Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (24)

Omahpro

Ninien Supiyati

“Mau minum apa? Aku minta pembantu untuk menyiapkannya.”

“Terserah apa saja aku mau.”

Prasojo masuk kedalam untuk meminta pembantu menyiapkan minuman. 

Tak lama kemudian keluarlah pembantu rumah tangga dengan membawa nampan berisi toples kue dan dua gelas susu coklat.

“Aku tak bisa lama disini,” kata Ningrum

“Ada tugas yang harus aku selesaikan.”

“Apakah sangat mendesak untuk segera diselesaikan?” tanya Prasojo.

“Ya, besok aku harus presentasi makalahku.”

“Iya, setelah ini kuantar pulang"

"diminum dulu dan makan kuenya,” pinta Prasojo

“Ayo dihabiskan, tidak baik menyisakan minuman yang telah disuguhkan,” kata Prasojo

Ningrum hanya minum beberapa teguk saja. Sepertinya dia sudah tidak betah berlama-lama disitu. 

Ningrum kembali mengambil gelas minumnya dan menghabiskan minuman yang telah disuguhkan.

Prasojo senang melihatnya. 

Prasojo kembali mengantar Ningrum pulang. Selama di perjalanan, tidak banyak yang mereka bicarakan.

Ningrum lebih banyak diam, sedangkan Prasojo lebih banyak bercerita untuk menghibur Ningrum. 

Prasojo tahu bahwa Ningrum kecewa dengan sikap ibunya. 

Sesampainya dirumah kost, Ningrum segera menghamburkan dirinya ke tempat tidur. 

Sebenarnya cintanya sudah mulai bersemi pada Prasojo, tapi melihat sikap ibunya hari ini, Ningrum menjadi putus asa. 

Akankah bisa berlanjut hubungan yang tidak direstui oleh orang tua? Apa lagi oleh ibu. 

Sebenarnya Ningrum tidak ada tugas dan tidak akan presentasi, itu hanya alasannya saja, agar segera pulang.

Makalah dan presentasinya sudah dilakukannya kemarin. 

oOo

“Kau harus tegas, jangan gantung aku. Tentukan apakah hubungan kita bisa berlanjut atau tidak” tanya Ningrum.

Sore itu seperti biasa, Prasojo menjemput Ningrum di kampus. Kini mereka dalam perjalanan pulang.

“Bersabarlah, aku akan beri pengertian pada ibuku. aku sendiri menginginkan hubungan kita berlanjut,” jawab Prasojo, 

“Sementara kita lanjut saja seperti biasa, percayalah aku akan berjuang dalam keluargaku untukmu.”

“Aku merasa keberatan kalau tanpa restu orang tua” ujar Ningrum.

“Sekalipun kita mendapat restu dari orang tua, kalau Allah tidak menghendaki kita berjodoh maka kita tidak akan menjadi suami isteri" 

"Sebaliknya sekalipun kedua orang tua kita tidak merestui, kalau Allah menghendaki kita berjodoh, maka tak akan ada yang bisa menghalangi,” kata Prasojo

Kali ini Prasojo berusaha meyakinkan Ningrum. 

“Aku ingin kita berjodoh dan kedua orang tua merestui" Ningrum masih belum tenang.

“Memangnya kamu mau jadi sutradara hidupmu sendiri?” Tanya Prasojo sambil melirik Ningrum,

“Namanya lagi diuji…berdoalah. Marilah kita perbanyak sholat malam.”

Ningrum menarik napas dalam-dalam. Sulit bagi Ningrum untuk menerima kenyataan ini. 

Dan sulit juga rupanya untuk mendapatkan yang sempurna, artinya kedua orang tua setuju dan keduanya berjodoh. 

“Kita makan dulu,” kata Prasojo sambil menghentikan mobilnya di sebuah rumah makan.

“Kamu mau pesan apa?” tanya Prasojo sambil menyodorkan menu makanan.

Kelihatan sekali Ningrum tidak ada keinginan untuk makan.

“Lihat aku, tatap mataku…,” Prasojo berhenti sejenak.

“Kamu hidup bukan untuk dirimu sendiri. Kamu hidup untuk banyak orang"

"Untukku, untuk kedua orang tuamu, untuk adikmu dan bahkan mungkin masyarakat menunggu baktimu"

"Kalau kamu tidak bersemangat seperti ini, tidak mau makan, berarti kamu menyia-nyiakan harapan mereka"

"Berfikirlah yang logis Ningrum. Mengapa kamu harus memikirkan hal yang belum tentu terjadi"

“Ayo…bangkit! Semangat lagi. Kalau kamu tidak mau demi aku, paling tidak demi kedua orang tuamu yang telah susah payah membiayai kamu" 

Panjang lebar Prasojo berusaha membesarkan hati kekasihnya.

Ningrum dapat memahami apa yang disampaikan Prasojo. Kini dia dapat tersenyum.

oOo

“Kenapa sibuk seperti itu?” tegur Haryadi. 

Rosa kaget ada yang menegurnya. Dia tidak menyangka bisa bertemu dengan Haryadi lagi.

Rosa sebenarnya masih menyimpan perasaan kepada Haryadi, namun dia tidak mau merebut Haryadi dari Ningrum.

Rosa berhenti mencari kuncinya dari dalam tas.

“Kunci sepedaku hilang,” jawab Rosa sambil kembali membongkar isi tasnya untuk mencari kuncinya.

“Tumben bawa sepeda,” tanya Haryadi.

“Sudah lama aku bawa sepeda.” kata Rosa sambil mencari kunci sepedanya.

“Kalau dibuka paksa saja bagaimana.”

“Tidak apa-apa, yang penting aku bisa cepat pulang.”

Haryadi pergi ke pos penjagaan untuk meminjam obeng dan palu. 

Kunci sepeda Rosa akhirnya bisa dibuka Haryadi dengan bantuan beberapa temannya.

Kini Rosa dan Haryadi bersepeda bersama untuk pulang. 

“Bagaimana kabarnya Ningrun?” tanya Rosa.

“Tak ada kabar setahun ini, surat-suratku tak pernah dibalas,” jawab Haryadi datar.

“Apa mungkin disana dia sudah punya kekasih lagi?”

“Entahlah, yang jelas tidak ada kabar dari dia” jawab Haryadi singkat.

Haryadi sebenarnya sangat mengharapkan kabar dari Ningrum.

Seandainya bisa bertemu, dia akan menanyakan, mengapa selama ini tidak menjawab surat-suratnya.

“Kamu sudah makan?” Haryadi tiba-tiba mengalihkan arah pembicaraan.

“Belum. Aku biasa makan di rumah budhe” jawab Rosa

“Ayo kita makan dulu, ini langgananku makan siang kalau pulang kuliah” ajak Haryadi pada Rosa. 

Haryadi membelokkan sepedanya, berhenti di sebuah warung makan tidak jauh dari Kampus.

Rosa mengikuti. Dia memarkir sepedanya berdampingan dengan sepeda Haryadi.

Sambil menunggu pesanan datang, mereka bercakap-cakap. Saling bercerita.

“Katanya kamu mau cerita tentang penjahat-penjahat yang ke rumah sakit bersamamu beberapa bulan yang lalu,” tanya Haryadi.

Haryadi masih belum tahu duduk perkara kejadian tersebut. Mengapa Rosa berada di rumah sakit bersama dengan penjahat dan Polisi.

Rosa menceritakan semuanya dari awal. Sejak pertemuannya dengan Andri, hingga sebuah kejadian yang membuat Rosa curiga.

Yaitu kejadian ketika Andri tiba-tiba membatalkan  rencana makan malam.

Rosa menceritakan semuanya hingga tuntas. Tak terkecuali ketika dia menyamar dan penyamarannya terbongkar.

Begitu juga nasib yang dialaminya ketika disekap oleh komplotan Andri , hingga akhirnya bisa meloloskan diri.

Tidak luput juga dia ceritakan, bagaimana hebatnya teknik beladiri Anita, Polisi yang membantunya membongkar sindikat Andri beserta komplotannya.

Haryadi menyimak penuturan Rosa dari awal hingga akhir.

Haryadi kagum dengan keberanian Rosa. 

Walaupun seorang wanita, tapi dia tidak membiarkan kejahatan didepan matanya. 

Rosa tidak rela generasinya menjadi korban hantu morfin yang sewaktu-waktu bisa menerkam mangsanya apabila si mangsa lengah.

Tak terasa, mereka sudah cukup lama berada di warung makan tersebut.

Makanan yang mereka pesan pun, sudah dilalap habis.

“Ayo aku antar pulang sampai rumah ya, supaya kapan-kapan aku bisa main ke rumahmu. Tidak keberatan kan?” tanya Haryadi.

“Boleh, nanti aku kenalkan ke Budhe. Hari ini kebetulan Papa dan Mama ada di rumah Budhe.”

Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit sampailah mereka di rumah budhenya Rosa. 

Rosa mengajak Haryadi masuk dan memperkenalkan dengan budhenya. Pakdhe sedang tidak ada di rumah. 

“Rosa… ajak makan sekalian temannya,” kata budhe dengan ramah.

“Tidak Budhe terima kasih, kami baru saja makan,” jawab Haryadi.

“Mana Papa mu?” tanya Haryadi pada Rosa.

“Sedang keluar sama Mama dan Pakdhe”

Haryadi hanya mengobrol berdua dengan Rosa di teras rumah. Tidak lama kemudian dia pamit.

“Rosa aku pulang dulu. Aku tidak bisa lama-lama, ada tugas yang harus diselesaikan dan dikumpulkan besok"

"Besok kita pulang sama-sama. Kalau aku belum keluar tunggu disekitar parkiran sepeda” lanjut Hariyadi 

“Ok…sampai jumpa besok.” jawab Rosa dengan wajah yang berseri-seri.

Nampak kegembiraan yang luar biasa terpancar di wajah Rosa.

Diam-diam Haryadi mengagumi keberanian Rosa dalam penyamaran untuk menangkap para penjahat, meskipun nyawa taruhannya. 

Ternyata Rosa yang dulu, berbeda dengan Rosa yang sekarang. 

Rosa yang sekarang jauh lebih dewasa, tidak manja dan agresif seperti Rosa yang dikenalnya sewaktu di SMA.

Kini lebih kalem dan berpenampilan sederhana. 

Haryadi juga mengagumi Rosa karena mau bersepeda untuk kuliah.Padahal dia mampu antar jemput menggunakan mobil.

oOo

“Dari mana saja Rosa, tadi Papa dan Mama nunggu kamu. Kan biasanya jam dua belas sudah sampai rumah?” tanya Papa pada Rosa.

"Kunci sepeda Rosa hilang, beruntung ada Haryadi yang datang membantu”

“Haryadi lagi….apa sih kelebihan laki-laki itu!”

“Sudahlah Yoko, biarkan mereka berteman. Anak zaman sekarang beda dengan zaman kita dulu" Budhe ikut menimpali.

"Zaman sekarang anak berhak menentukan sendiri pilihannya” lanjut budhe.

“Iya Mbak yu, tapi kan harus difikirkan juga masa depannya. Rumah tangga tidak cukup hanya dengan cinta” 

”Bukan begitu Pa, memang Rosa belum pernah berumah tangga, tapi dari membaca, Rosa bisa mengambil kesimpulan bahwa rumah tangga itu adalah perpaduan antara dua manusia dari latar belakang budaya"

Merasa mendapat angin segar dari budhe, Rosa memberanikan diri berbicara.

"Dari situ Rosa sadar bahwa yang menopang rumah tangga bukan hanya materi semata"

"Betul kata Papa, bukan hanya cinta semata yang menopang rumah tangga. Rosa setuju dengan pendapat Papa"

Rosa merasa Papanya benar-benar serius memperhatikan pendapatnya.

"Tapi Rosa juga punya pendapat sendiri. Lagian belum tentu Haryadi mencintai Rosa" tiba-tiba Rosa berhenti. 

“Aneh…kenapa aku membela diri” pikir Rosa. Padahal belum tentu Haryadi mau sama dirinya. 

“Benar apa yang dikatakan oleh anakmu, biarkan nasib ini mengalir mengikuti kehendak Sang Pencipta" budhe kembali menimpali.

"Manusia boleh saja membuat rencana, tapi akhirnya nasib juga yang berbicara"

"Jangan terlalu yakin bahwa semua rencana kita itu pasti tercapai. Yang tepat, kita serahkan semua rencana kita pada Allah, biarlah Allah yang menentukan"

"Kita sebagai manusia hanya bisa memohon saja,” tutup budhe.

“Mustahil rumah tangga tanpa dilandasi rasa cinta" giliran Papa Rosa berbicara.

"Apa jadinya rumah tanggamu nanti kalau cinta hanya sepihak, dari pihak isteri saja?"

"Kalau Haryadi belum tentu mencintaimu lalu kenapa kalian masih berdua juga?” tanya pak Setyoko

“Saya dan Haryadi hanya berteman Papa. Begitu juga Rosa dan Handoko"

"Apa jadinya rumah tangga nanti kalau cinta hanya sepihak dari pihak suami saja"

"Bagaimana nanti kalau saya berumah tangga dengan Handoko, sedangkan Rosa sama sekali tidak mencintai Handoko,” kata Rosa.

“Bagaimanapun juga materi tetap menjadi penunjang utama suatu rumah tangga. Itu tak bisa dipungkiri" kata pak Setyoko.

“Boleh saja Papa berpendapat seperti itu, Rosapun juga ingin bebas berpendapat,” jawab Rosa.

“Nanti kalau kamu sudah berumah tangga, baru bisa merasakan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga.” kata papa.

“Sudahlah…ayo kita makan siang dulu" kata budhe untuk meredakan ketegangan (bersambung)

2 komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (24)"