Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (37)

jendela hati


Ninien Supiyati

“Lupa sama aku?” tanya pria tersebut.

“Sandi? Benarkah?”

“Ya…..masih tajam ingatanmu,” jawab pria tersebut. 

“Hanya dengan anak-anak, mana suamimu?” 

Ningrum tidak segera menjawab, hanya matanya yang berkaca-kaca.

“Maaf kalau pertanyaanku membuatmu sedih,” kata Sandi.

“Suamiku telah tiada tiga tahun yang lalu,” jawabnya sambil menarik napas panjang.

“Oh, aku ikut berduka cita. Haryadikah itu?”

“Bukan, Haryadi sudah menikah dengan Rosa.”

“Lalu kamu ada disini, kamu dari pihak penganten pria atau wanita?” tanya Sandi.

“Penganten wanitanya itu sepupu mas Handoko almarhum.”

“Oh, aku dari pihak penganten pria, dia adalah sepupuku.”

“Eh, mana isteri dan anakmu? Dari tadi aku melulu yang cerita,” tanya Ningrum. 

Sandi menarik napas panjang.

“Aku menikah dengan Sundari teman SMA kita dulu, tapi tidak bertahan lama. Antara kami tidak ada kecocokan. 

"Kami bercerai, dia tahu bahwa hatiku sudah dibawa pergi oleh seseorang, dan aku tak mungkin bisa melupakannya. Sampai sekarang aku belum ada niat untuk menikah lagi.." 

Sandi berpikir sejenak untuk melanjutkan kalimatnya.

"Kecuali dengan orang yang benar-benar aku cintai. Untung kami belum punya anak” 

Ningrum merasa bahwa kata-kata itu ditujukan padanya. Ningrum diam saja, sebenarnya hatinya juga sudah dibawa pergi oleh Haryadi, rasanya dia mau menikah lagi kalau dengan Haryadi. Tapi ini tak mungkin terjadi.

“Kamu sekarang tinggal dimana?” tanya Ningrum untuk mengalihkan pembicaraan.

“Aku tinggal di Surabaya, mengelola perusahaan kecil-kecilan,” jawab Sandi sambil membetulkan duduknya. 

“Kamu nanti pulangnya bagaimana? Boleh aku antar?”

“Aku sewa mobil tadi, sekarang menunggu di luar sana. Aku pulang kampung, tinggal bersama Ayah dan Ibu mertua.”

Keduanya terlibat pembicaraan yang cukup panjang. Hingga tak terasa sudah cukup lama waktu yang mereka habiskan

Menjelang  Ashar, Ningrum dan keluarganya berpamitan pulang. Ningrum juga berpamitan pada Sandi 

Sandi mengantar Ningrum dan keluarganya sampai ke mobil.

“ Sampai jumpa, sampai ketemu lagi,” kata Sandi. 

Sandi merasa bahagia atas pertemuannya dengan Ningrum. Dia berharap Ningrum mau jadi isterinya. Tapi apakah Ningrum mau? Lagi-lagi cinta itu menyakitkan. 

“Duhai awan yang berarak, payungi orang yang kucintai sampai rumahnya” doa Sandi sembari menatap mobil rombongan keluarga Ningrum. 

Ingin rasanya Sandi mengantar Ningrum sampai ke rumah. Ditatapnya mobil yang membawa Ningrum dan keluarganya, semakin jauh, mobil semakin tidak kelihatan. 

Akhirnya hilang ditelan tikungan jalan. Sandi menarik napas panjang 

“Ningrum…Ningrum….namamu tak pernah hilang dari ingatanku.”

oOo

Semenjak pertemuan di pernikahan, Sandi lebih sering mengunjungi Ningrum ke rumahnya. Ningrum hanya menganggap sebagai pertemanan biasa. 

Ningrum senang karena ada yang membantu ketika dia membutuhkan tenaga pria. 

“Kenapa lampu kamar anak-anak tidak dinyalakan, mendung begini kan gelap kasihan anak-anak,” tanya Sandi suatu ketika sedang berkunjung ke rumah Ningrum.

“Tidak tahu apanya yang rusak, padahal lampunya sudah aku ganti baru,” jawab Ningrum.

“Coba aku betulkan,” kata Sandi. 

Sandi mencoba membetulkan kerusakan lampu tersebut. Tidak terlalu sulit bagi Sandi, karena ia sudah sering membetulkan kerusakan seperti itu  

“Ningrum aku ingin menerangi hatimu seterang lampu ini menerangi kamar anak-anak. Aku juga ingin merawat yatim-yatim ini” batin sandi bergolak kesana-kemari sembari membetulkan lampu. 

Setelah selesai mereka kembali berbincang-bincang di ruang tamu. 

“Ningrum ada yang akan kusampaikan padamu,” kata sandi.

“Apa yang ingin kamu sampaikan?”

“Terus terang, aku sangat mencintaimu sejak kita duduk di bangku SMA. Apakah pintu hatimu masih terbuka untukku?"

"Masih ingatkah puisi yang pernah kutulis di buku kimia yang kamu bawa maju ke papan tulis? Tahukah kamu kepada siapa sebenarnya puisi itu kutujukan?" 

"Puisi itu adalah untukmu Ningrum. Sampai sekarang aku belum bisa melupakanmu.” kata Sandi dengan penuh harap. 

Ningrum tidak menjawab. Hati ini memang sepi, orang yang benar-benar dicintainya telah menjadi milik orang lain. 

Apa artinya mencintai kalau bukan miliknya, lebih baik buang jauh-jauh rasa cinta itu pada Haryadi. Kenapa tidak pindah saja pada orang yang benar-benar mencintai dirinya? 

Lebih baik dicintai dari pada mencintai. Mencintai itu sakit. Lagi pula Sandi sudah akrab dengan anak-anak. Mereka sering bermain umpet-umpetan, kuda-kudaan, Sandi sering mengajak anak-anak keluar untuk jalan-jalan. 

“Bagaimana Ningrum, masih adakah sisi ruang di hatimu untukku?” Ningrum diam tidak menjawab.

“Baiklah barangkali kamu perlu berpikir. Aku juga tidak memaksamu jika kamu keberatan. Aku Cuma ingin melihat kamu bahagia, sekalipun tidak bersamaku,” lanjut Sandi.

“Ya, beri aku kesempatan untuk berfikir.”

“Baiklah. Aku pulang dulu, minggu depan kalau aku rindu sama anak-anak aku akan kesini. Aku tidak memaksamu, jangan sampai kau bersedih karena pernyataanku tadi.”

oOo

Pada waktu yang bersamaan, Haryadi duduk sendiri, merenung. Ternyata dia merasa sepi juga, butuh teman untuk diajak bicara. 

Memang akhir-akhir ini Haryadi terlalu sibuk, tanpa disadari ternyata hatinya kosong, dan kekosongan itu kini terasa merobek hatinya. 

“Ningrum, andai saja engkau belum ada yang punya, niscaya aku akan petik kau wahai bunga hatiku. Tapi aku bukan tipe perusak rumah tangga orang, tak mungkin aku lakukan itu" 

"Biarlah kamu bahagia dengan jalanmu sendiri, walaupun aku tak bisa melupakan senyum manismu. Siapapun akan tergila-gila karena senyummu. 

"Pilu rasanya ketika hati ini berteman sepi, wahai purnama, sampaikan salam rinduku padanya. Aku hanya bisa memilikinya dalam hati.” 

Haryadi beranjak dari duduknya, didinginkan hatinya dengan air wudhu, dihirupnya air melalui hidung, semoga pernapasannya lancar, dadanya tidak sesak. 

“Har, sebaiknya kamu menikah lagi supaya ada yang mengurusmu,” kata ibunya suatu ketika.

“Belum ada yang cocok Bu, kan aku juga harus menyesuaikan diri dengan anak-anak. Aku mau mencari yang bisa memahami anak-anakku.”

“Kemarin lusa pamanmu ingin mengenalkan kamu dengan seorang dokter yang masih gadis. Anaknya sholihah, tidak neko-neko, penyabar lagi. Mbok ya coba kenalan, siapa tahu barangkali cocok dengan anak-anakmu juga,” kata ibu.

“Tidak apa-apa, kan nambah pesaudaraan juga,” jawab Haryadi.

Dua hari kemudian pamannya datang untuk mengajak Haryadi berkunjung ke rumah kenalannya di luar kota. 

“Kamu tak bagus hidup sendirian tanpa didampingi isteri. Lagi pula kalau ada isteri kan pahalamu bisa berlipat" 

"Kalau begini kamu sholat sendirian, coba kalau ada isteri, kamu bisa berjama’ah dan pahalanya akan berlipat,” kata paman ketika dalam perjalanan menuju rumah kenalan paman.

“Ya juga sih om,” jawab Haryadi.

Di rumah kenalan pamannya, rombongan paman disambut dengan sangat ramah oleh keluarga gadis itu.

Gadis itu cukup cantik, rambutnya lurus sebahu, wajahnya mungil, yang membuat Haryadi tertarik wajah gadis itu ada miripnya dengan Ningrum. 

Kalau Ningrum berkulit sawo matang, tapi gadis itu berkulit kuning langsat.

Perkenalan mereka direstui oleh kedua orang tua gadis itu. Amelia demikian nama gadis itu.

“Bagaimana Har?” pertanyaan paman saat perjalanan pulang.

“Boleh juga sih Om, tapi kan dia harus bisa menyesuaikan dengan Reni dan Rina.”

“Yah, nanti lama kelamaan kan mereka bisa akrab juga.”

Perkenalanpun berlanjut. Haryadi sering mengunjungi Amelia dengan membawa anak-anaknya. Hubungan mereka pun semakin akrab. 

Amelia bisa membaur dengan anak-anak, sehingga anak-anak Haryadi tidak merasa canggung dengan Amelia.

oOo

Haryadi dan Amelia akhirnya memutuskan untuk menikah. Rumah tanggan sangat bahagia. Bahkan mereka juga sudah dikaruniai seorang anak laki-laki.

Haryadi dan Ningrum memang sekota, tapi jarak rumah mereka sekitar 20 kilometer. 

Keduanya sengaja mengubur dalam-dalam cinta mereka untuk menghindari maksiat, mengingat keduanya masing-masing sudah berumah tangga. 

Mereka juga tidak saling mengabarkan keadaan masing-masing, juga tidak berusaha mencari tahu tentang keadaan masing-masing. 

Karena itu mereka tidak tahu bahwa masing-masing sudah saling menjadi duda dan menjadi janda. 

Demikian juga Ningrum dan Sandi, keduanya sudah menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Mereka tetap tinggal bersama di rumah orang tua Handoko. 

Namun akhirnya Sandi membeli rumah sendiri untuk tinggal bersama keluarganya. Mereka tinggal tak jauh dari rumah orang tua Handoko, sambil merawat ayah dan ibu Handoko.

Bulan berganti bulan, tahun pun berganti. Suatu ketika Sandi berniat untuk mengadakan reuni teman sekolah yang masih tinggal di kota asal sekolah mereka.

Kebetulan Sandi dan Ningrum berdomisili di kota tersebut. Sandi ingin merajut kembali persahabatan yang telah lama putus. 

Dari mulut kemulut akhirnya dapat dihimpun sejumlah teman yang masih tinggal di kota itu. Tak banyak memang, tapi cukup untuk memeriahkan acara temu kangen. Pertemuan akan diadakan di rumah Sandi.

Hari yang telah ditentukan tiba. Pertemuan Haryadi dan Ningrum pun tak dapat dihindari. 

Hal ini juga sudah diperhitungkan oleh Sandi, dan Sandi yakin Ningrum sudah bisa berfikir dewasa. 

Tak mungkin terjadi hal hal yang tak diinginkan. Sebagai tuan rumah, Sandi sibuk menyalami tamu-tamu yang datang. 

Haryadi, Sandi dan Ningrum terlibat pembicaraan serius. Tak lama kemudian, Sandi harus meninggalkan Haryadi dan Ningrum berdua. 

Sandi harus menyambut teman-temannya yang baru datang. Sandi sibuk kesana kemari mengajak ngobrol teman-temannya dan menanyakan kabarnya. 

Bertahun-tahun mereka tak bertemu. Mereka mencurahkan rasa kangen antar teman. 

“Aku tahu kalau kau pindah kekota ini dari adikku. Kau pernah mengajar dia,” kata Haryadi

“Oh ya, siapa nama adikmu?” tanya Ningrum

“Wenny, adikku perempuan,” jawab Haryadi. 

Ningrum diam sejenak, Wenny….dia pernah membaca daftar hadir siswa, dan menatap satu persatu wajah siswa yang sedang dipanggilnya. 

Ketika dia memanggil Wenny, mata mereka beradu, dan darah Ningrum berdesir, jantungnya berdegup. Ningrum ingat sekali dengan kejadian tersebut. 

Baru terkuak sekarang. Ternyata mata Wenny itu adalah mata Haryadi juga. Ternyata masih ada sambung rasa antara Haryadi dan Ningrum tanpa mereka sadari. 

“Kenapa diam?” tanya Haryadi

“Ya, aku ingat, waktu itu jantungku berdegup cepat ketika aku menatap matanya. Aku tak tahu kenapa bisa begitu. Sekarang baru terkuak,” jawab Ningrum, wajahnya berubah menjadi merah.

“Kamu masih seperti dulu, cantik. Kenapa kemarin-kemarin kita tidak diketemukan. Aku tiga tahun menduda. 

"Aku sebenarnya sangat mengharapkan kamu, tapi aku tak mau merusak rumah tanggamu. Aku baru dua tahun yang lalu menikah lagi,” kata Haryadi.

“Aku juga baru 2 tahun yang lalu menikah lagi, sudahlah…tidak usah dibahas, tidak ada artinya, yuk gabung dengan teman-teman,” kata Ningrum 

Ningrum berdiri dan menyalami tamu-tamu wanita. Hatinya sebenarnya hancur juga, masa lalu kini terulang lagi. 

Ningrum tidak bisa konsentrasi dengan teman-temannya. Perasaannya kacau. Sandi tahu persis apa yang sedang dialami isterinya. 

“Sayang, kamu sakit ya, kamu terlalu capai. Tidurlah biar teman-teman aku yang menyambut,” 

Dengan penuh kasih sayang Sandi memapah Ningrum masuk kekamar. Sandi sangat besar cintanya pada Ningrum, mengalahkan cinta pada diri sendiri. 

Ningrum sadar akan cinta Sandi yang begitu besar padanya, dia mengikuti perintah suaminya. Itulah sebabnya mengapa Ningrum menerima lamaran Sandi. 

Baginya, lebih baik dicintai dari pada mencintai. Kini Ningrum mencintai Sandi, walaupun masih ada sedikit endapan cinta dengan Haryadi dalam lubuk hatinya yang paling dalam. 

Ningrum juga tak ingin mengkhianati cinta Sandi padanya. Beberapa tahun Sandi menunggu dengan sabar, dalam hati Sandi berjanji tak akan menikah kalau tidak dengan Ningrum.

Sampai-sampai ia sering bertengkar dengan orang tuanya karena ia tak mau menikah lagi.(bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (37)"