Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (34)

Jendela Hati


Ninien Supiyati


Empat tahun telah berlalu, Ningrum telah melahirkan anak kedua, bayi mungil perempuan yang diberi nama Cyanita. 

Bayi lincah dan sehat itu kini berusia 1 tahun. 

Cyanita sudah mulai bisa bicara dan panggil-panggil “Ayah…Ayah…Bu..Bu…”. 

Setiap pagi selalu merangkul kaki ayahnya ketika ayahnya melangkah untuk berangkat kerja. 

Ningrum membujuknya dan melepaskan kaki Handoko dari pelukan Cyanita. Handoko mencium Ningrum dan kedua anaknya kemudian berangkat ke Malang.

Sebenarnya Ningrum mengajak Handoko untuk mencari Rumah di Malang saja, supaya Handoko tidak terlalu capek setiap hari harus pulang-pergi Mojokerto-Malang, tapi Handoko bersikukuh tidak mau, tanpa alasan yang jelas.

“Hatiku sudah terlanjur terpikat dengan Mojokerto, kota kenangan yang rasanya tak mungkin aku meninggalkannya,” kata Handoko suatu hari.

Sebenarnya bukan itu alasan Handoko mengapa tak mau pindah ke Malang. 

Persahabatan Handoko dan Prasojo sangat erat, bagaikan saudara sendiri.

Handoko teringat tentang terbongkarnya kisah cinta isterinya dengan Prasojo

Waktu itu Prasojo sedang sakit dan menjalani rawat inap pada salah satu rumah sakit swasta di kota Malang. 

Handoko setiap pulang kerja tak lupa menyempatkan diri menjenguk ke rumah sakit, mereka ngobrol santai. Prasojo menderita sakit typus. 

“Tolong untuk sementara kamu gantikan pekerjaanku mengelola kedua Hotelku,” kata Prasojo sambil memberikan dua anak kunci kepada Handoko.

"Ini kunci laci yang atas, berisi dokumen-dokumen penting"

"Dan ini kunci laci bawah, berisi data-data fisik Hotel, dan data karyawan,” kata Prasojo sambil menunjukkan kedua anak kunci pada Handoko.

“Kau sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri,” lanjutnya.

“Ok, kamu beristirahatlah. Tidak usah banyak pikiran. Kenapa kamu tidak menikah saja supaya ada yang mengurusmu?” tanya Handoko. 

Prasojo diam, tidak menjawab. Dia hanya menarik napas panjang, sepertinya ada yang menyesakkan dada. 

Prasojo melamun, ingat kenangan indahnya pada Ningrum. 

Kini Ningrum menjadi milik sahabatnya, orang itu sekarang berada disampingnya, orang itu yang mengurusnya selama dia dirawat di rumah sakit. 

Prasojo ingin membahagiakan Ningrum lewat orang itu. Itulah sebabnya Prasojo memberikan beberapa proyek pada Handoko. 

Kepedihan hati karena cinta, membuat Prasojo tidak ingin dekat dengan wanita. Prasojo lebih menekuni pekerjaannya.

Memang mencintai tidak berarti harus memiliki. 

“Kau boleh memiliki fisiknya, tapi hatinya tetap milikku,” pikir Prasojo. 

Prasojo tidak dendam pada Handoko. Prasojo sadar bahwa Ningrum bukan jodohnya, Handoko adalah jodoh yang dipilihkan Allah untuk Ningrum.

Handoko membiarkan sahabatnya tenggelam dalam lamunan, Handoko tahu kalau Prasojo masih sangat mencintai kekasihn.

“Tidak Han, aku belum punya pilihan,” jawab Prasojo sambil menarik napas panjang.

“Ok, aku akan pulang dulu, besok ada audit di perusahaanku dan aku harus mempersiapkan segala sesuatunya,” kata Handoko sambil menepuk bahu temannya.

Esok Hari seperti biasa, Handoko masuk ke kantor. 

Semua karyawan hotel sudah kenal baik dengan Handoko. Para karyawan juga tahu bahwa selama Prasojo sakit, Handoko yang mengelola hotel tersebut untuk sementara. 

Handoko masuk ke ruangan Prasojo dan duduk di meja dimana biasanya Prasojo bekerja. 

Tak lama kemudian datang wakil manager yang melaporkan bahwa tadi ada tamu dari yang berwenang, untuk memeriksa kelayakan Hotel dan memeriksa administrasi perusahaan. 

“Baik, perintahkan semua karyawan untuk bekerja sesuai dengan bagian masing-masing dan siap di tempat,” jawab Handoko. 

Kemudian Handoko pergi menemui Prasojo di rumah sakit dan menyampaikan pesan wakil manager tadi. 

Handoko meminta ijin membuka laci, untuk menyiapkan dokumen bila diperlukan dalam pemeriksaan.

“Tidak apa-apa buka saja dan siapkan apa yang diperlukan,” kata Prasojo.

“Aku minta maaf sebelumnya, karena ini bukan wewenangku,” jawab Handoko.

“Aku minta tolong padamu.” 

“Ok, aku balik ke Hotel dulu untuk mempersiapkan administrasi yang diperlukan.”

Handoko kembali ke Hotel dan kembali memasuki ruangannya. 

Diperiksanya dokumen satu persatu untuk persiapan besok, terutama sertifikat perijinan. 

Tiba-tiba….mata Handoko tertuju pada foto seorang gadis berkebaya panjang di laci Prasojo.

Mengapa foto Ningrum ada di sini? Ia bahkan sempat membalik foto tersebut. 

Belum hilang rasa kagetnya, kini ia dikejutkan tulisan di balik foto tersebut.

"I Love you Forever"

Begitu tulisan di balik foto itu.

Lama Handoko duduk terdiam, tak tahu dia harus berbuat apa. 

Setelah agak tenang dan bisa menata kembali pikirannya, Handoko mulai bekerja lagi. 

Tangannya serasa lemas tak mampu untuk mengangkat tumpukan kertas yang sebenarnya tidak seberapa berat. 

Ruangan tempat dia berpijak seakan berputar, konsentrasinya buyar. Apakah Ningrum mantan kekasih Prasojo yang sering diceritakan padanya? 

Handoko menggeleng-gelengkan kepalanya seakan ingin melemparkan beban yang menghimpit di kepalanya. 

Beberapa saat dia tidak melakukan apapun kecuali memandang sesuatu yang tak jelas. Pandangannya kosong, hatinya juga kosong.

Seandainya dia dulu tahu bahwa Ningrum adalah kekasih Prasojo, Handoko tak akan menikahi Ningrum. 

Persahabatannya dengan Prasojo sudah melebihi saudara karena mereka adalah sama-sama anak tunggal, tidak punya saudara. 

Handoko menutup kembali laci itu dan duduk bersandar di kursi, meneguk air putih dari gelas yang ada di depannya dengan harapan hatinya bisa tenang. 

Di tatapnya langit-langit ruangan, seakan bertanya

”Wahai semua kau yang berada di ruangan ini, bisakah kau bantu meringankan kekacauan hatiku?"

"Tapi walaupun benda mati kau makhluk Allah juga. Apakah kau bertasbih juga? 

"Apakah kau juga menerima takdirmu? Apakah Allah mentakdirkan aku hari ini mengetahui kejadian yang sebenarnya?" 

"Ya, aku menerimanya, wahai semua yang ada disekitarku, aku juga menerima takdirku, bahwa hari ini Allah menunjukkan padaku tentang kekuasaanNya"

"Allahuakbar"

Handoko beranjak dari kursinya dan pergi ke mushola Hotel, kemudian mengambil air wudhu dan duduk berdiam diri.

Untuk menenangkan hatinya. Tak lama kemudian terdengar kumandang adzan dhuhur. Handoko melakukan sholat wajib.

Selesai sholat dhuhur hatinya sudah agak tenang, semua yang terjadi bukan kemauan Prasojo maupun Ningrum, tapi semuanya sudah diatur oleh Allah. 

Handoko mulai bisa menata hatinya lagi, dia tidak menyalahkan Ningrum maupun Prasojo, dan Handoko tidak berniat untuk konfirmasi pada keduanya. 

Diucapkannya istighfar berkali-kali dalam simpuhnya. Akhirnya diputuskan melanjutkan pekerjaannya untuk menyiapkan dokumen.

Dikembalikannya foto Ningrum pada tempat semula. Sebenarnya tempatnya cukup rapi dan tersembunyi. 

Dengan sisa kekuatan yang ada Handoko berusaha mencari dokumen yang diperlukan untuk pemeriksaan besok pagi. Dalam hati kecilnya Handoko cemburu juga, apakah dalam hati Ningrum masih tersimpan cinta untuk Prasojo? 

Hati wanita sukar ditebak, bahkan ada ungkapan yang menyatakan bahwa hati wanita itu sedalam lautan. 

Tidak! Ningrum tidak seperti itu, Handoko melihat dalam kenyataan setiap hari bahwa Ningrum adalah isteri yang berbakti pada suami. 

Handoko tidak merasakan ada pelayanan Ningrum yang mengecewakan. 

Masa bodoh! Yang penting Ningrum tidak ada niatan untuk mengkhianati cintanya. Sore itu Handoko pulang dengan tubuh yang terasa lunglai.

“Mas…Mas….mengapa diam saja? Apa yang Mas pikirkan?” tanya Ningrum 

Handoko sedang mengingat kembali kisah penemuan foto Ningrum di laci Prasojo. Handoko nampak terkejut dan menjawab sekenanya.

“Oh,…tidak…tidak. Aku sedang memikirkan hasil audit.”

“Kalau begitu, Mas tak usah repot-repot membantu aku, supaya Mas tidak bertambah capai. Mas istirahat saja, biarlah anak-anak aku sendiri yang mengurusnya” kata Ningrum. 

Memang setiap anak-anaknya buang air besar, mandi atau ngompol, Handoko yang menanganinya, sehingga anak-anak merasa dekat dengan ayahnya. 

Kedatangan Handoko setiap sore membuat anak-anak bersorak kegirangan dan berebut pelukan ayah.

“Mas…aku sayang sekali pada Mas, aku kasihan pada Mas,  jangan sampai nantinya Mas sakit karena kecapaian.”

“Aku juga ingin dekat sama anak-anak, karena itu biarkan aku merawat mereka.”

“Sekalipun aku yang merawat mereka, percayalah anak-anak akan tetap dekat dengan Mas. Mereka akan mengikuti aku" ujar Ningrum 

"Kalau kita menunjukkan betapa harmonisnya kita, maka mereka akan gabung bersama kita”

Setelah diskusi beberapa kali, akhirnya mereka memutuskan untuk tetap tinggal di Mojokerto. Dan setiap hari Handoko pulang-pergi Mojokerto-Malang. 

Lama kelamaan fisik Handoko semakin lemah.

oOo

Pada suatu hari Handoko terjatuh di kamar mandi. Ningrum tergopoh-gopoh minta tolong tetangga untuk mengantar ke rumah sakit. Dokter memutuskan Handoko harus rawat inap di rumah sakit. 

Ayah dan Ibu Ningrum kewalahan menjaga kedua cucunya, sementara Ningrum sibuk mengurus suami di rumah sakit. 

Buk Yah, ikut anak-anak tinggal di rumah ibunya Ningrum. Menurut keterangan dokter, Handoko menderita stroke.

oOo

Kini Handoko sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Dalam keseharian, Handoko menggunakan kursi roda karena mengalami kelumpuhan pada kaki kirinya. 

Ningrum dengan sabar merawat suaminya. Karena suaminya tidak bekerja, akhirnya Ningrum melamar pekerjaan sebagai guru di salah satu SMA Negeri. 

Setelah melalui beberapa kali wawancara dan tes microteaching didepan kelas, Ningrum diterima sebagai guru biologi pada sekolah tersebut.

Setiap hari Ningrum harus bangun lebih awal untuk merawat suaminya, kemudian berangkat mengajar. 

Handoko merasakan betapa besar kasih sayang Ningrum padanya. Handoko merasa berdosa kalau berprasangka buruk pada Ningrum. 

Sepertinya tidak mungkin Ningrum punya keinginan untuk kembali kepada Prasojo. 

Tadinya Handoko mengira bahwa Ningrum ingin mendekati Prasojo dengan mengajaknya pindah ke Malang, namun dugaannya meleset. 

Sepulang dari sekolah, Handokolah yang pertama kali ditangani oleh Ningrum, disiapkannya semua kebutuhan-kebutuhannya. 

Handoko mengusulkan bagaimana kalau menggaji seorang perawat untuk merawat dirinya. Ia mempunyai deposito yang cukup untuk menggaji perawat. 

Bahkan kedua anaknya sudah ditabungkan untuk pendidikannya sampai perguruan tinggi, dan biaya hidup berdua sampai hari tua pun sudah disiapkan. Semuanya sudah diperhitungkan oleh Handoko.

“Tidak, aku tak rela Mas dirawat oleh wanita lain termasuk seorang Perawat" kata ningrum suatu hari

"Kalau aku di rumah, aku yang akan merawat Mas. Kalau aku sedang mengajar, buk Yah yang menyiapkan semua kebutuhan Mas” 

Handoko mengijinkan Ningrum mengajar karena dia merasa kasihan, mengingat dirinya sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan biologis isterinya. 

Biarlah Ningrum mencari kesibukan untuk mengisi hari-hari sepinya.

Pada hari libur atau hari Minggu, Ningrum mendorong kursi rodanya untuk jalan-jalan di sekitar rumah, 

Hilmi naik sepeda roda 3 sambil membonceng Cyanita. Nampaknya tidak ada perubahan cinta kasih Ningrum pada dirinya. 

Handoko semakin yakin bahwa Ningrum benar-benar mencintainya. 

Ningrum memang sangat mencintai suaminya, karena dialah laki-laki yang sudah memberikan keturunan padanya, dia adalah ayah dari kedua anaknya. 

Sedikitpun tak ada niatan Ningrum untuk kembali kepada mantan kekasihnya. Mereka sudah terkubur dalam-dalam dan nyaris hilang dari ingatannya. 

Yang ada sekarang adalah seorang laki-laki lemah lembut, penyabar dan penuh kasih sayang pada keluarga. Itu yang membuat Ningrum sangat mencintai suaminya.

oOo

Handoko sudah hampir 2 tahun duduk di kursi roda. Ningrum masih seperti dulu tidak berubah, dengan sabar merawat suaminya. 

Dia selalu turut mengantar suaminya seminggu 2 kali untuk terapi di rumah sakit. 

Ningrum kini sudah menyandang status pegawai negeri sipil. 

Rupanya Handoko tak bisa melupakan rasa bersalahnya pada Prasojo. Ini juga salah satu faktor mengapa Handoko tak kunjung sembuh. 

Prasojo hanya 2 kali mengunjungi Handoko, Prasojo memang tidak sering mengunjungi Handoko layaknya sahabat karib. 

Ini Ia lakukan supaya tidak selalu teringat pada Ningrum. Handoko merasakan kondisinya semakin lemah, hingga pada suatu hari ketika hendak tidur, Handoko mengajak Ningrum berbicara agak serius.

“Kalau suatu ketika nanti aku harus meninggalkan kalian semua…,” belum selesai berbicara Ningrum meletakkan telapak tangannya pada bibir Handoko.

“Jangan lanjutkan,” kata Ningrum yang matanya mulai berkaca-kaca.

“Tidak…tidak…aku tak ingin itu terjadi. Jangan katakan itu lagi.” Sebutir air mata menggelinding di pipinya. 

Handoko tak tahan melihatnya. Dipeluknya Ningrum erat-erat. (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (34)"