadi dengan pertanyaan beruntun.

“Hm…ya dengan Ningrum.”

“Akhirnya aku kan yang menang? Buktinya kamu datang kesini,”

Haryadi tak menjawab pertanyaan Rosa. Teman-teman Rosa saling berbisik satu dengan yang lain. 

“Ayo aku kenalkan pada kedua orang tuaku,” kata Rosa sambil menggandeng tangan Haryadi untuk diajak menghadap kedua orang tuanya.

“Tidak, aku tak mau.”

“Ayolah tidak apa-apa, beliau juga menunggumu dari tadi.”

“Tidak Rosa, aku tidak mau. Kalau kau memaksaku maka aku akan pulang,” kata Haryadi sambil menarik tangannya. 

Papa dan mama Rosa melihat tingkah laku Rosa dari kejauhan. Pak Setyoko memang memandang Haryadi dengan sebelah mata.

“Coba Ma bandingkan, dari cara berpakaiannya saja sudah kelihatan sekali bahwa Haryadi itu pribadinya ya seperti itu" Ayah Rossa berkata pada istrinya.

"Masak datang ke pesta pakai kaos dan celana yang sama sekali tidak serasi. Coba lihat nak Handoko yang begitu modis cara berpakaiannya.”

“Namanya anak sekolah Pa, mungkin nak Haryadi belum tahu bagaimana cara berpakaian yang modis untuk kepesta” Ibu Rosa mencoba menimpali. 

Handoko tahu kalau Rosa sebenarnya tidak mencintainya, maka Handoko juga tak akan memaksakan kehendaknya. Handoko beranggapan bahwa Rosa  masih kekanak-kanakan. 

Handoko masih tetap duduk bersama para tamu yang lain diruang tengah, dia tidak berusaha merayu Rosa dan mendampingi Rosa untuk menerima ucapan selamat dari teman-temannya. 

Acara berjalan dengan sangat meriah. Rossa kini bergabung bersama teman-teman lainnya, dia mendatangi satu persatu teman-teman yang hadir. 

“Sundari… trimakasih ya, mana Sandi,” kata Rosa pada Sundari teman sekelasnya.

“Itu, disana dengan teman-teman lain… kita berangkat sendiri-sendiri kok.”

“Mengapa tidak dijemput Sandi.”

“Dia tidak bisa janji karena sore tadi masih ada acara dengan keluarganya.”

“Nanti pulangnya bagaimana?”

“Kita pulang bareng-bareng dengan yang lain.”

Rosa berusaha mendekati Haryadi yang sedang berbaur bersama teman-teman yang lain. Mereka bercanda bersama teman-teman yang lain. Gelak tawa, canda ria saling bersahutan menghiasi acara pesta ulang tahun malam itu. 

Tak terasa hari sudah larut malam. Setelah acara selesai satu-persatu teman-temannya berpamitan untuk pulang. 

Kini tiba giliran Haryadi untuk berpamitan. Rosa menggenggam erat tangan Haryadi dan memandang Haryadi dengan mesra. Haryadi juga menerima uluran tangan Rosa, namun dia tetap merasa tidak ada hubungan khusus dengannya

oOo

Hari berlalu begitu cepat, tak terasa ujian sekolah sudah diambang pintu. Hampir setiap jam istirahat tidak ada siswa yang berkeliaran di luar, hanya beberapa saja yang ingin ganti suasana untuk keluar kelas. 

Siswa yang lain belajar di dalam kelas. Haryadi dan Ningrum semakin sering ketemu untuk belajar bersama didalam kelas pada jam istirahat. Bahkan anggotanya bertambah yakni Sandi, Alfian dan Rizky juga bergabung bersama mereka. 

Haryadi merupakan siswa paling pandai di kelas paralel Paspal, ia menjadi narasumber bagi teman-teman lainnya.

oOo

Akhirnya hari yang dinantikan tiba. Hari itu adalah hari pertama ujian sekolah. Bel tanda masuk telah berbunyi. 

Semua siswa segera masuk ruangan dan menduduki bangkunya masing-masing sesuai dengan nomor yang tertulis pada kartu peserta ujian. Satu kelas hanya diisi oleh 15 siswa, dimana satu siswa menduduki satu bangku. 

Suasana sepi, tidak ada seorangpun yang berbicara walaupun pengawas ujian belum memasuki ruangan. Semua larut dalam angan-angan dan ketegangan yang menyelimuti masing-masing siswa.

Sayup-sayup terdengar suara burung kedasih mendayu-dayu yang semakin menambah tegangnya suasana. 

Ningrum dan Haryadi saling berpandangan, suara burung itu bagaikan nyanyian cinta bagi mereka berdua. Kebetulan mereka berada dalam satu ruangan. Ningrum berada dipojok kanan belakang sedangkan Haryadi berada di deretan tengah depan. 

Tak lama kemudian terdengar langkah irama sepatu yang semakin mendekat, dan muncul didepan pintu dua orang pengawas. Beliau meletakkan naskah ujian diatas meja dan meminta para siswa mengumpulkan semua tas kedepan kecuali alat tulis. 

Pengawas memimpin doa sebelum ujian dimulai, kemudian membagikan kertas folio bergaris kosong, kertas buram untuk membuat hitungan atau ijiran dan lembar soal. Hari pertama adalah ujian mata pelajaran Ilmu Ukur Ruang. 

Jumlah soal hanya tiga butir waktunya 120 menit. Tidak ada soal pilihan ganda

Para siswa sibuk mengerjakan soal Ilmu Ukur Ruang, sesekali terdengar suara desahan siswa karena merasa kesulitan. 

Bel tanda selesai mengerjakan akhirnya berbunyi. 

Para siswa bergegas mengumpulkan pekerjaan ke depan. Beberapa siswa masih menyelesaikan pekerjaannya. Setelah mendapat peringatan dari pengawas, segera mereka berlarian untuk mengumpulkan hasil pekerjaannya. 

oOo

Tanpa terasa, ujian sudah berjalan selama seminggu. Hari ini adalah hari terakhir ujian sekolah. Selesai ujian, mereka tidak segera pulang tetapi bergerombol di teras sekolah seakan berat untuk meninggalkan sekolah tercinta.

Sekolah yang penuh suka dan duka, penuh dengan kenangan manis masa-masa remaja. 

Waktu masih terlalu pagi untuk pulang. Tadi hanya satu mata pelajaran saja yang diujikan. Ada yang bermain ping-pong, ada yang memainkan gamelan di ruang kesenian, ada yang hanya duduk-duduk dan ngobrol saja. Haryadi dan Ningrum memilih untuk pulang dan mereka ngobrol di rumah Ningrum.

“Kita harus membuat jadwal sendiri untuk belajar,” kata Ningrum.

“Bulan depan kan sudah waktunya tes di Perguruan Tinggi,” lanjutnya.

Ayahnya meminta Ningrum untuk melanjutkan kuliah, dan melarang Ningrum untuk bekerja. 

“Ayah akan bekerja untuk membiayai kuliahmu Ningrum” Ningrum masih teringat kata-kata ayahnya itu. 

Ningrum bertekad akan belajar lebih giat nanti di Perguruan Tinggi. Ningrum berniat mengambil fakultas pertanian disalah satu perguruan tinggi di Malang. Sedangkan Haryadi tetap sesuai cita-citanya mengambil fakultas Kedokteran.

“Melamun ya…” tegur Haryadi

“Oh tidak… hanya ingat pesan ayah kalau aku tidak boleh bekerja. Aku harus melanjutkan ke Perguruan Tinggi,” jawab Ningrum.

“Karena itulah kita harus belajar lagi untuk menghadapi tes bulan depan,” kata Haryadi.

“Kalau begitu kita kumpulkan buku apa saja yang harus siap di meja belajar, kan hanya beberapa mata pelajaran saja.” kata Ningrum.

oOo

Hari pelaksanaan tes sudah tiba. 

Haryadi mengikuti tes pada fakultas kedokteran disalah satu Perguruan Tinggi di Surabaya. Pada hari terakhir tes, malam harinya ia menggunakan bus malam, langsung ke Yogyakarta untuk mengikuti tes pada fakultas kedokteran juga. Disalah satu Perguruan Tinggi di Yogyakarta. 

Ningrum ke Malang untuk mengikuti tes pada salah satu Universitas. 

Sejak saat itu mereka mulai jarang bertemu. Tiga hari sekali, kadang seminggu sekali Haryadi main ke rumah Ningrum. Ningrum setiap harinya sibuk membantu ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. 

Sedangkan Haryadi juga sibuk membantu usaha orang tuanya di rumah, di desanya yang berjarak sekitar 20 kilometer dari kota kecil itu. 

oOo

Pengumuman hasil tes masuk Perguruan Tinggi telah tiba. 

Untuk melihat hasil pengumuman, para peserta harus datang sendiri ke tempat Perguruan Tinggi dimana peserta mengikuti tes. 

Ningrum diantar oleh ayahnya pergi ke Malang untuk melihat hasil tes. Ternyata nama Ningrum tercantum sebagai calon mahasiswa di fakultas Pertanian pada Universitas tersebut. 

Sedangkan Haryadi diterima di dua Fakultas kedokteran sekaligus! Yakni Universitas di Surabaya dan di Yogyakarta. Namun Haryadi memutuskan untuk kuliah di Yogyakarta.

oOo

Ningrum dan Haryadi kini menjalani kehidupan sebagai Mahasiswa. Ningrum di Malang, sedangkan Haryadi di Yogyakarta.

Mereka masih menjalin hubungan melalui surat-menyurat. Perjalanan surat sekitar dua atau tiga hari baru sampai ke alamat tujuan. 

Awalnya mereka rajin berhubungan dengan surat-menyurat. Namun ini hanya bertahan selama satu tahun. Karena kesibukan kuliah dan tugas masing-masing, akhirnya surat-menyurat diantara keduanya semakin lama semakin jarang. 

Pada suatu saat, surat-menyurat diantara keduanya berhenti sama sekali (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (16)"