Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (14)



Ninien Supiyati

Baru beberapa langkah, Rosa kembali lagi ke meja Haryadi.

“Sandi kemana?” tanya Rosa pada Haryadi.

“Keluar kelas mungkin.”

“Tolong katakan kalau masuk nanti, aku sama Sundari ingin ketemu dengannya.”

“Iya” jawab Haryadi. Rosa dan Sundari berlalu dari hadapan Haryadi dan Ningrum.

“Kamu mau ikut datang pada ulang tahun Rosa lusa?” tanya Haryadi pada Ningrum.

“Tidak, dia tak mengundangku.”

“Kalau begitu aku datang sendiri.”

Ningrum tak menjawab. Wajahnya cemberut.

“Tidak apa-apa, datang sendiri sana,” kata Ningrum sambil berdiri meninggalkan meja tempat mereka berdua belajar. Ningrum kembali ke mejanya sendiri, dan melanjutkan belajar walaupun sebenarnya pikirannya sudah tidak konsen pada pelajaran. 

Diam-diam rasa cemburu membakar hatinya. Ingin rasanya menangis, rasanya sudah tidak percaya lagi pada Haryadi.

oOo

Bel pulang sekolah berbunyi, Ningrum segera mengemasi peralatan sekolahnya, tanpa banyak bicara, langsung keluar dari kelas mengambil sepedanya. 

Biasanya setiap pulang sekolah Ningrum selalu menunggu Haryadi atau sebaliknya, Haryadi yang menunggu Ningrum. Mereka berdua pulang bersepeda berdampingan. 

Waktu itu kendaraan dijalan raya masih belum sebanyak sekarang. Setiap lima menit belum tentu ada mobil yang lewat di jalan raya, jadi dengan santai bisa bersepeda berarak-arakan berjajar dua atau tiga. 

Setelah dipertigaan, Ningrum dan Haryadi berpisah. Ningrum belok kekiri, Haryadi belok kekanan untuk pulang ke tempat kost.

Untuk hari ini mereka tidak pulang bersama-sama. Hal ini membuat Rosa senang, Rosa merasa usahanya menjauhkan Ningrum dari Haryadi ada titik terang. Baru begitu saja sudah terjadi konflik antara mereka.

Ningrum bukan tipe perempuan yang suka diajak kompetisi masalah laki-laki. Dia lebih baik mundur dari pada terlibat dalam kompetisi memperebutkan laki-laki. 

“Aku lebih baik fokus pada pelajaran saja, selamat tinggal Haryadi,” pikir Ningrum. “aku tak mau menyakiti hatiku sendiri,” Ningrum mengayuh sepedanya dengan santai dan menghibur hatinya sendiri. 

Haryadi mengayuh sepedanya kuat-kuat supaya bisa mengejar Ningrum.

“Ningrum, kenapa tidak menungguku?” tanya Haryadi sambil mendekatkan sepedanya kesamping sepeda Ningrum. Ningrum tidak menjawab. Hanya matanya yang berkaca kaca menatap sejenak mata Haryadi.

“Percayalah, aku tak akan meninggalkanmu, kita sudah berjanji untuk saling mencintai seumur hidup. Jangan tinggalkan aku. Please,” Ningrum tetap membisu sambil mengayuh sepedanya pelan-pelan.

“Kalau kamu tidak mau jawab aku, ok aku akan bersepeda terus sampai ke rumahmu dan aku akan melamarmu langsung, sekalipun ditolak nantinya,”

“Jangan! Jangan kerumahku ayahku akan marah.”

Perjalanan sudah mendekati pertigaan dimana biasanya mereka berpisah setiap pulang sekolah.

“Aku akan tetap kerumahmu sampai kau mau bicara dengan aku!” 

Ningrum tetap membisu, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya, pandangannya lurus ke depan tertuju pada jalan raya. Hatinya benar-benar tersakiti, ternyata cinta itu memang sakit, dan egois.

Ningrum tak ingin Haryadi berbagi cinta dengan orang lain. 

Pertigaan tempat mereka berpisahpun akhirnya terlampaui, tapi Haryadi tidak belok kekanan untuk pulang ke tempat kostnya. Dia masih tetap mendampingi sepeda Ningrum. 

Ningrum bingung. Tidak, jangan sampai Haryadi kerumahnya siang-siang begini. Ayah dan ibunya pasti sedang istirahat, ayahnya pasti marah kalau siang malam Haryadi datang ke rumah. 

Akhirnya Ningrum memutuskan untuk minggir dan berhenti. Haryadi pun ikut berhenti. 

“Kamu ingin aku mengatakan apa,” kata Ningrum membuka pembicaraan.

“I love you. Katakan itu padaku” Haryadi memohon 

Ningrum malu untuk mengatakan itu karena dia wanita masak harus berkata ‘I love You’ pada laki laki.

“Ya,” jawab Ningrum singkat, Ningrum tak dapat mengelak, memang itu yang sedang dia rasakan saat ini.

“Ya apa?” kejar Haryadi.

“Ya seperti kalimatmu itu tadi.”

“Coba ulangi kalimatku tadi,” desak Haryadi. Ningrum tidak segera menjawab. Ia diam untuk beberapa saat.

“I..love..you,” kata Ningrum lirih.

“Trimakasih Ningrum” lega sekali Haryadi mendengar kata-kata itu keluar langsung dari mulut Ningrum. 

Tidak ada kebahagiaan yang bisa menandinginya selain mendengar kata itu, langsung dari gadis yang dicintainya.

“Sampai ketemu nanti sore. Kita belajar untuk ulangan besok” lanjut Haryadi.

Ningrum tak menjawab. 

Ia dan Haryadi berpisah di tempat itu. 

Ningrum melanjutkan mengayuh sepedanya dengan santai. Angin dibulan Agustus bertiup sangat kencang, sehingga membutuhkan banyak tenaga untuk mengayuh sepeda.

oOo

Sesampai dirumah ayahnya sudah menunggu didepan pintu dengan wajah yang kurang berkenan. Ningrum menjagang sepedanya tak jauh dari ayahnya berdiri.

“Assalamu’alaikum,” ucap Ningrum dengan penuh hormat kepada ayahnya.

“Wa’alaikum salam,” jawab ayahnya.

“Selesai makan nanti Ayah mau bicara denganmu,” kata ayah ketika sedang makan bersama.

“Ya Ayah,”  Jawab Ningrum.

"Mati aku! biasanya ada masalah denganku atau aku melakukan kesalahan. Jangan jangan ayah melarang Haryadi datang ke rumah" Ningrum mencoba berdiskusi dengan dirinya sendiri 

"Kemarin lusa ayah pernah mengatakan supaya Haryadi jangan terlalu sering datang ke rumah. Aku dan Haryadi boleh tetap berteman asal jangan tiap hari datang ke rumah” pikiran Ningrum semakin berkecamuk

”Semoga ayah tetap merestui hubunganku dengan Haryadi”

oOo

Tanpa disadari, percakapan singkat ditepi jalan tadi diketahui oleh ayahnya.(bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (14)"