Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (22)

omahpro


Ninien Supiyati

“Ya…keburu kami dibunuh Pa,” kata Rosa melanjutkan. 

Sore itu di serambi rumah Budhe, Rosa menceritakan semua kejadian yang dialaminya selama berhubungan dengan Andri.

Sejak awal perkenalan hingga ia ditodong dan disekap sendiri oleh Andri beserta komplotannya.

Akhirnya Papa Rosa bisa memahami situasi. Ia akan membelikan sepeda untuk Rosa.

oOo

Sementara itu di Malang, Ningrum sibuk dengan kuliahnya.

Selama ini dia sangat mengharapkan sepucuk surat dari Hariyadi. Sudah hampir setahun, tidak ada surat dari Hariyadi. 

Ningrum sudah sering berkirim surat padanya, namun tidak pernah ada jawaban dari Hariyadi. Kini Ningrum tak lagi berharap banyak pada Haryadi.

oOo

Ningrum sedang berada diperpustakaan kampus, tempat dimana Ningrum kuliah.

“Tolong ditulis dulu,” kata petugas perpustakaan. Ningrum menuliskan judul buku yang akan dipinjamnya.

“Kartu perpustakaan mana?” tanya petugas. 

Ningrum mencari-cari kartu perpustakaan di dalam tas, disaku bajunya, di dalam dompet, ternyata tidak ada semuanya.

“Aku taruh dimana ya kok tidak ada?” pikir Ningrum.

“Pakai kartuku saja, aku cuma mau mengembalikan buku saja,” kata seorang mahasiswa yang ada didekatnya. 

Ningrum menoleh pada mahasiswa tersebut. 

Terkejut Ningrum melihat mahasiswa tersebut, bola mata Ningrum sedikit membesar. Namun Ningrum segera mengendalikan dirinya.

Mahasiswa tersebut mirip sekali dengan Haryadi. Hanya saja Haryadi tidak segagah dan setegap mahasiswa yang ada didepannya. 

“Oh,..terimakasih. Tidak usah, nanti kamu sendiri kalau mau pinjam bagaimana?"

"Biarlah aku kembali besok saja ke perpustakaan,” jawab Ningrum.

“Tidak apa-apa aku sudah selesai. Sudah tidak pinjam lagi. Revisi skripsiku sudah selesai kok. Pakai saja,” kata mahasiswa tersebut.

Masih dengan perasaan terkejutnya, Ningrum menerima tawaran mahasiswa tersebut. 

“Kapan aku mengembalikannya?”

“Sudah pakai saja, aku sudah tidak memerlukannya lagi”

“Terimakasih kalau begitu.”

Mahasiswa itu akhirnya menanda tangani peminjaman buku yang dipakai oleh Ningrum. 

Dalam kartu Perpustakaan itu tertulis namanya Prasojo, teman-temannya biasa memanggilnya Pras.

Sesampainya di tempat kost, Ningrum mencari kartu perpustakaan di saku-saku baju yang lainnya. Tetap tidak ditemukan. 

Ningrum biasa menaruh uang dan kartu-kartu identitas yang lain di saku bajunya. Kebiasaan yang kurang baik memang. 

Pernah KTP nya ditemukan orang jatuh di kaki Ningrum, sewaktu Ningrum mengambil uang untuk membayar fotocopy. KTP tersebut jatuh sewaktu Ningrum menarik uang dari dalam saku bajunya. 

Mulai saat itu, setiap meminjam dan mengembalikan buku Ningrum harus diantar oleh Prasojo. 

Ningrum merasa berhutang budi pada Prasojo. Sebaliknya, Prasojo merasa ada perasaan yang aneh yang belum pernah dia rasakan selama ini, setiap kali mengantar Ningrum ke perpustakaan.

Selama ini memang prasojo tak pernah bergaul atau mempunyai teman wanita yang khusus. Dia hanya bergaul dengan buku-buku. 

Hobinya adalah membaca. Dia mencurahkan semua kesepian hati pada buku-buku yang dibacanya. 

Prasojo adalah mahasiswa jurusan teknik mesin. Kuliahnya lebih cepat dua semester. Tahun ini dia sudah lulus dan menyandang gelar Insinyur. 

“Untung kuliahku sudah selesai. Namun kini,  bayangan Ningrum tak pernah lepas dari ingatanku,” gumam Prasojo.

Sebenarnya Prasojo sudah selesai sidang dan skripsinya juga sudah direvisi, namun setiap hari dia datang ke kampus.

Prasojo sendiri merasa heran mengapa hatinya lebih tenang dan damai ketika dia duduk-duduk saja di kampus, hanya sekedar ngobrol dengan teman-temannya. 

Ini bukan kebiasaannya, tapi mengapa Prasojo sekarang suka melakukannya.

Suatu ketika Prasojo sedang duduk-duduk di taman kampus. Dari kejauhan dia melihat Ningrum berjalan sendirian. Segera saja Prasojo meninggalkan teman-temannya dan mengejar Ningrum yang berjalan begitu cepat.

“Ningrum..!!!” panggil Prasojo.

Mendengar ada yang memanggil, Ningrum menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang.

“O…kamu. Kukira siapa.”

“Kenapa berjalan sendirian? Mana sepedamu?” tanya Prasojo

Ningrum diam sejenak. Semalam ada kejadian di tempat kosnya yang membuat dirinya cukup syok.

“Tempat kostku kecurian. Termasuk sepedaku ikut dicuri, jadi sekarang aku ke kampus naik bemo. Aku tidak berani cerita pada orang tuaku,”

“Bagaimana…. Emm…. Bagaimana kalau aku jemput dan antar kamu setiap ada kuliah?”

“Tidak usah, aku tak mau merepotkan orang lain.”

“Aku sudah tidak punya beban apa-apa. Revisi sudah selesai, dan sudah aku serahkan. Tinggal menunggu waktu wisuda saja. Bagaimana? Kamu tidak keberatan?”

“Harusnya pertanyaan itu datang dari aku” jawab Ningrum sambil menoleh pada Prasojo.

“Ya sudah, silahkan bertanya.”

“Tidak jadi, kamu sudah tanya duluan.”

“Tak cabut saja pertanyaanku.”

“Tidak bisa sudah terlanjur.”

“Bagaimana? Aku antar jemput saja ya, agar kamu tidak berlama-lama menunggu bemo” Prasojo kembali mengajukan tawaran.

Ningrum tidak segera menjawab. Kalau dipikir-pikir memang pemborosan kalau naik bemo setiap hari. 

Tapi Ningrum masih malu menerima tawaran Prasojo. Ada perasaan tidak enak, kalau setiap hari harus minta tolong padanya.

“Baiklahlah, asal tidak merepotkanmu,” akhirnya Ningrum menerima tawaran Prasojo. 

"Mulai hari ini, aku akan bertemu Ningrum setiap hari" Prasojo berkata dalam hatinya yang sedang berbunga-bunga.

oOo

“Yuk aku antar pulang sekarang,” Ningrum mengikuti apa kata prasojo. Mereka berboncengan naik sepeda motor.

“Ini langsung ke tempat kost atau ada keperluan lainnya?” tanya Prasojo pada Ningrum. 

Ningrum agak tersentak dengan pertanyaan itu, karena ingatannya sedang melayang pada Haryadi.

“Ke tempat kost saja. Aku banyak tugas, aku akan segera menyelesaikan tugasku.”

Ternyata sepeda motor berhenti di depan sebuah warung makan yang cukup bersih.

“Kita makan dulu, supaya nanti sampai di tempat kost, kamu tidak usah repot-repot masak lagi,” kata Prasojo.

Prasojo adalah pemuda yang mempunyai postur tubuh tegap dan berambut lurus tebal. 

Kulitnya kuning langsat bersih dan halus, menunjukkan bahwa dia tak pernah melakukan pekerjaan yang berat. 

Wajahnya sedikit oval, hidungnya tidak terlalu mancung namun juga tidak terlalu pesek. 

Prasojo adalah putra seorang pengusaha angkutan yang cukup terkenal di Kota Malang. 

Usaha yang dijalankan oleh orang tuanya adalah menyewakan truk untuk kepentingan pabrik yang ada di daerah Malang. 

Kini kegiatan Prasojo sehari-hari adalah antar jemput Ningrum, ini membuat hubungan mereka berdua semakin akrab. 

Ningrum kini tak banyak melamun tentang bayangan Haryadi seperti hari-hari sebelumnya. Haryadi sudah tidak ada kabar berita sama sekali semenjak Ningrum pindah kost. 

Berkali-kali Ningrum menulis surat pada Haryadi, tapi tak pernah ada balasan walau hanya sekali. 

Akhirnya Ningrum memutuskan untuk melupakan Haryadi. Perhatiannya dia curahkan pada kuliahnya. Ningrum ingin menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. 

Sampai suatu ketika, datanglah Prasojo yang mengisi kekosongan hatinya. Berawal dari kebiasaan, lama-kelamaan tumbuh juga rasa cintanya pada Prasojo. 

Ningrum tak tahu apakah itu cinta, atau rasa hutang budi, sehingga Ningrum harus membalasnya dengan cinta.

Bagi Prasojo Ningrum adalah cinta pertamanya, dan Ningrum adalah segalanya baginya saat ini. 

“Datang ya nanti saat wisudaku, aku ada undangan untukmu,” kata Prasojo saat mengantar Ningrum ke tempat kost.

“Bukankah kedua orang tuamu yang harus menghadirinya?”

“Nanti kedua orang tuaku juga datang.  Aku ingin memperkenalkan kamu pada beliau berdua.”

“Jangan, aku belum siap untuk berkenalan dengan kedua orang tuamu,” 

Ningrum masih ragu apakah cinta yang tumbuh itu karena rasa ingin balas budi, atau tulus keluar dari hatinya yang paling dalam.

“Jangan dulu Pras, aku masih belum berani menghadapi beliau.”

“Baiklah tidak apa-apa. Kalau kau belum berani, aku tak akan kenalkan kamu pada kedua orang tuaku, tapi datang ya pada hari wisudaku nanti.”

“Insya Allah aku akan datang”

oOo

Hari wisuda telah tiba. Nampak wajah-wajah bahagia para wisudawan beserta keluarganya.

Bagi mereka, inilah saat yang ditunggu-tunggu. Setelah sekian tahun menempuh perkuliahan. Bergelut dengan berbagai kegiatan dan tugas, akhirnya saat yang dinantipun tiba.

Tidak ada wajah sedih diantara para wisudawan. Kalaupun ada, itu dikarenakan mereka harus berpisah dengan teman-temannya.  

Prasojo dan kedua orang tuanya nampak turun dari mobil. Seorang wanita muda belia berjalan mengiringi ibu Prasojo.

Wanita tersebut nampak anggun dan cantik, apalagi dengan pakaian yang dikenakannya, semakin menambah kecantikannya.

Dia adalah kerabat dari ibunya, masih terhitung saudara dengan Prasojo.

Sedangkan Prasojo berjalan disamping ayahnya. Ternyata orang tua Prasojo juga membelikan undangan untuk Lely.

Nama wanita tersebut adalah Lely. (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (22)"