Sisi Lain Majapahit
Facebook : Pesona Negeri
Tujuh makam tua itu membawa cerita yang tenteram, tapi tak selesai. Ditemukan di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur — di dekat Istana Majapahit di masa itu — nisan-nisan berumur tujuh abad itu diukir dengan kutipan Qur’an, tapi tahunnya berangka Jawa Kuno. Yang dipakai Tahun Saka, bukan Tarikh Hijriah.
Sudah lama petilasan ini menarik perhatian para arkeolog dan sejarawan. Ada yang menyimpulkan, di masa Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada di abad ke-14, ketika Majapahit di puncak kebesarannya —- dilukiskan dengan kagum dalam “Negarakertagama” — sudah ada orang-orang muslim di kerajaan Hindu-Budha itu. Bahkan jika dilihat tanda-tanda di makam Trowulan, mereka orang lapisan atas. Ini, kata para pakar, berarti tak ada konflik antar Majapahit dan Jawa yang Islam seperti yang sering dikisahkan— sebuah harmoni yang jadi ideal kehidupan politik di masa sesudahnya.
Tapi kita membaca masa lalu, dan masa lalu membaca kita. Yang kita tafsirkan dari ingatan, teks sejarah dan legenda, adalah potret kita hari ini. Potret itu menampilkan hasrat, kecemasan, dan ilusi kita.
Masa lalu tak pernah berhenti.
Syahdan, pada 1925, sebuah almanak diterbitkan Firma Buning di Yogyakarta, sebuah percetakan milik orang Belanda. Isinya membuat onar. Kalangan Islam marah. Protes bergerak.
Dalam almanak itu dimuat “Serat Darmagandul.”Digubah pada 1830, kisahnya berlatar masa Majapahit yang ambruk, dengan kata-kata yang menampar Islam. Menurut sang penggubah, (disebut “Ki Kalamwadi”), Islam bisa berkembang di Jawa karena sikap licik para wali. Mereka ulama yang dianggap suci, tapi sebenarnya mengejar kuasa sekenyangnya, “mburu kathah isine kendil.” Mereka orang pendatang yang diizinkan tinggal di Jawa tapi berniat menghancurkan Majapahit. Raden Patah, raja Demak yang Islam, melaksanakan makar para wali itu; ia angkat senjata merubuhkan tahta Brawijaya. Raja Majapahit ini, ayahnya sendiri yang Hindu, tersingkir. Para wali membalas kebaikan baginda dengan “lemparan tahi”.
“….karsane pra wali sadaya // amung pamrih ing risake // bapa kalwan sunu // mburu kathah isine kendil // bingah yen angsal brekat // yen akeh wong lampus // mila darbe mbeg tan arja // wong weh becik wekasan binalang tai //….”
Dan orang Jawa pun berganti agama. Terkena “bujuk dalil Alif Lam Mim,” — huruf-huruf termashur dalam Qur’an — dan “tergila-gila syahadat” (“kedanan mring ashadu”), mereka meninggalkan agama lama yang sudah berlaku “1000 tahun” dan memeluk “agama Ngarab”.
Ada primordialisme dalam paparan “Darmagandul”: memandang yang asli, pribumi, purba, terdahulu, lebih utama ketimbang yang baru dan asing. “Darmagandul” melihat “Arab” dengan purbasangka negatif.
Tapi di sela-sela kebencian, bisa dilihat karya ini menyiratkan pesan klasik tentang yang baik dan yang buruk.
Dikisahkan bagaimana Sunan Bonang, sang wali, berjalan menuju Kediri. Ia dikuntit Buta Locaya, raja makhluk halus yang memusuhinya. Syahdan, di sebuah desa, tampak arca kuda berkepala dua. Tak ayal Sunan Bonang menghancurkannya.
“Tuan benar-benar orang yang dengki”, kata Buta Loscaya kepada sang wali. “Arca yang tak berbuat jahat tuan rusak tanpa alasan.”
Sunan Bonang membantah. Ia lakukan itu untuk mencegah patung itu jadi sesembahan orang setempat. Tapi Loscaya menjawab: orang Jawa sudah tahu bahwa ini hanya arca batu, tak punya kekuatan apapun. Ia diberi sesaji agar makhluk halus mau berdiam di sana. Makhluk halus butuh bau harum dan tempat sepi, untuk membuat diri sumyah. Setelah patung ini dihancurkan, apa bakal nasib mereka?
Di Jawa orang tahu, kata Loscaya pula, alam para dhemit berbeda dari alam manusia, tapi Sunan Bonang tak menerima ko-eksistensi damai itu. Padahal orang Jawa menghormati arca yang melindungi nyawa sebagaimana “orang Arab” menghormati Ka’bah yang juga batu.
“Darmagandul” tentu sebuah polemik. Apalagi disertai “Serat Gatoloco”, yang mengartikan pengertian-pengertian Islam dengan motif seksual: “syariat”, “sarengat”, misalnya, diartikan zakar yang ereksi ketika kita tidur — mungkin sindiran bagi nafsu dan agresifitas yang tersembunyi.
Dalam “Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde”, 1966, jilid 122, G.W.T. Drewes menyebut Darmagandul sebagai kasus “Jawanisme” melawan “Islam”. Sebenarnya tak jelas apa itu “Jawanisme”, sebab tak ada makna “Jawa” yang tak tergantung kepada keadaan sejarah. Meski demikian, ia ekspresi ketegangan yang laten antara apa yang disebut “ke-Jawa-an” dengan “Islam”.
“Darmagandul” tak sendirian.
Dalam “Serat Cabolek” tokoh Ketib Anom Kudus mencerca Kiai Mutamakin, seorang ulama dusun Cabolek, pengagum kisah Dewa Ruci tentang Bima yang mencari pencerahan. Mutamakin menyambut ko-eksitensi damai antara mistik “Islam” dan “Jawa”. Bagi Anom Kudus, Mutamakin sesat.
Sunan Bonang dalam “Darmagandul” tak menyebut kata sesat. Tapi ia menolak agama “gedah”, yang “bukan hitam, bukan putih”, “nora ireng lan ora putih”
Agaknya, itulah soalnya. Semua itu bukan cetusan konflik “Jawanisme” vs “Islam”, apalagi “Jawa” vs “Arab”. Yang terjadi letupan rasa waswas terhadap yang “gedah” — yang tak murni “Jawa” , yang ditolak “Darmogandul”, maupun yang tak murni “Islam”, yang ditampik Sunan Bonang dan Anom Kudus.
Mereka menuntut hidup sepenuhnya hitam atau sepenuhnya putih. Buta Loscaya lebih bijak.
Goenawan Mohamad
Posting Komentar untuk "Sisi Lain Majapahit"