Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (23)


Ninien Supiyati

Prasojo mengantar keluarganya untuk menempati tempat duduknya. Masih ada banyak waktu untuk menjemput Ningrum. 

Prasojo pamit keluar dari ruangan, meminjam mobil ayahnya untuk menjemput Ningrum. 

Selama perjalanan, Prasojo banyak melamun tentang Ningrum. Dia berharap Ningrum bisa menjadi pendamping hidupnya kelak. 

Ningrum sudah menunggu kedatangan Prasojo. 

Ningrum mengenakan rok panjang, lengan panjang berwarna biru muda. 

Sebuah tas kecil berwarna biru tua tergantung dipundaknya menjuntai hingga ke pinggul. 

Ningrum menjahit sendiri bajunya, rambut disisir rapi, sebelah samping kiri rambutnya dijepit dengan asesoris kerlap-kerlip bagai permata. 

Wajahnya yang sedikit oval dihiasi dengan make up yang tipis sederhana, dengan pipi ke merah-merahan.

Hidungnya yang memang sudah mancung nampak lebih tinggi dari biasanya, karena diberi sedikit bayangan hidung. 

Matanya yang bulat dan bercahaya dilindungi oleh kaca mata minus tak berwarna, sehingga setiap bola matanya digerakkan nampak sangat jelas. 

Bulu mata Ningrum memang lentik, bukan pasangan, nampak bergerak-gerak dengan jelas saat matanya berkedip. 

Ningrum segera beranjak dari duduknya diteras rumah kost saat melihat mobil yang dikendarai Prasojo berhenti di depan rumah. 

Prasojo keluar dari mobil, dan membukakan pintu untuk Ningrum. 

Ningrum duduk disamping Prasojo di bangku depan. 

Prasojo tidak segera menjalankan mobilnya, dia terkesima dengan kecantikan Ningrum.

“Nunggu siapa lagi?” tanya Ningrum.

“Tidak..tidak nunggu siapa-siapa, menunggu perintah tuan puteri,” kata Prasojo sambil melirik Ningrum. 

“Hmmmh…,” Ningrum merasa gemas dengan sanjungan Prasojo.

Mobilpun meluncur menuju Perguruan Tinggi tempat mereka kuliah. Acara wisuda diadakan di Aula.

Sesampainya disana, Prasojo mengantarkan Ningrum di tempat duduk yang telah disediakan, bersama dengan mahasiswa lain yang bukan wisudawan. 

Prasojo segera mengenakan toganya dan menempati tempat duduk khusus wisudawan. 

Tak lama kemudian pembawa acara menyatakan bahwa Rektor senat universitas akan segera memasuki ruangan, hadirin dimohon berdiri. 

Prosesi wisudawan dan senat berjalan khidmat. 

Acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Seluruh yang hadir berdiri dan ikut mengumandangkan lagu Kebangsaan.

Acara demi acara selanjutnya berjalan lancar. 

Hingga pada acara paling sakral bagi setiap wisudawan adalah, pelantikan lulusan oleh Rektor. 

Wisudawan dipanggil satu-persatu. Di hadapan Rektor, Rektor memindahkan tali toga setiap wisudawan, sebagai simbol mereka kini adalah sarjana.

Tidak sedikit yang menitikkan air mata di acara wisuda seperti ini. 

Bagi wisudawan, ini adalah pencapaian tertingginya dalam menempuh pendidikan. 

Setelah perjuangan yang berat, mereka kini dilantik sebagai seorang sarjana.

Bagi orang tua, tidak ada kebahagiaan lain ketika menyaksikan anaknya kini telah bergelar Sarjana. 

Acara berikutnya adalah janji wisudawan. Seorang wisudawan yang telah ditunjuk, maju kedepan.

Wisudawan yang lain berdiri di tempatnya masing-masing. Mereka menirukan janji yang diucapkan oleh perwakilan wisudawan.

Janji wisudawan adalah janji bagi setiap wisudawan. 

Janji untuk mendarma baktikan ilmunya demi kemajuan Negeri.

Seluruh rangkaian acara wisuda kini telah selesai. Seluruh wisudawan dan tamu yang hadir dipersilahkan meninggalkan ruangan.

Sebelum meninggalkan acara, beberapa wisudawan nampak berkumpul bersama teman-temannya. 

Selain saling berpamitan, mereka juga saling mengucapkan selamat.

Begitu juga ketika kembali ke tempat duduk orang tua. Banyak diantara mereka yang dipeluk orang tuanya. 

Selain ucapan selamat, orang tua juga membubuhkan doa restu dalam pelukannya. 

Doa restu untuk mengarungi masa depan yang lebih baik.

Selesai menemui kedua orang tuanya, Prasojo memohon diri untuk beranjak ke tempat duduk Ningrum.

Ningrum pun tak luput untuk mengucapkan selamat kepada Prasojo.

"Ningrum, setelah ini aku akan mengantar orang tuaku pulang. Kamu tunggu di taman ya" ujar Prasojo.

Ningrum menunggu di taman dan ngobrol bersama dengan teman-teman lainnya. 

Ketika mobil Prasojo lewat, Ningrum terkesima, hampir-hampir tak percaya ketika didalam mobil itu duduk seorang wanita cantik disamping ibunya, di bangku belakang. 

Ningrum gelisah, siapa ya wanita tadi? Kenapa dia hadir juga pada acara wisuda Prasojo? 

Perasaan Ningrum mengatakan bahwa wanita itu adalah pilihan ibunya. 

Jangan-jangan Prasojo sudah dijodohkan. Perasaan Ningrum menjadi tidak tenang. 

Ditengah perasaan itu, Ningrum menjadi lebih banyak diam. 

Dia tidak begitu tertarik lagi untuk mengikuti obrolan bersama teman-temannya. 

Dia tetap menunggu Prasojo untuk dijemput.

Prasojo datang dan ikut berbincang-bincang dengan teman-teman Ningrum sebentar, kemudian keduanya berpamitan untuk pulang. 

Didalam mobil, Ningrum tidak banyak bicara seperti tadi waktu berangkat.

Ningrum lebih banyak diam. Prasojo heran dengan sikap diam Ningrum.

“Kok jadi diam seperti ini kenapa?” tanya Prasojo.

“Ternyata kamu sudah dijodohkan oleh kedua orang tuamu,” kata Ningrum berterus terang. 

Prasojo hanya tertawa kecil mendengar ucapan Ningrum.

”Dia itu sepupuku, anak dari adik ibuku, namanya Lely. Dia sedang berlibur di Malang dan tidur dirumahku, dia kuliah di Luar Negeri" ujar Prasojo sambil menyetir.

"Dirumah tidak ada orang, pembantu sedang pulang, jadi dia ikut menghadiri acara wisuda. Kenapa? Cemburu? Baguslah kalau kamu cemburu, aku suka itu. Berarti kau….men…cin…”

“Stop!” kata ningrum sambil menutup mulut Prasojo dengan telapak tangan kanannya.

“Siapa yang mencintaimu?”

Benarkah kata Prasojo? Apakah aku mencintainya? Kalau tidak, kenapa aku cemburu? 

Apakah cemburu berarti adalah cinta? Pikiran Ningrum kian kesana kemari.

Prasojo tidak menyangkal pertanyaan  Ningrum karena pertanyaan Ningrum tidak memerlukan jawaban. 

Pertanyaan itu dianggapnya sebagai pernyataan, lalu kenapa pula Ningrum menempelkan tangannya yang harum itu kemulut Prasojo? 

Prasojo hanya tersenyum sendiri mengingat kejadian tersebut.

Tanpa terasa mobil telah sampai di depan kos Ningrum. 

Sebelum turun, Prasojo kembali menawarkan ke Ningrum untuk diperkenalkan kepada orang tuanya.

Namun Ningrum kembali menyatakan kalau dia belum siap. 

Prasojo tidak mempermasalahkan. Dia juga tidak akan memaksanya. 

Prasojo akan memperkenalkan Ningrum, kalau Ningrum benar-benar sudah siap. 

Dia juga tidak ingin mengganggu kuliah Ningrum.

Sesampainya di tempat kos, perasaan Ningrum semakin tidak tenang. 

“Apakah aku mencintai Prasojo? Aku memang suka dengannya. Apakah suka itu berarti cinta? Tapi aku tak rela kalau dia bersama wanita lain"

Ningrum kini sibuk dengan pikirannya sendiri

"Aku ingin dia hanya bersamaku saja. Ah…entahlah aku bingung. Apakah aku harus belajar mencintainya?"

"Haryadi juga tak ada kabar beritanya, sedangkan usiaku semakin bertambah, Ibu selalu menanyaiku tentang calon suamiku nanti"

"Beliau sungguh sangat khawatir dengan usiaku yang sudah diatas duapuluh tahun” 

Pikiran Ningrum terus berkecamuk. Dia sedang berdiskusi dengan nuraninya.

Akhirnya Ningrum memutuskan untuk menerima cinta Prasojo, walaupun sesekali ingatannya masih melayang pada Haryadi, cinta pertamanya. 

Sedangkan bagi Prasojo, cintanya pada Ningrum merasa tidak bertepuk sebelah tangan. 

Meskipun Ningrum tak pernah mengatakan ”Ya aku juga mencintaimu.” 

Hampir setiap hari Prasojo antar jemput Ningrum ke kampus dengan suka rela. 

oOo

Sampai pada suatu hari Prasojo dipanggil oleh ayahnya.

“Apa kegiatanmu setelah wisuda, Ayah lihat kamu setiap hari masih sering ke kampus,” tanya ayahnya.

“Tidak ada Ayah, Pras hanya kumpul-kumpul saja dengan teman-teman.”

“Terus rencana kamu selanjutnya apa? Bekerja? Atau mau buka lapangan pekerjaan?”

“Pras belum ada rencana apa-apa, Pras hanya sekedar istirahat dulu setelah sekian lama menyelesaikan skripsi.”

“Bagaimana kalau kamu mengurus salah satu perusahaan Ayah? kamu akan didampingi oleh seorang asisten Ayah" tanya Ayah Prasojo

"Posisi Manajer sekarang sedang kosong, pak Dedik mengundurkan diri karena harus merawat orang tuanya dan mengurus peternakan milik orang tua di kampungnya.”

Prasojo adalah anak yang berbakti.

Baginya, permintaan ayahnya berarti adalah perintah untuknya.

Akhirnya Prasojo menyetujui tawaran ayahnya untuk mengurus Hotel milik ayahnya.

Hotel ayahnya cukup terkenal di kota Malang. 

Selain besar, hotel tersebut juga menawarkan banyak fasilitas untuk berlibur dan menginap. 

Kini Prasojo mempunyai kesibukan baru. 

Setiap hari dia harus selalu ke hotel untuk menjalankan tugasnya sebagai manajer hotel.

Hal ini membuatnya tidak bisa selalu mengantar jemput Ningrum kuliah.

Namun Prasojo selalu menyempatkan diri untuk melakukannya. 

Entah hanya mengantar Ningrum ke kampus, atau sekedar menjemputnya pulang kuliah.

Prasojo melakukan hal tersebut disela-sela kesibukannya. 

Beruntunglah Prasojo, karena Ningrum bisa memahami keadaan. 

Ningrum tidak keberatan apabila Prasojo hanya mengantar atau menjemput saja.

Kesederhanaan dan sikap Ningrum yang mau memahami situasi, membuat Prasojo semakin mengagumi Ningrum.

Hubungan keduanyapun kini semakin akrab.

Hingga suatu hari Prasojo kembali mengajak Ningrum kerumahnya, untuk dikenalkan kepada kedua orang tuanya

oOo

Rumah orang tua Prasojo cukup mewah. Menghadap ke utara di tepi jalan raya.

Tidak jauh dari tengah kota.

Pagar besi setinggi orang dewasa memanjang sepanjang halaman depan rumah berlantai dua tersebut.

Pintu pagar utamanya nampak lebih tinggi dari pagar disamping kiri dan kanannya, dihias dengan pola bunga yang rumit. 

Menandakan kemampuan ekonomi sang pemilik rumah di dalamnya.

Pagar rumah dan pintu pagarnya tidak berbatasan langsung dengan jalan raya.

Ada selokan selebar satu rentangan tangan tepat di depan pagar.

Masuk ke halaman rumah Prasojo, pandangan mata akan langsung disuguhi hamparan taman yang rapi dengan berbagai jenis tanaman.

Garasi, tempat parkir mobil berada di sebelah barat rumah utama. 

Antara garasi dan rumah utama dibatasi dengan taman kecil dengan beberapa tanaman hias. 

Di tengah taman tersebut, terdapat jalan setapak untuk masuk rumah utama melalui pintu samping

Jalan setapak yang dilapisi semen dan dikombinasikan dengan kerikil membawa tamu untuk menuju rumah utama. 

Kerikil diatas lapisan semen berguna agar jalan tidak licin saat basah. Dan tidak mudah berlumut.

Jalan setapak tersebut berbatasan langsung dengan taman yang dipenuhi  tanaman hias dan rumput Jepang.

Rumput Jepang memiliki bentuk yang meruncing, kurus, dan tipis sehingga akan terasa menusuk jika diduduki.

Rumput ini tumbuh dengan rapi dan rapat.

Diteras rumah terdapat meja marmer beserta dua kursi ukir. 

Dari ukiran yang terpahat pada kursi, tamu yang datang bisa menaksir, betapa berharganya kursi tersebut.

Duduk di teras rumah Prasojo, serasa benar-benar disuguhi nuansa alami dengan segala keindahannya. 

Apalagi wangi bunga mawar yang berada tepat di tengah meja marmer, seolah tiada habisnya. 

Bunga mawar di meja teras, dan seluruh tanaman di halaman rumah dirawat oleh seorang tukang kebun. 

Sehingga tidak ada tanaman yang layu.

Sebuah kolam kecil berisi beberapa ikan hias di teras, membuat siapapun semakin betah menghabiskan waktu disitu. 

Ningrum agak canggung melangkahkan kakinya di halaman rumah Prasojo.

Dia belum pernah bertamu ke rumah semewah ini.

Hingga diruang tamu Ningrum masih terlihat canggung. Melihat kesana-kemari. 

Begitu banyak perabot mewah yang belum pernah ia temui.

Prasojo mempersilahkan Ningrum duduk di sofa panjang, tempat para tamu ayah dan ibunya.

Di depannya terdapat satu sofa yang tidak terlalu panjang, tempat ayah dan ibunya menemui para tamu.

Ada lagi satu sofa yang hanya cukup untuk satu orang. 

Sofa tersebut biasanya hanya untuk ayah atau ibunya, ketika tamu yang datang cukup banyak. Sehingga sofa yang tidak terlalu panjang tersebut juga ditempati para tamu

Ningrum sempat kaget ketika duduk di sofa. 

Yang ia rasakan, seolah-olah sofa tersebut hendak menyedot dirinya.

Secara reflek, kedua tangan Ningrum mengganjal agar ia tidak semakin tersedot.

Prasojo sempat melihat kejadian itu, ia hanya tersenyum kecil. 

Sedangkan Ningrum nampak menahan malu. 

Kini Ningrum sendirian di ruang tamu.

Kakinya tidak merasa dingin meskipun lantai ruang tamu Prasojo sepenuhnya marmer, karena di area sofa tamu terhampar karpet yang cukup tebal.

Perhatian Ningrum kali ini tertuju pada korden di belakangnya. 

Betapa mewah korden itu. Tingginya menutup seluruh kaca dan tembok dibelakangnya.

Benar-benar seperti istana. Gumam Ningrum.

Prasojo baru naik ke lantai 2, namun Ningrum merasa lama sekali. Suasana rumah begitu sunyi, sepi. 

Tidak ada suara apapun, kecuali denting jam kuno yang berdiri di pojok ruang tamu.  

Tak lama kemudian Ningrum menangkap suara yang tak asing ditelinga. 

Tik..tok..

Tik..tok..

Tik..tok

Itu adalah suara hak sepatu yang saling beradu dengan lantai. 

Jika bukan sepatu, bisa jadi sandal. Ningrum mencoba menebak. 

Kalaupun sandal, pasti sandal yang sangat mahal.

Ningrum mencoba menebak darimana asal suara tersebut. Ternyata dari tangga! 

Tidak salah lagi, sang tuan rumah turun dari lantai dua. 

Siapa lagi yang pantas memakai sepatu atau sandal di dalam rumah. Kecuali si tuan rumah itu sendiri.

Prasojo tidak mempunyai saudara perempuan. 

Sedangkan suara itu adalah suara sepatu atau sandal perempuan.

Kini Ningrum sudah tidak ada waktu lagi untuk melamun. Karena yang datang sebentar lagi adalah Ibunda Prasojo! 

Benar juga. 

Seorang wanita paruh baya berjalan menuruni tangga, berjalan sangat hati-hati. 

Di tangan kanannya hingga pundaknya terselempang selendang bermotif bunga. Sedangkan tangan kirimya berpegangan pada pagar tangga.

Busana yang dikenakannya menunjukkan strata sosial yang cukup berada. 

Mengenakan kebaya motif bunga dengan benang emas, dipadukan setelan rok panjang warna abu-abu.

Rambutnya disanggul dengan hiasan bunga melati kuncup yang dirangkai kecil. 

Semakin menambah kuat aura sebagai wanita Jawa.

Ibu menuruni tangga, diikuti oleh Prasojo di belakangnya.      

Ningrum segera berdiri menunggu sampai ibu yang telah melahirkan Prasojo tersebut mendekat. 

Tanpa senyum, ibunda Prasojo menerima uluran tangan Ningrum. Ningrum mencium tangannya.

Dari pertemuan itu, Ningrum bisa merasakan bahwa ibunya Prasojo kurang senang dengan kehadirannya. 

“Ini Ningrum Bu, teman dekat Pras” kata Prasojo mengenalkan Ningrum pada ibunya.

“Ningrum” kata Ningrum sambil sedikit membungkukan badannya.

“Ibunya Pras” jawab ibunya Prasojo singkat. 

Tanpa bertanya panjang lebar, ibunya Prasojo langsung mengundurkan diri.

“Maaf Ibu ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Nak Ningrum silahkan ngobrol dengan Pras” kata ibu Prasojo. 

Sekali lagi Ningrum hanya menjawab dengan membungkukkan badannya. 

Ibu Prasojo kembali naik ke lantai dua. Satu persatu anak tangga ditapaki.

Sementara Ningrum dan Prasojo tidak mengeluarkan suara sama sekali, hingga sang Ibu sudah benar-benar di lantai dua. 

“Maafkan, Ibuku memang sedang sibuk,” kata Prasojo.

Prasojo nampak kecewa dengan sikap Ibunya. 

Dia juga merasa tidak enak dengan Ningrum. (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (23)"