Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (36)

Jendela Hati


Ninien Supiyati

Setahun telah berlalu. Ningrum dan Handoko sudah dapat menjalani kehidupan sehari-hari secara normal.

Handoko sudah benar-benar sembuh dari sakitnya.

Ningrum benar-benar menjaga kesehatan Handoko. Setiap ada sedikit keluhan saja dari Handoko, Ningrum segera menanggapi dengan serius.

“Hati-hati mas, jangan sampai terkilir lagi,” kata Ningrum ketika Handoko kakinya terkilir.

Kaki Handoko terkilir karena menahan Cyan, anak keduanya yang baru bisa berjalan, karena akan jatuh.

“Aku tadi spontan saja meloncat dari tempat dudukku, maafkan aku membuatmu capai.” 

Handoko merasa kasihan melihat Ningrum yang setiap hari sudah capek karena mengajar. 

Handoko tidak melarang Ningrum untuk mengajar karena Ningrum nampak sangat menikmati dengan profesinya sebagai guru. 

Setiap pulang dari sekolah ada saja yang diceritakan pada Handoko tentang muridnya. 

“Terima kasih ya Allah engkau telah mengirimku seorang bidadari,” Ucap Handoko lirih. 

Dipandanginya wajah isterinya, bola mata yang bening itu, Handoko melihat berjuta-juta bintang di mata isterinya. 

"Aku merasa berhutang budi padamu. Cintamu, baktimu pada suami tak ternilai, sekalipun dengan segunung emas. Aku berjanji tidak akan menelantarkanmu, duhai bidadariku"

“Aduh…,” kata Handoko ketika tangan Ningrum memijat tepat pada urat yang sakit. 

“Tahan mas. Aku akan pijat pelan-pelan dulu,” kata Ningrum sambil menambahkan minyak gosok pada tempat yang sakit.

Ningrum selalu memijat Handoko untuk meringankan sakitnya. Ia berharap,  pijatannya dapat mengurangi sakitnya.

oOo

“Ibu….!Toloong..toloong..!”

“Hah..!!!” Ningrum terkejut.

Ningrum yang sedang ada di kamar tidur, segera lari kearah dapur. Ia segera menghentikan kesibukannya membuatkan susu anaknya

“Bapak Bu..!!! Bapak jatuh di kamar mandi tak sadarkan diri!”

Didapatinya Handoko tak bergerak sedikitpun di lantai kamar mandi. Dari mulutnya terdengar suara mendengkur seperti sedang tidur.

“Mas….Mas…bangun Mas! bangun…” Namun Handoko tak bergerak sedikitpun. 

 “Maaasss…, tidak…tidaaakkk…” seketika tubuh Ningrum lunglai, tak kuasa untuk berdiri. 

Buk Yah segera lari ke rumah tetangga untuk minta bantuan. Beberapa tetangga yang berdatangan, segera membopong tubuh Handoko keluar dari kamar mandi, membawanya ke kamar tidur.

Sebagian lagi menyiapkan kendaraan untuk membawa Handoko ke rumah sakit. 

Ningrum masih belum bisa menguasai dirinya. Ia terkulai lemas di ruang tamu, ditemani beberapa tetangganya. Sedangkan Handoko sudah berada di rumah sakit. Ia langsung masuk di penanganan ICU.

30 Menit kemudian Ningrum menyusul Handoko ke rumah sakit. Ia segera menuju kantor untuk mengurus segala sesuatunya. Ningrum diperbolehkan masuk untuk menengok Handoko.

Begitu melihat Handoko terkulai tak berdaya di ruang ICU, tubuh Ningrum tiba-tiba lemas seketika. Namun kali ini ia berhasil mengendalikan dirinya. Tangannya segera bersandar pada tembok ruang ICU.

Pelan-pelan ia menghampiri Handoko yang terbaring sendirian.

“Mas.., jangan tinggalkan aku dan anak-anak. Mas…bangunlah Mas….bangun….ingat Mas anak-anak masih kecil,” Ningrum menangis tersedu-sedu dekat tempat tidur Handoko. 

Handoko masih tak sadarkan diri. Bagi Ningrum, Handoko seperti orang yang sedang tertidur pulas. Ningrum hanya memandangi suaminya dengan air mata berderai. 

Tidak berapa lama, seorang perawat datang menghampiri. Ia meminta Ningrum keluar ruangan dan menunggu diluar. 

“Ya Allah jangan pisahkan aku dari suamiku, sembuhkanlah dia, tiada kesembuhan kecuali dariMu ya Allah,” 

Ningrum duduk termenung diluar kamar ICU. Namun bibirnya tiada berhenti berdoa. Ia membasahi bibirnya dengan doa untuk kesembuhan suaminya.  

Ternyata manusia itu sangat kecil dibandingkan kekuasaan Allah. Kemarin masih bercanda dengan isteri dan anak-anaknya, sama sekali tidak ada tanda-tanda akan jatuh tak sadarkan diri seperti ini.

Kemarin ia masih memijit kakinya, masih menggosokkan minyak gosok di kakinya dengan penuh kasih sayang. Sekarang tergolek tak berdaya, tanpa bisa mengucap sepatah katapun. 

Betapa Maha Kuasanya Engkau ya Allah, siapa yang mampu menolak keputusanMu ? 

Dada Ningrum terasa sesak, ada tanda tanya dalam hati, apakah kelak suaminya bisa pulang dan berkumpul kembali dengan keluarga. Air mata ini tak bisa ditahan, mengalir bagaikan air bah. 

“Suamiku, sembuhlah, pulanglah….tegakah engkau meninggalkanku sendiri bersama anak-anak? Ya Allah, yang Maha menguasai alam semesta, Engkau yang menciptakan sakit" "

"Ku mohon ya Allah, berikanlah petunjukMu agar suami hamba segera mendapatkan obat yang cocok untuknya. Kembalikanlah dia padaku” berjam-jam lamanya Ningrum menunggu suaminya yang tak kunjung siuman juga.

“Keluarga Handoko!” Ningrum terkejut dengan suster yang memanggil nama suaminya.

“Saya suster.” 

“Pak Handoko akan menjalani perawatan disini, dan besok pak Handoko akan dibawa ke Surabaya untuk menjalani CT Scan” kata suster. 

Esoknya Ningrum turut mengantar Handoko ke Surabaya. Ningrum ikut serta di dalam Ambulans. Sedangkan kedua anaknya sementara berada dirumah dengan Buk Yah dan Kedua Orang Tua Ningrum.

Untuk mengetahui hasil CT Scan diperlukan waktu dua hari. Selama dua hari tersebut Ningrum selalu disamping suaminya. Ia hanya pergi sebentar untuk ke kamar mandi, Sholat atau membeli makanan.

Dua hari kemudian Ningrum diberitahu bahwa Handoko menderita pendarahan otak. Ningrum semakin tak pernah lepas dari sisi Handoko. 

Hari ketiga menjelang Maghrib, Handoko kembali masuk ruang ICU karena kondisinya tiba-tiba menurun. Ningrum mengikuti dan menemaninya selama di ICU. ia tak henti-hentinya membisikkan kalimat thoyyibah ke telinga Handoko. 

Untuk memantau kondisi Handoko, tim Dokter memasang electrocardiograph, hingga setiap saat bisa dilihat kerja jantungnya. 

Melihat tubuh Handoko yang dipenuhi berbagai peralatan, membuat Ningrum semakin tak berdaya.

Ningrum menyerahkan semuanya ditangan Allah. Kini hanya doa saja yang bisa menenangkan hatinya. 

Ditatapnya wajah suaminya, dada yang lapang itu, pernah memberikan ketenangan dalam hidupnya, dia milikMu ya Allah. Kalau kau berkehendak khaliqmu untuk pulang, siapa yang berani berkata tidak.

Ningrum menyempatkan diri membaca surah Yasin, agar diberi rakhmat dan keberkahan. 

Selesai membaca surat Yasin Ningrum pun dengan kepala tertelungkup disamping Handoko. 

Karena terlalu capai, Ningrum tidur sangat pulas. Hingga sayup-sayup terdengar adzan shubuh dari Masjid di seberang rumah sakit. Ningrum pelan-pelan membuka matanya.

Tak dinyana, disebelahnya sudah berdiri seorang perawat yang hendak membangunkannya.

“Ibu, maaf suami Ibu telah berpulang ke Rakhmatullah,” kata perawat dengan sangat hati-hati.

“Tidak!” spontan Ningrum berontak. 

Ditolehnya dinding dimana alat perekam jantung dipasang. 

Grafiknya tidak lagi naik turun, grafik itu berubah menjadi garis lurus horisontal. 

“Ya Allah….ampuni dosa suamiku….ampuni hamba ya Allah, dia memang bukan milik hamba, jangan ya Allah” Ningrum menangis sambil memeluk tubuh suaminya. 

Lama…lama sekali….Ningrum tak rela melepaskan pelukannya. Tubuh Handoko yang masih hangat kini bermandikan air mata isterinya.

“Ibu, sudahlah…tak baik menangisi jenazah sambil meratap,” kata perawat sambil menghibur Ningrum. 

“Jangan sekarang ….hamba belum siap ya Allah.” Ningrum seakan tak percaya bila suaminya telah tiada. 

“Tidak…aku akan menemanimu disini. Kau belum mati, tubuhmu masih hangat,” Ningrum tak mau beranjak dari tempat duduknya. 

Tanpa diduga, Bu Hadi, Ibunya Ningrum masuk ke ruang ICU. 

Ia baru saja datang dari mojokerto. Maksutnya ingin menengok kondisi Handoko. Namun apa daya, jiwa Handoko kini sudah tidak bersama raganya lagi 

“Sabar Ningrum, ini cobaan anakku,” kata bu Hadi, ibu Ningrum membujuk anaknya.

“Ibu……mengapa secepat ini…..” Ningrum menangis sejadi jadinya dalam pelukan ibunya.

“Sabar anakku, nyebut….sebut Asma Allah, istighfar anakku..”

“Astaghfirullahaladziim…Astaghfirullahaladziim…Astaghfirullahaladziim... Astaghfirullahaladziim ..” tak henti-henti kalimat itu diucapkan oleh Ningrum. 

Dengan susah payah ibunya berhasil menyadarkan Ningrum. Akhirnya Ningrum merenung, sadar bahwa semua yang ada di dunia ini tidak ada yang kekal. 

Harta, anak, isteri, suatu ketika akan kita tinggalkan. Napas ini bukan milik kita, denyut jantung ini bukan milik kita. 

Milik kita yang akan kita bawa mati adalah iman. Harta yang akan kita bawa mati adalah harta yang kita shodaqohkan. Isteri yang sholihah, anak-anak yang sholih dan sholihah yang doanya menemani kita di alam kubur. 

Merenung, merenung… dan terus merenung. Ningrum sadar siapa jati dirinya. Dia adalah salah satu dari makhluk-makhluk lemah yang tidak berdaya dibandingkan kemaha luasan alam semesta ciptaan Allah.

“Kalau Engkau menghendakinya…. Silahkan ya Allah……Innaalillahi wainnaailaihi roojiuun. Sekian tahun kau menemaniku…kini kau harus kembali kepadaNya wahai jiwa yang berbalut iman"

"Kembalilah kepadaNya sayangku….semoga diampuni dosa-dosamu, diterima semua amal baikmu dan dibukakan pintu surga untukmu. Pergilah…pergilah….selamat jalan …,” bisik Ningrum.

oOo

Sepeninggal Handoko, Ningrum lebih aktif mengikuti kegiatan majlis ta’lim. Untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

Namun ingatannya tentang Handoko tidak bisa dihapus begitu saja. 

Setiap masuk kamar tidur, tempat dimana mereka saling mencurahkan rasa kasih sayang, Ningrum tak bisa menahan derai air matanya. 

Sampai kapan rasa ini ya Allah. Sungguh rasanya Ningrum tak bisa melupakan Handoko.

Hingga suatu ketika kedua mertuanya meminta untuk pindah ke kampung halaman Handoko.

“Han adalah anak ibu satu-satunya, sekarang dia telah tiada, kini tinggal kamu seorang satu-satunya anak Ibu" 

"Karena itu Ibu dan Ayah berharap supaya kamu dan anak-anak bisa pulang ke kampung menemani Ibu,” kata ibunya Handoko.

“Nanti akan saya pikirkan Bu,” jawab Ningrum.

Ningrum berpikir matang sebelum memutuskan untuk pindah ke kampung halaman Handoko.

Memang dia dulu pernah tinggal dikota itu. Namun kenangan akan suami tercintanya semuanya berada di rumah yang sekarang Ia tempati.

Ningrum benar-benar merasa berat untuk meninggalkannya. Saat sendiri dirumah, Ia merasa seakan-akan Handoko masih setia menemaninya.

Setelah meminta restu kedua orangtuanya, dan dengan berbagai pertimbangan, Ningrum memutuskan untuk pindah ke kota asal Handoko.

Menemani kedua orang Handoko, di kampung halaman.

Di lingkungannya yang baru, Ningrum melanjutkan kegiatannya mengikuti majelis ta’lim. 

Lambat laun hatinya bisa menerima keadaan yang menimpa dirinya. Ningrum yang masih muda dan cantik telah ditinggalkan oleh suaminya. 

Risih juga sebenarnya, kadang terdengar kasak-kusuk yang membicarakan tentang dirinya. 

Kini Ningrum tinggal sekota dengan Haryadi yang juga sudah menjadi duda. 

Baik Ningrum maupun Haryadi, keduanya tidak tahu bahwa mereka sudah sama-sama kehilangan pasangan hidupnya.

oOo

Ningrum sebagai guru baru di sekolah memperkenalkan diri kepada para siswanya dalam kelas. 

Dipanggilnya satu persatu para siswa sesuai dengan urutan yang ada dalam daftar absen.

“Andi….”

“Hadir bu,” jawab sang siswa sambil mengacungkan jari telunjuknya. 

Ningrum menatap setiap siswa yang dipanggilnya untuk menunjukkan perhatiannya pada siswa tersebut.

“Wenny…” 

Seorang gadis berwajah mungil mengangkat telunjuknya. Ningrum menatap wajah gadis tersebut. 

Darahnya berdesir…. 

“Aku seperti pernah melihat mata itu. Milik siapa ya… rasanya mata itu tak asing baginya….masa bodoh ah.”

“Ada yang salah dengan saya bu?” tanya Wenny.

“Oh, tidak…tidak… Wajahmu mirip saudara saya,” jawab Ningrum sekenanya. 

Wenny merasa terpuji, saudaranya pasti cantik, karena bu Ningrum orangnya juga cantik.

Sesampainya di rumah, Ningrum mengingat-ingat, siapa ya yang punya mata seperti itu? Kenapa hatinya bergetar waktu menatapnya? Menyimpan rahasia apa ya gadis itu? Apakah dia punya kekuatan ghaib?

“Entahlah…. Aku akan bekerja sesuai tugasku,” pikir Ningrum.

oOo

Tiga tahun telah berlalu. Baik Ningrum maupun Haryadi belum tahu bahwa mereka sudah sama-sama tidak punya pasangan hidup. 

Mereka tenggelam dalam kesibukannya masing-masing. 

Ningrum sering berkunjung ke luar kota karena tugasnya sebagai Instruktur mata pelajaran dibidangnya. 

Ningrum menjadi guru inti pada mata pelajaran biologi. Dia menjadi nara sumber pada mata pelajaran biologi jika guru-guru se kabupaten menemui masalah. 

Sedangkan Haryadi juga sering ke luar kota sebagai nara sumber dalam seminar-seminar yang berkaitan dengan bidang kedokteran. 

“Hilmi, ayo sepatu dan tasnya dicuci,” perintah Ningrum pada anaknya yang pertama. 

Hilmi sudah duduk di bangku sekolah dasar. Setiap hari Minggu Ningrum memerintahkan pada anaknya untuk mencuci tas dan sepatunya.

“Hari ini kita pergi keluar kota, acara hajatan, selesaikan lebih awal pekerjaanmu”

“Ya Bu,” Hilmi segera mengambil sikat dan sabun cuci. 

Hari itu Ningrum akan menghadiri acara pernikahan sepupu Handoko ke Surabaya.

Sang Nenek, tidak ketinggalan untuk membantu menyiapkan keperluan cucunya yang hendak bepergian.

“Andaikata kamu mau menikah lagi, barangkali kita tidak kesulitan kalau mau pergi keluar kota Ningrum"

"Kalau begini nanti kamu harus susah payah mencari persewaan mobil, mencari sopir,” kata ibunya Handoko.

“Ningrum belum ada niat untuk menikah lagi bu, Ningrum mau merawat anak-anak serta Ayah dan Ibu saja.”

“Jangan begitu Ningrum. Kamu masih muda dan cantik, masa depanmu masih jauh. Kau tetap jadi anak Ibu sekalipun sudah menikah lagi. Tetap tinggallah disini bersama suamimu nanti.”

“Sudahlah Ibu, kita serahkan saja semua pada kehendak Allah, kalau toh nanti Ningrum menikah lagi, Ningrum juga akan tetap bersama Ibu dan Ayah,” Ningrum memeluk mertuanya. 

Ningrum jadi ingat janji Haryadi, akan ‘kutunggu jandamu’. 

“Tidak, aku tak mau merusak rumah tangga orang lain,” pikirnya. 

Minggu pagi itu mereka jadi berangkat ke Surabaya untuk menghadiri acara resepsi pernikahan sepupu Handoko. 

Perjalanan ke Surabaya membutuhkan waktu selama dua jam. Acara resepsi diselenggarakan di rumah. 

Sesampainya di rumah sepupu, sudah banyak tamu undangan yang hadir. 

Saudara, baik dari pihak pengantin pria maupun wanita disediakan tenda tersendiri, khusus hanya untuk saudara. 

Suasana menjadi sangat hingar bingar oleh gelak tawa kerinduan antar keluarga. Sekaligus ini menjadi ajang reuni keluarga. 

Ningrum selalu mendekat pada ibu mertua, hampir semua kurang akrab dengannya karena jarang berjumpa. Sedangkan mereka sudah bergaul sejak kecil. 

Tiba-tiba seorang pria bertubuh atletis mendekati Ningrum dan mengulurkan tangannya pada Ningrum. Ningrum menerima uluran tangan pria tersebut. (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (36)"