Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (32)

Jendela Hati


Ninien Supiyati


“Rosa,…” kata Ningrum dan Handoko bersamaan.

“Maaf merepotkanmu…ini anakku,” kata Rosa sambil mengambil Reni anaknya dari gendongan Handoko.

“Kalian ada disini?” tanya Rosa.

“Kamu kenal dengan isteri ku?” tanya Handoko.

“Kalian sudah menikah?” tanya Rosa heran.

“Ini kok,...tidak ada yang menjawab. Semuanya bertanya,” kata Ningrum.

“Rosa ini teman saya waktu masih di SMA. Kami sudah menikah setahun yang lalu Ros.”

“Kamu disini sendirian? Mana suamimu?” tanya Handoko.

“Dia sedang ada acara seminar di luar kota,” kata Rosa berbohong.

“Maaf, aku harus segera pulang, terimakasih,” Rosa segera berlalu dari hadapan Handoko dan Ningrum. 

Rosa tahu bahwa Haryadi sangat mencintai Ningrum, dia tak ingin Ningrum bertemu dengan Haryadi. 

“Kamu kenal Rosa?” tanya Ningrum pada Handoko setelah Rosa pergi.

“Ya kenal, Ayahnya juga pemborong dan aku banyak berhubungan dengan Ayahnya Rosa"

"Dulu sempat Ayah Rosa berkeinginan menjodohkan aku dengan Rosa, waktu Rosa masih duduk di bangku SMA"

"Aku sebenarnya tidak tertarik, Rosa masih ke kanak-kanakan waktu itu"

"Orang tuanya mengenalkanku waktu ulang tahun Rosa yang ke-17"

"Rupanya Rosa juga tidak begitu tertarik padaku. Rosa tak mau duduk disampingku"

"Dia sibuk menemui teman-teman SMA yang diundangnya. Aku juga tidak terlalu serius menanggapinya"

"Kemudian aku hanya fokus pada pekerjaanku, hingga pimpinan mempercayaiku untuk memegang dan menjalankan anak perusahaannya.”

Handoko menceritakan panjang lebar, tentang bagaimana perkenalannya dengan Rosa.

“Oh,…syukurlah,” pikir Ningrum. 

Ternyata wanita pertama yang dikenal dan dicintai Handoko adalah dirinya.

Ningrum bersyukur mengetahui hal tersebut. Kini, cintanya pada Handoko semakin besar.

“Uuukk….uukk…” tiba tiba Ningrum mau muntah dan tubuhnya berkeringat. 

Handoko menyesal telah bercerita semua itu pada Ningrum, mungkin Ningrum cemburu.

“Percayalah, cintaku hanya untukmu Ningrum..” kata Handoko membujuk Ningrum. 

Ningrum menggelengkan kepala.

Handoko semakin bingung, menurut Handoko Ningrum tidak percaya padanya. 

Ningrum mau muntah dan diambilnya tas kresek hitam pembungkus nasi pecel untuk menampung muntahnya. Handoko memijit tengkuk Ningrum. 

“Maafkan aku Ningrum,” 

Ningrum sekali lagi menggelengkan kepala. 

“Bukan,…bukan karena ceritamu tadi. Aku senang mendengarnya. Tidak tahu mungkin aku masuk angin.”

“Dingin?” tanya Handoko. 

Ningrum menganggukkan kepala. Handoko melepas jacketnya dan mengenakannya pada Ningrum.

Ningrum tiba-tiba teringat ketika Haryadi mengenakan sweeter padanya, ketika berada di stasiun. 

Tidak…Handoko lebih menyayanginya dari pada Haryadi. Ia harus membuang ingatannya tentang Haryadi.

“Kita pulang yuk,” Handoko memapah Ningrum ke mobil untuk pulang. 

Sampai dirumah, buk Yah diminta untuk memijit Ningrum.

“Kalau begini, biasanya aku kerikan sampai punggungku merah, baru aku sembuh,” kata Ningrum pada Handoko. 

Malam hari Ningrum muntah-muntah lagi. Handoko menyangka, mungkin Ningrum keracunan.

Malam itu juga Handoko membawa Ningrum ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Ningrum langsung masuk Unit Gawat Darurat. 

“Ibu menstruasi terakhir kapan?” tanya dokter jaga.

“Tanggal lima Maret dokter,” jawab Ningrum. 

Kalender saat itu menunjukkan 5 Mei 1980.

“Berarti bulan April ibu tidak menstruasi?" Tanya Dokter.

“Tidak dokter,” jawab Ningrum. 

Dokter lalu memberikan obat kepada Ningrum dan pengantar untuk periksa urin.

“Besok tolong hasil labnya dibawa kesini lagi.”

Esok harinya Ningrum membawa urin ke laboratorium dan sekalian menunggu hasilnya. 

Nama Ningrum dipanggil, Ningrum masuk ke ruang periksa dan menyerahkan hasil pemeriksaan urin.

Tak disangka, dokter berdiri dan menyalami Handoko.

“Selamat. Isteri anda hamil.”

“Oh,…betul dokter?” tanya Handoko hampir tak percaya.

Handoko senang sekali, bahagia sekali dia, sebentar lagi akan menjadi bapak.

“Terimakasih dokter,” kata Handoko.

Sepanjang perjalanan pulang tak henti hentinya Handoko mengucap syukur.

“Kamu tak boleh kerja keras Ningrum, tak usah bantu-bantu buk Yah di dapur. Obat dari dokter harus di minum supaya bayimu sehat,” 

Handoko banyak memberi nasihat pada Ningrum untuk menjaga kandungannya.

Sampai di rumah, Handoko menceritakan pada kedua orang tuanya perihal kehamilan Ningrum. 

Ayah dan ibunya sangat senang mendengar berita ini. Ibu segera memasakkan makanan yang bergizi untuk ibu hamil. 

Sang ibu kelihatan bahagia sekali, beliau sudah sangat ingin menimang cucu.

Disiapkan berbagai macam buah-buahan di meja makan. 

Sore hari menjelang maghrib Ningrum muntah-muntah lagi. 

Handoko bingung, harus dikasih obat apa? Padahal obat dari apotik sudah diminum sesuai anjuran dokter. 

Buk Yah menggosok Ningrum dengan obat gosok pada punggungnya, tapi Ningrum semakin mual dengan bau minyak gosok. 

Malamnya Ningrum muntah-muntah lagi. 

Handoko berminat mengajak Ningrum pulang, barangkali Ningrum lebih nyaman dirawat ibunya sendiri di Mojokerto. 

“Bu, Han mau pulang ke Mojokerto malam ini, besok ada urusan kantor yang harus saya selesaikan,” kata Handoko pada ibunya.

“Malam-malam begini, besok pagi sajalah Han, kan Ningrum juga lagi kurang enak badan,” kata ibu Handoko. 

“Atau Ningrum tetap tinggal disini saja sama Ibu, biar Han pulang sendiri. Kandungannya masih sangat lemah.”

“Tidak Bu, saya ikut mas Han pulang. Kasihan mas Han sendirian di rumah,” kata Ningrum.

“Ya sudah,… hati-hati dijalan, kabari Ibu kalau sudah sampai Mojokerto,” kata ibu. 

Handoko mengemudikan mobilnya dengan santai sambil membicarakan persiapan untuk bayinya. 

Kira-kira apa saja yang harus dipersiapkan.

“Aku tidak tahu mas, nanti saja kita tanyakan pada bidan bagaimana merawat kandungan, bagaimana merawat bayi.”

“Kamu harus rajin kontrol, demi bayi kita,” kata Handoko. 

Ningrum sudah mulai mengantuk. Akhirnya diapun tertidur dalam perjalanan. 

Ketika mulai masuk wilayah Trowulan kabut tipis menyelimuti pemandangan sekitar, semakin dekat dengan Trowulan, kabut semakin tebal. 

Jarak pandang hanya beberapa meter saja. Sampai pasar Brangkal Handoko membelokkan mobilnya kekiri, kearah Sambiroto dengan maksud menghindari kabut yang semakin tebal. 

Karena termasuk orang baru di mojokerto, Handoko tidak tahu medan.

Ternyata semakin lama kabut semakin tebal. 

Waktu itu menunjukkan jam 01.00 dini hari. Jarak pandang semakin pendek dan akhirnya jarak pandang hanya setengah meter. 

Beruntung ada sepeda motor yang mendahuluinya, Handoko bisa mengikuti dengan melihat lampu di bagian belakang sepeda motor tersebut. 

Namun makin lama sepeda motor tersebut semakin menjauh… dan akhirnya tidak kelihatan. 

Handoko menghentikan kendaraannya. Ternyata kendaraan berada di bahu kanan jalan. 

Handoko tidak menyadari, ternyata dia berkendara di kanan jalan, mengikuti sepeda motor tadi.

Dan kini mobilnya berhenti di bahu kanan jalan. Handoko segera membangunkan Ningrum. 

Ningrum sangat terkejut karena disekitarnya berwarna putih.

“Kita ada dimana?” tanya Ningrum.

“Tenang… kita aman. Tolong buka jendelamu. Kita terjebak kabut yang sangat tebal"

"Pandu aku dengan melihat kebawah. Kamu tinggal bilang kiri atau kanan saja supaya mobil tetap berada di atas aspal"

"Jangan sampai roda mobil menyentuh tanah, nanti bisa jatuh ke parit. Sekarang kita berada di jalur kanan"

"Bahaya kalau ada kendaraan dari depan, dan sebelah kanan kita ini sudah sungai besar,” kata Handoko sambil menenangkan diri.

Ningrum ketakutan, dia tidak bisa melihat apa-apa di luar sana karena kabut tebal. 

Ningrum membuka jendela, kepalanya dijulurkan keluar untuk memantau posisi roda kiri depan. 

Untunglah masih bisa melihat keluar, meskipun harus dengan menajamkan pandangan. 

Ningrum memantau roda mobil jangan sampai melintas diatas tanah atau rumput. 

Roda mobil harus selalu berada diatas aspal. 

Ningrum hanya perlu memandu mobil dengan mengatakan kiri atau kanan. Handoko mengemudikan kendaraannnya dengan sangat pelan.

Setelah menempuh jarak dengan waktu sekitar setengah jam, akhirnya kabut mulai menipis…menipis…dan …menipis.

Hingga akhirnya bisa melihat keadaan di luar dengan jelas. Kini.mereka bisa bernapas lega. 

Handoko dan Ningrum heran, mengapa tiba-tiba ada kabut setebal itu didataran rendah. 

Padahal kabut-kabut seperti itu hanya dijumpai di dataran tinggi dan udara yang sangat dingin. Sedangkan udara waktu itu tidak terlalu dingin.

Wallahualam.

Sesampainya di rumah, Ningrum bercerita pada buk Yah, memang ada cerita mistis dibalik kabut tersebut.

Bukan hanya malam itu saja kabut itu muncul. Setiap malam hari menjelang tengah malam kabut itu muncul dan pagi hari kabut itu baru hilang. 

“Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa, lain kali neng kalau mau bepergian jangan lupa baca do’a, dan jangan ngomong sembarangan selama dalam perjalanan,” kata buk Yah.

“Aku terlalu capai dan karena sakit, aku naik mobil langsung tidur. Tanpa baca doa” jawab Ningrum.

oOo

Pagi itu Haryadi sedang membaca koran.

Seperti biasa Rosa sibuk dengan sikecil Reni yang berlarian kesana kemari. 

Reni mengejar bola mainannya yang jatuh dekat Haryadi yang sedang membaca koran. 

Haryadi tak menghiraukannya hingga anaknya menangis karena kepalanya terbentur meja. 

Rosa marah karena Haryadi terlalau asyik membaca koran.

“Tidak bisakah ditaruh sebentar korannya,” kata Rosa sambil merebut koran yang sedang dibaca Haryadi. 

Rosa ingin tahu apa sih yang dibaca sampai seserius itu. 

Rosa tertegun melihat halaman yang sedang menjadi perhatian Haryadi, kemudian amarahnya tak dapat dibendung.

“Foto ini yang membuat kamu abaikan anakmu yang sedang menangis didekatmu!” kata Rosa emosi sambil meremas koran yang dipegangnya. 

Pada halaman tersebut ada gambar seorang foto model yang wajahnya mirip bahkan hampir sama dengan Ningrum. 

Model baju dan posenya biasa dan sopan. Kecemburuan yang luar biasa menyelimuti hati Rosa. 

Haryadi diam saja. Memang betul apa yang dikatakan Rosa. 

Bayangan Ningrum tak akan pernah hilang dari ingatannya. 

Haryadi menikahi Rosa, karena Rosa mengingatkan dia pada Ningrum. Melihat Haryadi diam, emosi Rosa semakin meningkat.

“Kurang ajar,…awas kamu Ningrum! Ningrum itu sudah menikah! Dia sudah menjadi milik orang lain, kamu bisa gila kalau selalu memikirkan Ningrum!” kata Rosa dengan nada tinggi. 

Rosa yang sebelumnya sudah jadi wanita yang lemah lembut, kini kembali pada sifat semulanya yang temperamental. 

Haryadi diam saja tidak menjawab. Memang, diakuinya bahwa dia masih tergila-gila pada Ningrum. 

Dalam hati ia tak rela Ningrum dicaci seperti itu oleh Rosa, namun Haryadi tidak boleh membela Ningrum dihadapan Rosa.

Setelah kemarahan Rosa mereda Haryadi angkat bicara.

“Wanita tercantik di dunia ini bukan Ningrum tapi isteriku tercinta,” kata Haryadi sambil merangkul Rosa. 

Rosa melepas tangan Haryadi dengan agak kasar.

“Aku tak percaya, lalu mengapa kau pandangi gambar itu sampai tidak mendengar kalau anakmu menangis,” jawab Rosa sambil masih menenangkan Reni yang belum diam dari tangisnya.

“Aku pikir,…. kan ada kamu yang mendatangi dia.”

“Bohong…,” kata Rosa sambil pergi meninggalkan suaminya.

Haryadi mengambil koran yang sudah kusut dan mengaturnya kembali. 

Rosa balik lagi dan merebut koran itu dari tangan Haryadi. Ia mengambil korek api di meja tamu, kemudian membakarnya. 

Haryadi diam saja tak berkata sepatah pun atau melarang Rosa untuk membakarnya, takut Rosa semakin marah. 

Api semakin membesar, pada awalnya hanya menyala kecil saja, tapi tiba-tiba kipas angin berputar kearah api. 

Api menjadi semakin membesar. Haryadi berusaha memadamkan dengan menginjak koran yang terbakar.

Tapi malang, koran malah terbelah, belahannya mengenai ujung bawah gorden. 

Karena kipas angin masih terus berjalan, maka api merambat ke atas. (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (32)"