Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (38-Tamat)

Jendela Hati


Ninien Supiyati

Melihat gelagat Haryadi dan Ningrum yang masih saling cinta, maka Sandi memutuskan untuk pindah ke Surabaya.

“Sandi, tak mungkin aku memikirkan Haryadi. Percayalah aku selalu berpikir logis" 

"Kalau aku sakit, apakah Haryadi yang akan merawatku? Ketika aku dan anak-anak dalam kesulitan, apakah Haryadi juga yang akan membantu? Tidak kan?"

"Aku sudah mengubur dalam-dalam semua kenanganku dengan Haryadi" 

"Aku menguburnya sangat dalam, tak mungkin akan muncul lagi” kata Ningrum ketika Sandi mengajukan niatnya untuk pindah ke Surabaya. 

Sandi terus terang mengatakan kepada Ningrum mengapa mengajaknya pindah ke Surabaya.

“Ningrum sayang, aku percaya pada pernyataanmu, sepenuhnya aku percaya. Tapi rasanya akan lebih tenang hidupku kalau kita pindah ke Surabaya,” jawab Sandi.

“Bagaimana dengan Ayah dan Ibu di sini San, kasihan mereka.”

“Kita bisa tiap Minggu, atau kapanpun mengunjungi mereka ke kampung. Mereka tetap orang tua kita, kalau terjadi apa-apa pada Ayah atau Ibu aku tetap akan bertanggung jawab,” kata Sandi.

“Baiklah, aku ikut saja kehendakmu, aku bisa mengerti kekhawatiranmu.”

Akhirnya Sandi dan Ningrum pindah ke Surabaya. Untuk sementara mereka akan tinggal bersama ayah dan ibu sandi. 

Rencananya, Sandi akan mengambil kredit perumahan. Sandi merasa bahwa dialah orang yang paling bahagia di dunia saat ini. 

Sandi sama sekali tidak menyangka kalau dia bakal membina rumah tangga bersama Ningrum. 

Selama ini Ningrum hanyalah bayangan saja dalam hidupnya, tak bisa diajak bersama dan tak bisa diajak bicara. 

Sandi merenung, begitulah kalau Allah sudah berkehendak, segala sesuatu yang tak mungkin, sekarang menjadi kenyataan. Sejak duduk di bangku SMA cinta itu sudah bersemi, dan sampai sekarang cinta itu semakin subur. 

Kini Ningrum tidur nyenyak disampingnya, seakan badai yang telah mengombang-ambingkan hidupnya telah berlalu. 

Dari pancaran wajahnya, nampak tidak ada beban atau penderitaan. Tidak ada lagi yang perlu dikeluh kesahkan, tak ada artinya mengeluh, mengeluh tak akan menyelesaikan masalah. 

Mengeluh justru akan menambah masalah. Sandi memandangi wajah Ningrum, isterinya yang sedang tidur nyenyak. 

Disapukan pandangannya pada wajah isterinya, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis, pipinya yang menyembul kemerahan, sungguh ciptaan yang Maha Kuasa, yang sempurna sekali.

“Subhanallah….terima kasih ya Allah, telah Engkau anugerahkan kepadaku isteri yang cantik dan sholihah.” 

Kesabaran Sandi selama ini telah membuahkan hasil. Memang sabar itu pahit, tapi buahnya manis. Berbahagialah Ningrum menjadi wanita yang sangat dicintai oleh suami. 

oOo

Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Semuanya menjalani kehidupan dengan rumah tangga masing masing. 

Waktu tak dapat ditahan untuk beberapa saat. Rambutpun satu demi satu mulai memutih, bersinar bagaikan lampu jalan yang menerangi kegelapan.

Jalan pada senja hari yang sebentar lagi menjelang malam. Apakah ini pertanda bahwa kita sudah mulai dibekali dengan lampu-lampu itu untuk berjalan di kegelapan malam? 

Belajar sabar dan bisa mengendalikan diri. Kehidupan kini sudah mulai tersentuh dengan teknologi.

Dulu untuk mengetahui keadaan orang terdekat kita orang tua, sanak saudara, kekasih harus menunggu berhari hari untuk mendapatkan balasan surat yang telah dikirim. 

Kini dunia baru telah hadir, yaitu dunia teknologi modern.

oOo

Berbeda dengan Rosa, sifatnya agak temperamen. Amelia adalah isteri yang penyabar. 

Amel, demikian nama panggilan isteri kedua Haryadi setelah Rosa meninggal, mengasuh dua anak tiri dan dua anak kandungnya dengan Haryadi. 

Amelia merasa bangga dengan dua anak tirinya yang sudah sukses terjun di masyarakat. Anak tertua dari Haryadi dengan Rosa kini telah menjadi dokter, sudah menikah dan dikaruniai dua anak.

Anak keduanya dengan Rosa juga perempuan, menjadi pengusaha bergerak dibidang bangunan. 

Sedangkan anaknya dengan Amelia yang pertama sudah duduk di bangku SMA, yang kecil masih duduk di bangku SMP.

“Rudi, setelah tamat SMA nanti ayah ingin kamu seperti kakakmu. Masuk fakultas kedokteran, supaya bisa meneruskan ayah" 

"Jangan sampai Rumah sakit yang sudah ayah bangun dengan susah payah ini tidak ada yang meneruskan,” kata Haryadi pada Rudi Asmara, anak pertamanya bersama Amelia.

“Tidak ayah, Rudi ingin memilih jurusan Astronomi,” bantah Rudi pada ayahnya.

Haryadi sempat terkejut dengan jawaban anaknya. 

“Mengapa? Mau jadi apa kamu nanti? Kamu sudah melihat sendiri kan, ayah sukses" 

"Bisa membangun rumah sakit, kakakmu juga sedang merintis untuk membangun sebuah klinik!"

"Apakah kamu tak ingin seperti ayah dan kakak? Rumah sakit ini ayah bangun dengan susah payah hanya untuk kamu dan adikmu"

"Demi masa depanmu. Renungkan itu! “

“Rudi tidak tertarik di bidang kedokteran, maafkan Rudi ayah. Rudi ingin mendalami ilmu astronomi”. 

Hariyadi diam, memang anaknya yang satu ini kalau sudah mempunyai keinginan dan kemauan harus terlaksana. 

Lama mereka tak bicara, hanya kicauan burung kedasih  yang terdengar nun jauh disana. 

Sayup sayup suara burung itu terbawa semilirnya angin senja yang membuai mereka berdua, ayah dan anaknya diteras rumah. 

Pikiran Haryadi jadi lain, ia lupa akan kemauan anaknya yang keras itu. 

Ingatannya kembali melayang pada peristiwa beberapa puluh tahun yang silam. 

Peristiwa terlahirnya cinta pertamanya dengan Ningrum. 

Mengapa sampai mereka tak berjodoh, padahal beberapa tahun yang lalu mereka sama-sama ditinggalkan oleh pasangannya masing-masing. 

Rasa menyesal yang sangat dalam tentang lepasnya Ningrum dari tangannya. 

Apalagi setelah mengetahui bahwa Ningrum menjadi isteri Sandi. 

Rasa hambar dalam menjalani hidup mulai menyelimuti dirinya.

“Ayah, maafkan Rudi tak bisa mengikuti kehendak ayah,” kata Rudi memecah kesunyian. 

Haryadi terkejut dan bingung. Apa ya tadi yang dibahas bersama anaknya ?

“Oh ya…lalu..lalu, bagaimana rencanamu selanjutnya,” kata Haryadi agak terbata bata.

“Ya itu tadi, Rudi masih tetap ingin melanjutkan ke jurusan Astronomi,”

“Ya sudah kalau itu memang kemauanmu, ayah dan ibu hanya bisa mendoakan saja.”

“Terima kasih ayahku yang bijaksana, Rudi akan selalu patuhi perintah ayah,” kata Rudi sambil mencium tangan ayahnya. 

Bangga rasanya Haryadi mempunyai anak anak yang tawadu pada orang tua dan guru. 

Di sekolah, rudi memang sangat patuh pada guru-gurunya

“Belajarlah menuntut ilmu keluar kota, ayah akan merestuimu.”

Adzan maghrib sayup sayup berkumandang dari musholah yang agak jauh. 

Tak berapa lama, mushola di dekat rumah yang dibangun oleh Haryadi juga mengumandangkan adzan.

“Ayo kita berjamaah ” kata Haryadi mengajak anaknya. 

Mereka berdua berangkat menuju mushola yang dibangun di lingkungan rumah sakit, sedangkan rumah keluarga bersebelahan dengan rumah sakit itu. 

“Kenapa ayah tidak mengangkat seorang direktur saja, supaya ayah tidak terlalu capek” kata Amelia setelah makan malam.

“Direktur rumah sakit itu harus seorang dokter, sedangkan sekarang masih susah untuk mencari dokter yang sudah berpengalaman untuk mengelola rumah sakit” jawab Haryadi.

“Ya sudah, bagaimana kalau ayah mengangkat seorang sekretaris saja,” usul Amelia.

“Ya ayah akan cari pegawai ayah yang sudah terampil dan cerdas,”

oOo

Hari demi hari telah berlalu, bulan demi bulan telah berlalu. Rudi Asmara kini telah lulus dari SMA.

Dengan diantar oleh kedua orang tuanya, Rudi berangkat ke Surabaya untuk mendaftar ke perguruan tinggi pilihannya sendiri. 

Sementara Rudi mengantri untuk mengambil formulir, Haryadi dan Amelia menunggu di sebuah kantin di area kampus itu.

“Amel, kau mau makan apa?” Tanya Haryadi pada isterinya.

“Aku mau sop buntut saja,” jawab Amelia sambil membetulkan duduknya. 

Deg! 

Haryadi berdesir darahnya. Itu kan makanan kesukaan Ningrum! 

Mengapa semua kejadian yang ia alami selalu mengarahkan ingatannya pada Ningrum. 

Ah…tidak! tepisnya untuk menghibur hatinya sendiri. 

“Mas…kok nglamun sih? Mas sendiri pilih apa ?”

“Oh…tidak,” jawab Haryadi sedikit gagap. 

“Aku memikirkan masa depan anak kita nanti. Kalau lulus dari jurusan Astronomi mau jadi apa dia?” lanjutnya berbohong.

“Eh…aku pilih sama dengan kamu saja, sop buntut”

“Maaf bapak, sop buntut tidak ada, itu menu lama belum kami ganti,” jawab pramusaji.

“Ya sudah ini saja, gurami bakar,” kata Amelia pada pelayan. 

Lagi lagi Haryadi terkejut. Gurami bakar adalah kesukaan Rosa! 

Kenapa semuanya kejadian ini sangat runtut? 

Sempat terbersit di benak Haryadi, mungkin akan ada sesuatu. 

Namun ia lebih memilih untuk tidak menghiraukan pikirannya.

Sambil menunggu masaknya gurami bakar mereka ngobrol membicarakan anaknya.

“Amel, tolong jagain tas mas, mas mau kekamar kecil sebentar,” kata Haryadi sambil beranjak dari tempat duduknya. 

Haryadi berjalan agak jauh mencari dimana letak kamar kecil di area kampus ini.

Sementara itu Amelia menunggu sambil memainkan handphonenya. 

Tiba tiba dari dalam tas Haryadi terdengar nada dering. 

Diambilnya hand phone yang ada dalam tas Haryadi dan digesernya lingkaran berwarna hijau ke atas.

“Hallo, mas bagaimana dengan janjimu…katanya pagi ini mengajakku gowes. Aku sudah satu jam lebih menunggumu….” 

Suara wanita diseberang telepon itu nyerocos  tak henti-henti ketika panggilannya diterima. 

Seerrr..!!!

Mendidih darah Amelia. Serasa darah di tubuhya mengalir sangat cepat, jantung serasa mau copot.

Tanah yang dipijaknya seakan runtuh. Tangannya bergetar, hingga hand phone yang dipegangnya hampir jatuh.

“Hallo…saya isterinya! mbak siapa?” jawab Amelia dengan suara yang bergetar.

Teg…

Tiba-tiba si penelepon mematikan panggilannya. 

Amelia terdiam, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Hand phone tidak segera dimasukkan ke dalam tas, tapi masih dipegangnya, sambil bengong tak jelas apa yang sedang ia pikirkan. 

Amelia tak bisa berfikir jernih, siapa wanita itu! 

Setelah berhasil menguasai emosi, Amelia menemukan cara untuk melacak si penelepon itu.

Ia mengirimkan nomor telepon wanita itu ke hand phone nya. Lalu memasukkan kembali hand phone suaminya kedalam tas suaminya. 

Namun sebelumnya, Ia terlebih dahulu menghapus panggilan masuk. Amel sengaja tidak menanyakan langsung kepada suaminya, siapa wanita itu. 

Bisa saja suaminya menjawab kalau itu salah sambung, atau alasan lainnya. Amelia ingin menyelidiki sendiri siapa sebenarnya wanita itu.

Ketika Haryadi balik, Amelia kembali terbawa emosi.

“Kenapa balik lagi kesini, tidak sekalian cari cewek cewek cantik disana?” sindir Amelia sambil membuang muka.

“Mana sih ada cewek cantik selain kamu?” kata Haryadi sambil mencolek dagu isterinya. 

“Wah jago merayu bener orang ini" pikir Amelia. 

Namun diakuinya, hatinya sedikit luluh dengan colekan didagunya. 

“Tunggu, aku akan selidiki siapa orang itu,” pikir Amelia. 

“Jelas dia simpanan suamiku. Pantas setiap pagi gowes, pakai parfum segala. Rambut disisir rapi dan selalu memandangi dirinya di depan kaca, persis anak remaja!”

Amelia mengesampingkan dulu rasa cemburunya pada wanita simpanan suaminya. 

Gurami bakar itu lebih menarik perhatiannya, Aroma sambal terasi yang dikelilingi dengan lalapan kemangi, kobis, mentimun dan selada kesukaannya. 

Perasaan cemburu untuk sementara dipendamnya.

Tak lama kemudian Rudi datang.

“Pingin makan apa Rud, pesan sendiri sana,” kata Amelia.

Rudi segera memesan makanan kegemarannya. Mereka bertiga makan dengan lahap. 

“Bagaimana, banyak pendaftar jurusan pilianmu itu?” Tanya Haryadi pada anaknya.

“Lumayan banyak Yah"

“Kalau Fakultas Kedokteran bagaimana?”

“Fakultas kedokteran pasing grade nya tertinggi diantara Fakultas yang lain yah. Karena itu Rudi gak berani daftar di Fakultas Kedokteran.”

“Kalau tidak diterima kan bisa mendaftar di perguruan tinggi swasta, yang penting ambil Fakultas Kedokteran.”

“Tidak yah, Rudi sudah mantap di Astronomi saja.”

“Ya sudah kalau itu memang pilihanmu, ayah tidak akan memaksa”

oOo

Amelia tidak menyukai bersepeda. Meskipun dirumah ada beberapa sepeda dengan harga mahal. Ia lebih memilih sibuk dengan kegiatannya mengurus catering.

Baginya, berkecimpung di dunia catering sudah cukup melelahkan. Ia tidak ingin menambah beban lelahnya dengan bersepeda.

Pagi itu seperti biasa, setelah sholat subuh Haryadi duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi  ditemani sepotong pisang goreng dan ketela rebus yang masih hangat. 

Amelia masih tetap seperti biasa melayani suaminya walaupun dengan hati yang penuh tanda tanya, siapa gerangan wanita yang menelpon suaminya tempo hari. 

Yah, masa bodohlah yang penting suami masih menunjukkan rasa sayang pada keluarga. 

Amelia menemani Haryadi menikmati minum kopi pagi itu. 

“Aku besok ada acara diklat di luar kota, kemungkinan menginap semalam,” kata Haryadi sambil meneguk kopi dari cangkirnya.

“Apa saja yang harus kupersiapkan untukmu?” tanya Amelia.

“Seperti biasa. Pakaianku, peralatan mandi dan kebutuhan yang lain”.

Amelia sedikit heran, biasanya kalau mau keluar kota diklat Haryadi pasti sibuk dengan buku bukunya, karena Haryadi adalah salah satu nara sumber yang senior. 

Tapi mengapa kali ini tidak satupun buku dibukanya, tapi sibuk dengan hand phonenya. 

Amelia mengamati, akhir-akhir ini Haryadi menunjukkan gejala gejala yang aneh tingkah lakunya, diluar kebiasaan. 

Suka pakai parfum agak berlebihan, suka senyum senyum sendiri kalau pegang hand phone, dan tidak fokus kalau diajak bicara.

Pagi pagi sekali sopir pribadi Haryadi sudah datang, mulai mencuci mobil dan membereskan interiornya. 

Amelia mengantarkan suaminya sampai di pintu. Haryadi mencium kening Amelia setelah mengemasi perlengkapan yang akan dibawanya. 

“Mas berangkat…”

“Ya hati hati dijalan”

Setelah mobil tak nampak, amel memutar tubuhnya masuk kedalam rumah. Hari ini tak begitu banyak pesanan kue. 

Amelia sebenarnya seorang dokter juga. 

Keluarga Haryadi merupakan keluarga yang cukup besar. Di rumahnya ikut tinggal beberapa saudara dan keluarga Amelia. 

Mereka berasal dari desa. Karena banyak tenaga keluarganya yang bisa dimanfaatkan dalam rumah, akhirnya Amelia berinisiatif untuk membuka usaha catering. 

Dan karena kesibukannya sebagai seorang dokter, maka dia hanya memanage saja keuangan catering. Catering sepenuhnya dijalankan oleh adik kandungnya, Marlina. 

Usaha kateringnya maju pesat, apa lagi setelah suami Marlina menyewakan sound system dan tenda untuk resepsi pernikahan. 

Usaha yang dijalankan adik iparnya tersebut turut menyokong kesuksesan catering milik Amelia

“Lin sini, aku ingin bicara padamu,” kata Amelia pada adiknya setelah keberangkatan Haryadi.

“Aku curiga dengan tingkah laku kakakmu yang akhir akhir ini nyleneh. Dia suka pakai parfum berlebih, suka bersenandung, dan wajahnya ceria banget"

"Suka colek colek pipiku. Pokoknya lain dari kebiasaannya sehari-hari” Kata Amelia pada Marlina.

“Itu berarti mas Har lagi jatuh cinta, entah jatuh cinta sama siapa ?”

Amelia jadi ingat wanita yang menelpon Haryadi tempo hari, waktu mengantarkan anak mereka daftar di perguruan tinggi di Surabaya. 

“Iya Lin, aku jadi ingat, tempo hari ada wanita menelepon di ponsel mas Har. Waktu ku terima teleponnya, kok langsung dimatikan"

"Dia bilang katanya mau gowes hari ini. Perempuan ini mengatakan kalau dia sudah menunggu satu jam. Eh ternyata mas Har ke Surabaya sama aku.”

‘Mbak catat nomor ponsel perempuan itu?”

“Ya, ini aku kirim ke ponselku.”

“Coba ajak pertemuan perempuan itu, gunakan ponsel mas Har, jangan nomormu mbak, nanti pasti gak diterima, karena tak dikenali.”

“Bagaimana ambil ponselnya, orang ke WC saja ponselnya dibawa kok.”

“Sabar mbak, cari celahnya. Suatu ketika dia kan lengah”

oOo

Berhari-hari Amelia menunggu lengahnya Haryadi untuk menggunakan ponselnya. 

Suatu ketika, perut Haryadi terasa sakit. Dia terburu-buru ke kamar kecil, dan lupa tidak membawa ponselnya. 

Kesempatan itu segera saja digunakan oleh Amelia.

Dia berniat menelpon perempuan yang diduga merebut suaminya.

Baru saja Amelia menyalakan ponsel Haryadi, ada pesan masuk, dari Ningrum.

Ditekannya tombol angka yang berwarna hijau di sebelah kanan. Dalam pesan masuk itu tertera pukul 23.30. 

Amelia dengan cepat mengirimkan nomor ponsel Ningrum ke ponselnya. 

“Pesan telah dihapus” begitulah bunyi pesan dari Ningrum.

Astaghfirullah…ternyata ponsel suaminya seperti asrama putri. Siapa sajakah wanita wanita itu?

Pasien nya ? teman sekolahnya? Pusing Amelia memikirkannya. 

Setelah mengirimkan nomor ponsel Ningrum ke ponselnya, Amelia segera mengembalikannya pada tempat semula. 

Kejadian pertama belum teratasi, muncul kejadian baru. 

Baiklah! ini harus ditangani satu persatu pikir Amelia. 

Tidak berapa lama, Haryadi kembali masuk kamar. Amelia tidak menunjukkan wajah kesalnya, dia bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa, sambil terus membersihkan kamar. Haryadipun tidak merasa curiga pada Amelia.

“Aku besok mau meeting keluar kota, siapkan perlengkapanku,” kata Haryadi pada Amelia. 

“Kan kamu masih sakit mas, apa tidak sebaiknya ditunda dulu, atau minta izin sementara” kata Amelia.

“Tidak apa apa, aku hanya masuk angin saja.”

Menjelang tidur, sembari memejamkan mata, pikiran Amelia berlarian kesana kemari. 

Siapa Ningrum itu? siapa perempuan itu? Kalau perempuan itu jelas sudah ada janji dengan suaminya.

Kalau Ningrum belum jelas siapa dia, karena ada beberapa telepon keluar dari ponsel suaminya.

Namun telepon ke Ningrum tidak diangkat oleh si empunya nomor. 

Amelia paham betul akan hal ini. Sebab telepon ke nomor Ningrum ada tanda panah kecil berwarna merah. Artinya teleponnya tidak diangkat. 

“Kok gak sama sopir mas?” tanya Amelia keesokan harinya pada suami.

“Gak apa apa, dekat saja kok, tidak sampai lima puluh kilo meter.”

Selepas kepergian suaminya, Amelia merenung. Mengapa suaminya berubah seperti itu dan sejak kapan dia mempunyai banyak penggemar wanita. 

Amelia merenung dan merenung. Berdialog dengan Allah.


Itu semua kuketahui tanpa sengaja yaa Allah, bukankah itu petunjukMu. 

Hamba ingin suamiku di masa tuanya kembali ke jalanMu, mencari bekal bersamaku untuk menghadap ke haribaanMu. 


Amelia merebahkan dirinya di sofa, agak malas malasan pergi ke kantor. Dilihat jam dinding masih menunjuk pukul 6.00. 

Diraihnya lagi ponsel yang baru diletakkan diatas meja disampingnya. Diamatinya dua nomor telepon yang sering muncul di ponsel suaminya. 

Dia mencoba menghubungi nomor Ningrum. Ditekannya tombol angka satu persatu. 

Tuutt…

Tuutt…

Tuutt…

Terdengar nada panggil. Ini berarti nomor yang dihubunginya sedang aktif. 

“Assalamualaikum” terdengar salam begitu panggilan sudah tersambung.

Dari suaranya, Amelia bisa memastikan bahwa orang di ujung telepon ini berusia diatas dirinya. 

“Waalaikumussalaam, dengan saya nyonya Haryadi”

“Iya ada apa ibu?”

“Anda yang bernama Ningrum ?”

“Betul,” hati Ningrum sudah merasa tak enak. 

Mengapa isteri Haryadi menghubunginya.

“Ada kepentingan apa anda menghubungi suami saya malam-malam?”

“Anda jangan menuduh saya terlebih dulu. Justru suami anda yang sering menghubungi saya" 

"Namun saya tidak pernah mengangkat telepon darinya” ujar Ningrum.

“Lalu kenapa anda menghapus lagi pesan pada suami saya?” Amelia mengejar Ningrum dengan pertanyaan susulan.

“Saya bilang pada dia, jangan hubungi aku lagi. Saya suruh dia menghapus semua jejak telepon dia ke saya" 

"Dan saya juga memintanya jangan menghubungi saya lagi demi keutuhan rumah tangga kita masing masing”

“Kamu itu siapanya suamiku? Mengapa dia sering berusaha menelepon kamu?” tanya Amelia masih semakin penasaran.

“Aku teman SMA nya”

“Kamu mantan pacarnya ya?” Amelia masih belum bisa meredakan emosinya.

“Ya, tapi sudah berpuluh tahun aku dan dia tak pernah saling menghubungi"

"Aku sudah berkeluarga, sudah punya cucu, nggak pantas kau menuduh aku seperti itu!"

"Ingat! kalau ingin hidupmu tenang, jangan selalu ingin tahu apa yang tidak kamu ketahui"

"Itu bukan ranahmu. Bila itu kamu lakukan, maka akan menyakiti dirimu sendiri. Camkan kata kataku!” 

Tuttttttt

Telepon tiba-tiba diputus oleh Ningrum.

Amelia merenung. Kepada siapa dia harus mengadu. 

Tiba-tiba terbersit di benak Amelia untuk menelepon suaminya. Terdengar nada sambung, namun tidak diangkat oleh si pemilik nomor.

Amelia berpikir mungkin karena suaminya sedang mengemudi, sehingga tidak mengangkat telepon darinya.

Amelia menyelonjorkan kakinya di sofa. Ia sudah menelepon kantornya untuk datang terlambat, karena kurang enak badan.

Ia hanya rebahan saja di sofa. Sambil memikirkan percakapannya dengan Ningrum. Tak terasa, Ia tertidur.

Tiba-tiba, diantara tertidur dan terbangun ponselnya bordering, diangkat dan dilihatnya ternyata dari suaminya.

“Assalamualaikum…hallo…” tak terdengar jawaban. 

“Hallo…” Amelia mengulang lagi sapaanya. 

Namun masih juga tak terdengar jawaban. 

Samar-samar terdengar suara wanita berbicara, hanya kurang jelas apa yang sedang dibicarakan. 

Amelia berusaha menajamkan pendengarannya. Dia memperkirakan, kemungkinan suaminya saat ini sedang berada di dalam mobil. 

Seluruh perhatian Amelia ditujukan di pendengarannya. Kali ini ia benar-benar yakin bahwa suaminya sedang di dalam mobil.

Kadang terdengar suara suaminya…kadang suara seorang wanita. 

Mereka saling berbincang, tapi Amelia tidak bisa memastikan apa yang sedang mereka perbincangkan. 

Di sela-sela perbincangan itu sering kali ada tawa diantara keduanya.

“Mas! genit ah! kenapa sih cubit-cubit!” terdengar suara perempuan itu manja. 

Seperti disulut bara api hatinya ketika mendengarkan candaan mereka. Seketika wajahnya terasa panas. 

Amelia meyakini, ponsel suaminya kepencet dan tidak sengaja menghubungi nomor miliknya. 

Amelia sudah tak tahan mendengarkan senda gurau mereka berdua. Ia memutuskan untuk mengakhiri panggilan itu.

Kini ia berbalik menelepon suaminya. 

Terdengar nada sibuk. 

Amelia tak menyerah. Ia mengulangi lagi panggilan ke suaminya. Ada nada sambung. Di ponselnya kini tertera “berdering”. 

Tapi mengapa tak diangkat juga? Kurang ajar! 

Rupanya mereka sedang asyik bercanda sampai tak menyadari bahwa ponselnya bordering. Atau memang sengaja tidak diangkat. 

Mungkin juga di sedang dimatikan nada deringnya. 

Amelia semakin geram, namun dia tak tahu harus berbuat apa. 

Akhirnya ia menyerah, tidak lagi menghubungi suaminya. HP nya kini diletakkan diatas meja.

Kini ia berani memastikan bahwa suaminya berselingkuh. Namun siapakah wanita itu?

oOo

“ Sukses ya seminarnya ?” tanya Amelia ketika suaminya datang.

“Rebuskan air dulu untuk aku mandi,” kata Haryadi tanpa menoleh pada isterinya.

“Jawab dulu pertanyaanku.”

“Aku ini capai, jangan tanya macam macam.”

“Okey lah…aku rebuskan air untukmu,” jawab Amelia melandai. 

Amelia berusaha supaya suaminya tidak curiga padanya. Agar ia bisa leluasa membuka ponsel suaminya. 

Dengan sekuat tenaga Amelia berusaha menampakkan sikap wajar di hadapan suaminya. 

Dia ingin bicara langsung dengan perempuan itu, dan memutuskan hubungan mereka.

oOo

Hari sebenarnya sebenarnya belum terlalu malam, namun Haryadi sudah tertidur pulas. 

Sedangkan Amelia masih sibuk dengan kegiatannya menyiapkan administrasi kantor.  

Ketika ia masuk kekamar dan beranjak tidur, tak sengaja matanya menatap ponsel suaminya di meja kecil dekat tempat tidur. 

Segera diambilnya ponsel itu, pelan pelan dibukanya satu persatu nama nama yang tertera dalam daftar kontak. 

Tak ada yang bisa dia temukan. 

Siapa nama wanita itu, sedang di ponsel suaminya hanya tertulis “AN”. Apakah itu singkatan dari nama perempuan itu ? 

Ia mencoba membuka aplikasi Whatsapp. 

Benar dugaannya! AN sering berhubungan dengan suaminya melalui telepon whatsapp. 

Amelia semakin bernafsu menjelajahi ponsel suaminya.

Dibukanya album foto dalam ponsel suaminya, dicarinya terus…mencari dan mencari. 

Ia tak peduli andaikata nanti suaminya terbangun. 

Ada beberapa foto-foto perempuan, tapi masih sewajarnya saja, karena foto bersama.  

Tiba tiba matanya tertuju pada sebuah foto sepasang laki laki dan perempuan sedang minum es jus berdua, dengan sedotan. 

Jelas itu adalah foto suaminya, dan itukah perempuan yang cekikikan dalam mobil bersama suaminya? 

Dia segera mengirim kirim foto itu ke ponselnya. 

Amelia membawa ponsel suaminya keluar kamar untuk menghubungi perempuan itu. Hatinya sudah tak sabar lagi. 

Dihubungi nomor yang tertera dalam ponsel suaminya dengan initial AN. Terdengar nada sambung. 

Tut…tut…tut…. Belum diangkat, sedangkan dilayar tertulis “berdering”.

Ditunggunya dengan penuh rasa tak sabar.

“Ya mas ada apa?” terdengar suara wanita dibalik ponsel.

“Anda siapa berani ganggu ganggu suami orang,” jawab Amelia tak sabar.

“Saya isterinya mas Haryadi, kenapa?”tanya perempuan itu ketus.

“Apa? Isterinya? Aku ini isterinya yang sah. Kamu ini gundiknya!”

“Terserah…kamu menyebutku dengan gundik kek! Atau istilahmu yang lain"

"Aku tak peduli, yang penting dia sudah menikahi aku!“

“Perempuan murahan…merebut laki orang, kamu itu masih muda, tak bisakah cari laki laki yang seusiamu?”

“Kamu terlalu mencampuri urusanku! Aku jual, dia beli kok! Jangan salahkan aku"

"Salahkan suamimu sendiri!”

“Lihat saja, suamiku pasti akan meninggalkanmu. Jangan ganggu suamiku lagi!” Amelia sudah habis kesabarannya

“Ha…ha…ha…” 

“Lihat saja, siapa nanti yang akan ditinggalkan!” kata perempuan itu.

“Kurang ajar!” Amelia menutup ponselnya, kesal dia dibuatnya. 

Disandarkannya tubuhnya ke kursi panjang diruang tamu. 

Kejam kau mas! Kau telah mengkhianati cinta kita. 

Anak anak sudah besar besar, dan kau juga sudah punya cucu, tapi masih juga mengejar maksiat. 

Air mata Amelia tak bisa dibendung lagi. Ia menangis meluapkan kekesalannya.

Dikembalikan ponsel pada tempatnya, dan di rebahkan dirinya disamping suaminya. Sedikitpun tak ada rasa ingin disentuh suaminya, Amelia tidur membelakangi suaminya.

Keesokan harinya Amelia meminta jawaban dari suaminya, siapa sebenarnya perempuan itu. 

“Awalnya aku kasihan padanya, dia janda beranak dua, masih SD. Aku hanya berminat membantu ekonominya.”

“Pelacurkah dia? Jangan sentuh aku lagi mulai sekarang!”

“Tidak, dia wanita baik baik”

“Kemarin waktu aku telepon, dia bilang katanya dia jual kamu beli!”

“Mungkin karena dia emosi”

“Kau selalu membela dia, tak ada sepatahpun kau minta maaf atau kasihan padaku!” 

“Bagaimana kau bisa kenal dengannya ?” Amelia menggali jawaban dari Haryadi

“Dari whatsapp“ jawab Haryadi singkat.

“Itu ya manfaat ponselmu ? Kau harusnya bisa berfikir logis! Dalam ponselmu itu ada malaikat dan ada setan. Kenapa kau pilih ikut setan?!” Amelia tak dapat membentung amarahnya. 

“Sekarang kau pilih aku atau dia, aku tak mau di madu!"

"Kalau kau pilih dia, pergi dari rumah ini. Aku dan anak anak akan tetap tinggal dirumah ini.”

Haryadi tak menjawab, Amelia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Haryadi yang tercengang.

Ia tidak menyangka Amelia bakal menodongnya dengan pilihan itu.

“Maafkan aku Amel, aku khilaf. Aku akan memilihmu bersama anak anak.” Kata Haryadi sambil merangkul pundak Amelia. 

Amelia menepis tangan Haryadi, hatinya masih panas.

oOo 

Haryadi menepati janjinya, beberapa hari dia tidak keluar rumah, tidak gowes seperti biasanya. 

Setiap pagi memberi makan burung burung piaraannya. Bersepeda setiap hari Sabtu dan Minggu juga bersama isteri. 

Rumah tangganya kini berangsur-angsur pulih kembali. 

Terjalin kembali keharmonisan suami isteri, Amelia dengan tekun merawat Haryadi yang sudah mulai sakit sakitan karena usia. 

Luar biasa memang, Amelia seorang wanita muda yang cantik, bersedia menikah dengan orang yang seusia ayahnya. 

Semakin lama usia semakin bertambah, usia Ameliapun juga merangkak naik. Sedikit demi sedikit mengikis kekenyalan kulit mudanya.

Namun masih nampak dengan jelas sisa-sisa kecantikannya di waktu muda.

Hari berganti hari, tahun pun berganti. Sesuai daftar urut kepangkatan, Amelia kini menduduki jabatan sebagai Kepala. 

Kesibukannya semakin bertambah. Pulang kantor sudah sore, bahkan kadang hampir maghrib. 

Rutinitas itu sudah dijalaninya selama dua tahun.

Kini Haryadi mulai menghibur dirinya kembali dengan bersepeda. Amelia membiarkannya, karena bersama teman temannya sekolah dulu, dan semuanya laki laki. 

Amelia sendiri menyadari akan kesibukannya yang banyak di kantor.

oOo

“Kak, sini…aku ada berita tentang mas Har” kata Lina adik Amelia. 

“Kemarin, waktu mas Toni mengantar tenda untuk orang hajatan, melihat perempuan itu mulai mendekati mas Har lagi” 

Toni adalah suami Lina. 

Seketika Amelia menghentikan pekerjaannya mengiris wortel. 

“Letakkan dulu pekerjaanmu, biar diteruskan oleh yang lain”

Lina ingin kabar ini didengarkan baik-baik oleh Amelia. 

Amelia pun menghentikan pekerjaannya. 

Amelia mengajak Lina untuk bercerita di ruang dalam saja supaya tidak didengar oleh para pembantu.

“Coba ceritakan bagaimana awalnya,”pinta Amelia.

“Aku diberitahu mas Toni, ternyata perempuan di foto itu adalah seorang sales promosion girl"

"Kok Toni tahu foto itu?" tanya Amelia.

"Waktu itu, foto yang mbak kirimkan ke aku, aku kirim juga ke mas Toni"

“Bagaimana Toni tahu kalau dia SPG?”

“Aku memang minta tolong mas Toni untuk mencari tahu siapa perempuan itu, karena aku tak tega  mbak dikhianati”

“Berarti Toni sudah tahu orangnya ?” cecar Amelia.

“Tadinya mas Toni melarang aku bercerita pada mbak"

"Tapi aku tak bisa, aku tak tega melihat mbak dikhianati seperti itu. Ternyata Mas Har bersepeda tiap pagi, bersama perempuan itu juga"

"Mas Toni masih mengenali wajah perempuan itu. Mas Toni mencocokkan wajah perempuan itu dengan foto yang aku kirim"

“Mas Toni kemarin melihatnya sendiri,” lanjut Lina.

“Baiklah, minggu depan aku sama Toni akan menguntit Mas Haryadi,” kata Amelia. 

oOo

Seperti biasa, pagi itu teman teman bersepeda Haryadi sudah berkumpul di rumah Haryadi sebelum berangkat gowes. 

Teman-temannya pria seusia Haryadi, karena memang teman sekolah seangkatan. 

Amelia dan Toni sudah merencanakan untuk mengikuti mereka dari kejauhan dengan menggunakan mobil sewaan, supaya tidak ketahuan Haryadi.

Pelan pelan, rombongan kakek-kakek bersepeda itu keluar dari rumah Haryadi. 

Mereka berderet, kadang berjajar, dengan santai mereka mengayuh sepeda masing masing. 

Mereka semua menggunakan helm pengaman khusus pesepeda. 

Agak jauh dari rombongan itu, Toni dan Amelia didalam mobil mengikuti mereka.

Toni berusaha menjaga jarak, jangan sampai salah seorang didalam rombongan itu curiga bahwa mereka sedang diikuti.

“Mana sih, mereka aman aman saja,” kata Amelia.

“Yah mudah-mudahan aman terus,” jawab Toni.

Dengan sabar mereka menguntit rombongan pesepeda. 

Akhirnya para pesepeda itu berhenti di sebuah warung makan yang cukup ramai pengunjungnya. 

“Mereka berhenti, bagaimana mbak, kita terus atau kita tunggu sampai mereka keluar lagi”

“Kita terus saja, aku ingin melihat mereka, nanti kita putar balik"

"Kau yakin kaca mobil ini benar benar gelap ? tak nampak dari luar ?” tanya Amelia pada Toni.

"Jangan khawatir mbak" Toni meyakinkan.

Dengan pelan mobil mereka melintas didepan warung makan itu. 

“Nah…nah…itu mbak... perhatikan perempuan dengan blous warna hitam dan celana jean itu"

"Yang pakai kaca mata hitam?” tanya Amelia.

"Iya" kata Toni sambil memperlambat laju mobilnya.

Amelia memperhatikan perempuan tersebut dari dalam mobil. 

Nampak jelas oleh Amelia, karena warung itu terbuka, tidak dibatasi oleh dinding ataupun pembatas lainnya. Hanya beberapa tiang penyangga dan atap saja.

“Tunggu, mbak jangan emosi”pinta Toni.

Setelah melewati warung, Toni memutar balik mobilnya. Ia menghentikan mobil didekat warung. 

Mereka tetap diam dalam mobil menunggu kejadian berikutnya.

Tak berselang lama, satu persatu teman Haryadi keluar dan melanjutkan bersepeda. 

Tinggal Haryadi dan perempuan itu yang masih ada di warung. 

Kali ini Amelia tak bisa menahan amarahnya, dia keluar dari mobil. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Haryadi. 

Tanpa banyak bicara, ia menarik lengan suaminya dan langsung membawanya ke dalam mobil. 

“Perempuan pelacur, berani beraninya merebut suami orang!” kata Amelia sambil terus menyeret suaminya masuk kedalam mobil.

“Toni, lipat sepedanya, masukkan dalam bagasi!”

Perempuan itu sakit sekali hatinya dikatakan pelacur. Padahal mereka sudah menikah siri.

“Tunggu pembalasanku!” kata perempuan itu.

“Kau kira aku takut hah?!” kata Amelia pada perempuan itu sambil meludah.

Merekapun pergi meninggalkan perempuan itu sendiri di warung.

Sejak peristiwa itu Amelia tidak mau tidur sekamar dengan suaminya. 

Suasana di dalam rumah semakin tegang, karena mereka tidak saling bertegur sapa. Sampai berhari hari mereka tak bertegur sapa. 

Amelia menjadi lebih mudah marah ketika di dalam rumah.

Beberapa bulan kemudian, terdengar berita bahwa Haryadi menghilang, pergi tanpa meninggalkan pesan dan tanpa pamit. 

Ternyata perempuan itupun juga menghilang tanpa ada yang tahu keberadaannya.

Ningrum sangat menyesalkan berita itu. 

Berita itu berasal dari grup whatsapp. Tidak seorangpun  tahu tentang keberadaan mereka. 

Sempat tersiar kabar di grup whatsapp, ada seorang teman yang bertemu mereka di salah satu kota.

oOo

Mengapa pada usia yang sudah senja ini masih mengikuti hawa nafsu? 

Mengapa kita tidak bisa bersyukur dengan apa yang telah kita miliki? 

Harusnya kita bersyukur, bahwa Allah masih menghidupkan sel sel ditubuh kita, itu artinya Allah masih menyayangi kita. 

oOo

Dulu hubungan Ningrum dan Haryadi ibarat dua layang-layang yang menari-nari diangkasa. 

Nampak saling mendekat, lalu menjauh karena angin, kemudian mendekat lagi dan menari bersama.

Mereka tidak menyadari, kadang angin bertiup kencang, kadang lembut dan membuai keduanya, bahkan kadang-kadang datang badai yang menghempaskan. 

Layang-layang yang satu mematuk kekiri dan kekanan, sedang yang satunya lagi dengan tenang menari sambil mengibaskan-kibaskan ekornya yang berlenggak-lenggok. 

Mereka bercanda tanpa pedulikan burung-burung kecil yang berterbangan disekitarnya. 

Angkasa seluas itu serasa milik mereka berdua, ingin rasanya mengarungi  angkasa bersama, tak peduli badai dan topan yang akan menerpa. 

Kedua layang-layang itu terbang semakin tinggi dan semakin tinggi, semakin asyik tenggelam dalam angan-angan cinta, semakin dalam akar-akar cinta tertanam dalam dada. 

Mereka lupa bahwa panjang benang tidak ada artinya dibanding maha luasnya angkasa raya.

Akhirnya….benang itupun putus. 

Namun mereka masih saling menggapai, barangkali tangan ini masih bisa saling menyentuh, masih bisa bersama lagi, mengarungi angkasa raya yang maha luas walau tanpa benang. 

Sakit, panas, dan dingin ditanggung berdua. Namun takdir menghendaki lain. 

Layang-layang itu terbang tanpa arah, terombang-ambingkan oleh angin dan badai. 

Tak ada yang bisa mendengar jeritan mereka. 

Akhirnya masing-masing layang-layang itu terdampar di atas pohon. 

Dengan penuh kasih sayang, pohon itu melindungi mereka dari terik matahari dan hujan yang sewaktu-waktu dapat merobek tubuhnya. 

Kini masing-masing layang-layang itu sudah berteduh dibawah pohon yang jaraknya ribuan kilometer.

Dan mencintai semua yang sudah mereka miliki. 

Mereka tak akan pernah berjumpa lagi, namun masing-masing dari mereka bahagia tinggal di pohon-pohon itu.

Namun apa mau dikata, salah satu layang layang itu tak tahan ujian dari terpaan angin dan hujan.

Pohon rindang dan kokoh itu telah melindunginya dari tajamnya angin yang akan merobeknya.

Namun sang layang-layang tak menghiraukannya, dia tergoda oleh ekor panjang layang layang yang melintas di dekatnya. 

Dengan tertatih tatih, layang-layang itupun terbang, walau tanpa benang. 

Ia pun mengejar, menggapai ekor layang-layang yang itu. 

Merekapun pergi berdua… dan mereka hilang ditelan badai.

Andaikan masih ada endapan cinta di palung hati yang gersang,

Cinta itu berbatas jurang,

Jangan lakukan, walau hanya saling memandang,

Walau hanya bayang-bayang,

Songsong hari setelah mati, dengan perbanyak sembahyang,

Hidup hanyalah sandiwara dan bayang bayang.

oOo

Sedalam apapun cinta kita pada seseorang, meskipun kedua orang tua merestui, Meskipun sudah menjadi janda dan duda. 

Jikalau Allah tidak menghendaki berjodoh. Maka tidak akan terwujud mahligai rumah tangga

Hati adalah perisai terakhir untuk menjaga cinta pada pasangan masing-masing. 

Hati adalah perisai terakhir untuk menghindari maksiat dari kenangan masa lalu. 


Tamat


Ninien Edi Wardiyanto

2 komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (38-Tamat)"

  1. Ceritanya bagus bingit..ingat waktu SMA
    Lanjut mbkyu..smangat

    BalasHapus