Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (27)

jendela hati


Ninien Supiyati

Karena kasih sayang Prasojo, kini Ningrum sudah bisa melupakan Haryadi. 

Setiap hari Ningrum kelihatan ceria, dan tidak suka melamun. 

Ningrum nampak lebih bersemangat daripada Ningrum yang dahulu dikenal pertama kali oleh Prasojo.

Prasojo senang melihat perubahan pada diri Ningrum. 

Kadang ningrum masih suka berlari-lari mengejar kupu-kupu ketika mereka sedang berada di taman.

“Seperti anak kecil saja,” tegur Prasojo pada Ningrum yang sedang berusaha menangkap seekor kupu-kupu.

“Bukan begitu, coba lihat ini,” kata Ningrum sambil menyodorkan kupu-kupu.

“Ilmuwan mana yang mampu membuat seperti ini"

"Ilmuwan mana yang mampu menciptakan seekor semut, padahal makhluk hidup kan terdiri dari unsur-unsur Karbon, Nitrogen, Hidrogen dan Oksigen trus ada kalsium"

"Semuanya kan melimpah ruah di alam. Kenapa mereka tak mampu menciptakan seekor semut saja?”

Pertanyaan Ningrum bukan pertanyaan biasa. Tapi pertanyaan yang penuh makna.

“Itulah kebesaran Allah, kita manusia tak ada apa-apanya dimuka bumi ini"

"Kita bagaikan sebuah titik di alam raya ini. Apa yang mau disombongkan oleh manusia” jawab Prasojo.

“Kau lebih pantas jadi ustad dan imam sebenarnya" Ningrum memuji jawaban Prasojo.

“Ya, kelak aku akan jadi ustad dan imam dalam keluargaku, aku ingin jadi imam bagimu”

“Sungguhkah? Serius?” tanya Ningrum dengan berseri-seri.

Prasojo tidak menjawab, pandangannya masih menatap jauh ke depan. Tak jelas apa yang sedang diamatinya. 

Dia ingat akan pesan ibunya yang berkeinginan menjodohkannya dengan Lely. 

Jawaban apa yang harus ia berikan pada ibunya. 

“Hai…,” Ningrum mengibaskan tangannya di depan wajah Prasojo.

"Melamun ya…”

“Tidak, aku hanya membayangkan rumah tangga kita dengan anak-anak nantinya,” jawab Prasojo berbohong.

“Seperti apa ya aku nanti?” Ningrum turut melamun

“Seperti bidadariku,” jawab Prasojo.

Ningrum hanya tersenyum.

“Yuk kita pulang. Aku sudah capek” ajak Ningrum.

Mereka beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan taman. 

Prasojo mengemudikan mobilnya dengan pelan-pelan.

“Kita makan dulu yuk,” kata Prasojo sambil menghentikan mobilnya didepan rumah makan.

Mereka mengambil tempat duduk di sudut ruangan, agar bisa menikmati pemandangan.

Rumah makan tersebut memang terkenal dengan pemandangan alamnya yang indah. 

Setiap pengunjung yang datang tidak hanya disuguhi menu makanan yang beragam, namun juga pemandangan yang indah.

Pemandangan langsung mengarah ke bukit hijau.

Malam hari, pengunjung akan melihat kerlap-kerlip atap rumah penduduk di bukit itu. 

Udara sejuk sepoi-sepoi menerpa wajah keduanya. 

Rambut Ningrum yang terurai sebatas bahu, sebagian tertiup angin menerpa wajahnya. 

Prasojo memandangi wajah Ningrum yang polos. 

“Akankah aku tega menyakiti hatinya? Haruskah aku mengikuti kemauan ibuku?"

"Keduanya adalah permata hatiku. Aku tak tega meninggalkan salah satu diantara mereka"

"Ya Allah berikanlah petunjukmu.” ungkap Prasojo dalam doanya.

“Kamu mau makan apa? Minum apa?” tanya Prasojo sambil memegang notes dan bolpoin yang disodorkan oleh pelayan.

“Aku ikan bakar saja, minumnya es dan softdrink" jawab Ningrum.

“Udara dingin seperti ini minum es, nanti kamu sakit.”

“Aku haus banget, pingin es. Tolong diantar dulu ya mbak minumnya” kata Ningrum pada pelayan.

“Sama deh, aku ikan bakar sama teh panas"

Tak lama kemudian pelayan datang dengan membawa gelas berisi es batu dan sebotol softdrink. 

Ningrum menuangkan softdrink ke dalam gelas berisi es batu dan ditunggunya sebentar. 

Gelembung-gelembung gas berebut naik kepermukaan. 

Ada yang besar, ada yang kecil. Ada yang cepat, ada yang lambat mencapai permukaan. 

Begitukah kehidupan ini? Penuh dengan kompetisi duniawi. 

Mata Ningrum tak berkedip mengamati gelembung-gelembung gas yang berebut naik ke permukaan.

“Kamu kelihatan bahagia sekali hari ini,” kata Prasojo.

“Kita nikmati saja apa yang terjadi hari ini, insya Allah semuanya jadi indah"

"Nikmati saja apapun yang terjadi pada diri kita,” kata Ningrum.

“Kamu semakin pandai.”

“Kamu yang mengajariku" 

Sambil menunggu pesanan datang, mereka terus saja mengobrol dan bercanda.

Serasa dunia hanya milik berdua.

“Kenapa belum dikirim juga pesanan kita” kata Prasojo.

“Mungkin karena pengunjungnya terlalu banyak. Biarlah kita bisa menunggu sambil menikmati pemandangan alam dari sini"

"Lagian aku belum lapar amat”

“aku ke kamar kecil sebentar ya…” pinta Ningrum

“Itulah, kalau udara dingin seperti ini masih juga minum es. Ya sudah, sana hati-hati,” kata Prasojo. 

Ningrum segera ke toilet yang ada di belakang rumah makan. Ternyata di sana sudah banyak orang antri.

Tiba-tiba pandangan Ningrum tertuju pada sosok laki-laki yang sedang bersandar pada teras toilet pria, yang bersebelahan dengan toilet wanita.

Ningrum sepertinya tak asing dengan postur tubuh itu. Pria itu berdiri membelakangi Ningrum. 

Sweeter abu-abu yang dikenakannya pun tak asing bagi Ningrum. Dia pernah mengenakan sweeter itu.

Benarkah…benarkah dia itu…? Ningrum berjalan menghampiri pria itu dan ……

”Haryadi…kaukah itu…?” tanya Ningrum dari samping kanan pria tersebut.

“Ning….rum..?” tanya pria tadi. Mereka berjabat tangan erat…erat sekali seakan enggan untuk melepaskannya. 

Getar-getar kerinduan terasa mengalir melalui dua tangan yang telah lama menyimpan gelombang cinta yang terhempas. 

Bola-bola mata yang biasanya lincah bergerak kesana kemari, seakan terpaku pada satu titik yang ada dibalik mata dihadapannya. 

Kedua pasang bola mata saling memandang menuju kesatu titik, yaitu rindu. 

Sedikit-demi sedikit pandangan masing-masing mulai kabur, titik demi titik partikel air ikut menyambut pertemuan yang mengharukan itu. 

Ningrum tak dapat membendung kumpulan titik-titik air itu.

“Kemana saja kau selama ini Ningrum, berkali-kali aku tulis surat padamu tak ada jawaban?” tanya Haryadi sambil menatap penuh kerinduan.

“Kamu juga, kemana saja… aku menulis surat berkali-kali padamu, tak ada jawaban sama sekali,” jawab Ningrum sambil mengusap air matanya. 

Haryadi belum juga melepaskan tangan Ningrum. Ingin rasanya waktu tak cepat berlalu.

“Aku menulis surat padamu, mau memberi tahu kalau aku sudah pindah kost, sejak itu tak ada jawaban darimu"

"Tapi aku tak bosan-bosan, aku masih terus menulis surat padamu untuk mencurahkan rindu hatiku, sampai berkali-kali, tapi tetap tak ada jawaban darimu"

"Bahkan ketika Hari Raya tiba, aku pulang kampung, aku mencarimu ke rumah…. Ternyata keluargamu telah pindah ke Mojokerto"

"Tetangga sekitar tidak ada yang tahu alamatmu di Mojokerto,” kata Haryadi.

“Aku juga menulis surat padamu, mau memberi tahu kalau aku pindah kost, nasib kita sama…aku tak pernah menerima balasan darimu"

"Ya, memang aku dan orang tuaku pindah ke Mojokerto. Dan maafkan aku, sekarang aku….aku …sudah punya kekasih baru"

"Sekarang dia menungguku di sudut sana. Aku tadi pamit sebentar untuk ke belakang"

"Sekali lagi maafkan aku, aku tidak berniat mengkhianati cinta kita, tapi umurku makin lama makin bertambah, sedangkan aku seorang gadis,” kata Ningrum penuh rasa sesal. 

Sebenarnya Ningrum masih sangat mencintai Haryadi, demikian juga Haryadi, masih sangat mencintai Ningrum. 

Pertemuan ini bagaikan kesempatan emas yang rasanya tak mungkin terulang lagi. 

Kalau ingat sikap orang tua Prasojo, ingin rasanya Ningrum kembali pada Haryadi.

“Demikian juga aku Ningrum, aku minta maaf padamu….maaf…beribu-ribu maaf"

"Aku sekarang telah menikah dengan Rosa, teman kita SMA dulu. Aku juga sangat terpaksa karena permintaan kedua orang tuaku"

"Beliau menginginkan sebelum aku lulus, aku harus sudah menikah, supaya beliau tenang andai kata nanti aku ditempatkan di luar Jawa"

"Sekali lagi maafkan aku ya… Kita belum berjodoh,” kata Haryadi juga dengan sangat menyesal. 

Kata-kata ‘menikah dengan Rosa’ membuat Ningrum bagaikan disambar petir, pupus sudah harapannya untuk kembali pada Haryadi. 

Ningrum menarik tangannya dari genggaman Haryadi. 

Air mata semakin deras mengalir, kesedihan yang tak terhingga menyelimuti hati Ningrum.

Layang-layang yang dulu pernah memukau hatinya dan hati Haryadi, kini telah terhempas ditelan badai, terbang tak tentu arah. 

Nyanyian burung kedasih tak akan pernah terdengar seindah dulu lagi. Suara merdu kedasih itu terbawa angin entah kemana.

“Jangan katakan ‘belum’…. Tapi kita ‘tidak’ berjodoh,” kata Ningrum yang tak ingin rumah tangganya nanti berantakan. 

Dua butir air mata mulai bergulir lagi dipinya, satu demi satu bola-bola kaca yang kecil itu berebut turun menghiasi pipinya yang merah merona. 

Tak ada kata-kata yang bisa terucap selain dengan bahasa air mata. 

Haryadi mengambil saputangan dari dalam sakunya, menghapus air mata yang mengalir deras di pipi Ningrum dan seakan mengatakan 

‘betapa rinduku padamu, tapi kini kau telah menjadi milik orang lain.’ 

Cinta itu semuanya telah pupus ditelan ganasnya badai kehidupan. Haryadi tak bisa berbuat apa-apa. 

Tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Saputangan itu kini telah basah oleh air mata. 

“Jangan katakan ‘tidak’…. Kita tak tahu rencana Allah selanjutnya,” kata Haryadi yang masih mengharapkan kelak Ningrum akan menjadi isterinya.

“Aku akan simpan air matamu ini sebagai kenangan terakhir darimu,” kata Haryadi sambil mencium saputangan yang telah basah oleh air mata.

Dimasukkan saputangan itu kembali ke dalam saku celananya.

Ningrum hanya menggelengkan kepala. Dalam hati, Ningrum menangis dan meratap. 

Apa yang akan terjadi, terjadilah ya Allah. 

Ningrum sadar dia tak boleh lama-lama disitu, Prasojo pasti sudah lama menunggunya.

Pasti Prasojo sangat khawatir, mengapa ke toilet saja begitu lama. 

“Ok, aku tak bisa lama-lama, kekasihku pasti sudah lama menungguku, jangan katakan pada Rosa kalau kita baru saja ketemu di sini. Permisi” kata Ningrum sambil menghapus air matanya.

Ningrum masuk ke toilet dan menumpahkan air mata sejadi-jadinya dalam toilet tersebut. 

Menangis,…menangislah sepuas-puasmu…agar semua penderitaan, semua rasa sakit di hati, kecemburuan yang luar biasa, larut terbawa oleh air mata. 

Ningrum tak peduli dimana sekarang dia berada. 

Saputangan yang digenggamnya tak mampu menahan air mata Ningrum.

Rasanya hampir pingsan, tubuhnya lemas, disandarkannya tubuhnya ke tembok. 

Tiba-tiba Ningrum ingat pesan ayahnya. 

'Kalau kamu mencintai Haryadi seratus persen, sedangkan nasib mengatakan lain, maka kau akan kecewa berat. Ayah tak ingin itu terjadi padamu. Ayah akan selalu berdoa yang terbaik untukmu.’

“Tok…tok…tok… Ningrum?” terdengar suara Prasojo memanggil dari luar.

“Ya… sebentar.,” jawab Ningrum dari dalam toilet. 

Tak lama kemudian Ningrum keluar dari toilet dengan mata sembab. Prasojo menghapus air mata Ningrum.

“Kenapa…kamu sakit?” tanya Prasojo.

“Ya… perutku sakit,” jawab Ningrum berbohong.

“Ya sudah kita segera makan…sudah itu pulang. Atau perlu aku antar ke rumah sakit?”

“Tidak usah, pulang saja.”

Ningrum dan Prasojo kembali ke tempat duduk semula, dan mereka mulai makan.

“Lihat ini, ikannya sudah hampir dingin nanti tak enak, … ayo makan, …atau tak suapin…” kata Prasojo. 

Namun pandangan Ningrum jauh di meja pojok depan, meja dimana keluarga Setyoko berada. 

Kebetulan Rosa duduk membelakangi Ningrum, jadi Rosa tak bisa melihat kehadiran Ningrum di belakangnya.

Haryadi duduk menghadap ke arah Ningrum, dan terus mengamati wajah Ningrum yang sembab. 

Dalam hati, Haryadi merasa iba melihat Ningrum.

“Harusnya yang duduk disamping Ningrum itu aku, bukan dia,” pikir Haryadi. 

“Tidak…buang jauh-jauh pikiranmu itu Haryadi. Kamu sudah menikah, wanita yang bersamamu itulah bidadarimu yang tercantik"

"Kau tak boleh lagi melihat perempuan lain, dia bukan milikmu. Lepaskan pandanganmu darinya” terjadi perang batin dalam diri Haryadi. 

Haryadi akhirnya mengalihkan pandangannya dari Ningrum dan mengambilkan nasi untuk isterinya. 

“Mau ikan yang mana? Yang goreng apa yang bakar?” tanya Haryadi pada isterinya.

“Mau yang ikan bakar saja deh… yang goreng kan bisa membuat sendiri di rumah,” kata Rosa. (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (27)"