Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (2)

Novel

 

By. Ninien Supiyati 

Terdengar lonceng tanda masuk kelas berbunyi, maka tanda waktu istirahat telah habis. Ternyata mereka duduk hanya beberapa puluh centi meter saja dari tempat lonceng  sekolah digantung. 

"Baiklah Ndari, aku ikuti saranmu. Semangat, pantang mundur, sampai jumpa." Ningrum melambaikan tangannya. Kegelisahan Ningrum hilang setelah  menerima masukan dari orang lain. 

Semula Ningrum sudah berniat untuk menghadap guru olah raga hari itu, untuk mengundurkan diri. Mata pelajaran Sejarah Dunia merupakan mata pelajaran terakhir. Mata ini rasanya tidak bisa menahan kantuk. 

Bagaimana mengusir kantuk saat dalam jam pelajaran berlangsung, tidak sopan berbicara dengan teman untuk mengusir kantuk saat guru sedang menerangkan. 

Ningrum punya akal, dia mengeluarkan buku tulis dan bolpoin, dia catat apa saja yang diucapkan oleh guru. Itulah cara mengusir kantuk versi Ningrum. 

Tiba-tiba ada yang melempar secarik kertas yang telah diremas kecil, dibukanya kertas yang sudah kusut itu "I love you", tulisan yang tertera pada secuil kertas tadi. Siapa yang telah melempar kertas ini sangat tidak sopan. 

Ningrum menoleh ke kiri ke kanan, kebelakang tidak ada reaksi dari teman-teman yang ditatapnya. Tanpa berpikir panjang lebar Ningrum memasukkan kertas kecil tadi kedalam saku bajunya. Kenapa harus dipikir, cuek saja. 

Ningrum kembali memainkan bolpoin di atas buku tulisnya seiring dengan kata kata yang diucapkan oleh guru. Bak wartawan saja. 

Tak lama kemudian terdengar lonceng tanda pelajaran berakhir. Lega rasanya, rasa kantuk hilang seketika. 

"Ningrum duduk, ayah ingin bicara denganmu." tegur ayah setelah makan malam usai. Ningrum agak terkejut melihat wajah ayahnya yang masam. Ningrum menarik kursi makan yang ada di depan ayahnya. 

"Duduk!" perintah ayahnya. Pelan-pelan penuh ketakutan Ningrum duduk didepan ayahnya. Dibenaknya berkecamuk penuh tanda tanya. Kesalahan apa yang telah dilakukannya. Tidak biasanya Ayah seperti itu. Ayah selalu bijaksana, mudah mudahan tidak marah, kata Ningrum dalam hati. 

"Ayah mau bertanya, kamu masih berniat untuk sekolah atau tidak?" tanya Ayah Ningrum. 

"Mengapa pertanyaan itu dilontarkan oleh Ayah, apa yang telah terjadi?" tanya Ningrum dalam hati. 

"Ya Ayah, Ningrum masih ingin sekolah, "  Jawab Ningrum sambil menundukkan wajahnya, tak berani menatap mata tua sang ayah. 

" apa ini, Ayo baca! " hardik Ayah sambil menunjukkan secuil kertas lusuh yang bertuliskan "I love you". Ningrum terkesima, darahnya serasa berhenti mengalir. Tak habis pikir, mengapa kertas itu bisa sampai ke tangan ayahnya?

"Darimana Ayah mendapatkan kertas itu? " tanya Ningrum, masih tak berani menatap wajah  ayahnya. 

"Itu tak penting dari mana Ayah mendapatkannya. Kalau tidak niat sekolah keluar saja, ayah bekerja hanya untuk masa depan anak-anak ayah," lanjut ayah dengan nada yang tinggi, membuat Ningrum bergetar hatinya.

 "Maafkan Ningrum ayah, Ningrum sendiri tidak tahu siapa yang melempar kertas itu ke meja Ningrum, ketika pelajaran sedang berlangsung. Ningrum memasukkannya ke saku baju Ningrum karena takut ketahuan guru. " jawab Ningrum ketakutan 

" Bukan Ningrum yang menulis itu Ayah. "

"Baiklah, kali ini ayah memaafkanmu, ayah berharap kamu bisa menyelesaikan sekolahmu. Kamu belum cukup dewasa untuk urusan cinta. Bagaimanapun juga, seorang siswa yang sekolah sambil berpacaran, pasti ada yang harus dikurbankan. Yang jelas pikiranmu akan terpecah, untuk belajar dan untuk bercinta. Konsentrasi pada pelajaran pasti akan berkurang. Ayah tidak ingin itu terjadi, " jawab ayah dengan nada yang sudah menurun.

"Ya Ayah, Ningrum berjanji tidak akan pacaran sebelum cita-cita Ningrum tercapai. 

" Ya sudah sana lanjutkan belajarmu, " Ayah berdiri sambil meninggalkan Ningrum. Tak habis pikir ayahnya bisa menemukan kertas itu? Siapa gerangan yang telah melemparkan kertas itu padanya waktu pelajaran berlangsung tadi siang? 

Ningrum tidak bisa lagi untuk konsentrasi belajar malam itu. Ningrum tidak mengerjakan pekerjaan rumah yang telah diberikan oleh guru kimia, ia hanya membaca saja beberapa mata pelajaran untuk esok hari.

"Cepat sedikit Ningrum, nanti kamu terlambat masuk sekolah. " 

"Ya Ayah, sebentar, " jawab Ningrum sambil mencari jepit rambut. Rambutnya yang sebatas pundak di sisirnya menyamping ke kanan dan dihiasi dengan jepit rambut polos hitam di ujung kanan, supaya tidak tergerai ke wajahnya yang mungil.

 "Berangkat Ayah, berangkat ibu, " Ningrum pamit berangkat ke sekolah sambil mencium tangan kedua orang tuanya. Kali ini Ningrum berangkat dengan langkah yang kurang mantap, Ningrum tidak mengerjakan pekerjaan rumah karena pikirannya kacau. 

Rasa ketakutan pada ayahnya masih membekas di hatinya, Siapa teman yang telah melemparkan secuil kertas itu, dan mengapa bisa sampai ke tangan ayahnya. 

Bel tanda masuk kelas telah dibunyikan, dengan langkah mantap, teman-teman Ningrum menuju ke kelas masing-masing. Tapi tidak dengan Ningrum, dengan langkah berat dia masuk kelas dan seperti kurang bersemangat. 

"Ningrum, kerjakan soal nomor 1 kedepan, " Ningrum terhenyak dan membongkar isi tasnya, tidak ditemukan buku Kimia nya. Wajahnya kelihatan bingung sekali, dimasukkannya kembali buku-buku yang berserakan di mejanya. 

" Cepat bawa ini bukuku ke depan, " bisik sandi yang duduk di bangku belakangnya. Tanpa berpikir panjang Ningrum menyambar buku sandi dan membawanya ke papan tulis, dan menyalin pekerjaan Sandi di papan tulis. 

" Dari mana kamu dapatkan pH = 12? " tanya pak Kardono guru mata pelajaran Kimia. Ningrum tak bisa menjawab karena itu bukan hasil  pekerjaannya sendiri. Wajahnya kelihatan pucat dan bingung. 

"Coba lihat bukumu! " hardik Pak kardono sambil menarik buku tulis yang dipegang Ningrum. Buku tersebut dilihat halaman per halaman, dan di ditemukan sesuatu di halaman belakang. Kemudian dilihat bagian sampulnya, di situ tertulis nama Sandi Irawan. 

Pak Kardono mengerutkan keningnya, kemudian tersenyum. 

" Sandi, coba maju ke depan! " perintah Pak kardono. Sandi berdiri dan membetulkan ikat pinggangnya sebentar, kemudian maju ke depan kelas. 

" baca yang keras tulisan ini! " perintah Pak kardono sambil menunjuk halaman terakhir. Sandi terbelalak kaget.

(bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (2)"