Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (26)

Layang-layang Ditelan badai


Ninien Supiyati

“Apakah ini cara Allah agar tidak memandang rendah orang lain? Ya Allah ampunilah hambamu” 

Jangan memandang rendah derajad dan martabat orang lain, karena kita belum tentu lebih tinggi dari dia. 

Itulah selama ini pandangan Setyoko terhadap Haryadi. Setyoko sadar dari pandangannya tentang Haryadi.

“Ya, saya sedang mengikuti dokter Hamid melakukan kunjungan pasien"

"ini salah satu mata kuliah yang harus saya tempuh"

"Bagaimana keadaan Bapak, sudah ada perkembangan?” tanya Haryadi pada papanya Rosa.

“Trimakasih nak Haryadi, Bapak merasa sudah agak enak,” jawab Setyoko.

“Pusing dan mual masih ada Pak?” tanya Haryadi dengan santunnya.

“Mualnya sudah tidak, tapi pusingnya masih ada” 

Haryadi meminta rekam medik yang dibawa oleh suster dan mengamatinya.

“Bagus Pak, rupanya sudah ada perkembangan sedikit demi sedikit, mudah-mudahan cepat sembuh” kata Haryadi. 

“Rosa, obat untuk Papa jangan lupa untuk diminumkan. Nanti selesai kunjungan pasien aku kesini.”

“Terimakasih Har,” jawab Rosa singkat.

“Terimakasih nak Haryadi,” kata papa Rosa.

“Sama-sama Pak, maaf saya harus melanjutkan kunjungan" 

Haryadi bersama dokter Hamid berlalu meninggalkan kamar Setyoko. 

Rosa melanjutkan merawat papanya dengan memberikan obat pada papanya dan mengambilkan air putih.

“Maafkan Papa Rosa, selama ini Papa telah salah menilai Haryadi"

"Ternyata dia pemuda yang ulet, mau berjuang. Andaikata Haryadi juga mencintaimu Papa akan merestui"

“Tak usah minta maaf Papa, Papa tidak salah"

"Rosa tahu semua yang Papa lakukan itu demi kebaikan dan kebahagiaan Rosa. Rosa dan Haryadi hanya sebatas teman"

"Belum sampai pada pertemanan yang spesial,” kata Rosa sambil membetulkan selimut papanya.

“Papa berdoa semoga kalian menjadi pasangan yang serasi.”

“Sudahlah Papa, sebaiknya tidur dan istirahat, Rosa akan selalu nungguin Papa"

"Papa belum boleh banyak bergerak dan berfikir yang berat-berat.”

Setyoko akhirnya tertidur. Rosa duduk dikursi dan menyandarkan kepalanya didinding, akhirnya tertidur juga. 

Tak nyaman memang tidur sambil duduk, tapi lumayan badan sudah merasa segar kembali, limabelas menit sudah cukup. 

Dilihatnya papa masih tertidur dengan pulas. 

Rosa keluar sebentar, untuk mencari udara segar dengan duduk di bangku panjang di depan kamarnya. 

Setelah merasa agak nyaman, Rosa kembali kekamarnya.

Dua jam kemudian terdengar pintu diketok dari luar.

“Ya, silahkan masuk,” jawab Rosa.

“Apakah aku mengganggu?” tanya Haryadi.

“Oh,…tidak, Papa masih tidur,” kata Rosa sambil mengambil kursi untuk Haryadi.

”Silahkan duduk.”

Hari-hari selanjutnya, Haryadi selalu mampir ke kamar tempat Rosa menunggu papanya yang sedang sakit.

Semakin hari kondisi Setyoko semakin membaik dan Setyoko sudah mulai banyak bercerita supaya Rosa anaknya tidak kesepian.

“Bagaimana Bapak? Bisa tidur nyenyak?” tanya Haryadi.

“Bisa tidur walaupun sebentar-sebentar terbangun, bagaimana nak Haryadi kok bisa ada di rumah sakit ini?”

“Saya masih kuliah Pak, di fakultas kedokteran, sekarang sedang melaksanakan praktek klinik di rumah sakit ini,” jawab Haryadi.

“Sudah hampir lulus berarti.”

“Insya Allah mohon doanya saja.”

“Mudah-mudahan nak Haryadi tidak ada kesulitan.”

“Aamiin…” jawab Haryadi.

“Rosa, ambilkan minum untuk nak Haryadi, itu kan ada banyak kue juga,” kata papa pada Rosa. 

Rosa mengambilkan roti kaleng dan segelas air.

“Ayo dimakan kuenya. Kue ini tidak ada lho ditempat kos mu” kata Rosa bercanda.

“Jadi sungkan saya,” kata Haryadi

Haryadi menceritakan awal mula, bagaimana dia mengetahui kejadian yang menimpa keluarga Rosa.

Setelah kunjungan Haryadi ke rumah budhe Rosa, esoknya sepulang kuliah dia berniat menunggu Rosa untuk pulang bersama.

Namun Rosa tak kunjung datang, hanya mendapati sepedanya saja.

Setelah bertanya kesana kemari, dia mendapatkan sedikit informasi dari teman-teman sekelas Rosa.

Tak dinyana, tiba-tiba Rina datang diantar seorang sopir.

Sekembalinya dari rumah sakit, ternyata Rina minta diantar ke kampus untuk mengambil sepedanya.

Dari Rina inilah, Hariyadi  mendapatkan cerita lengkap. 

Akhirnya Hariyadi berinisiatif untuk menitipkan sepeda Rosa di pos penjagaan.

Esoknya dia ke kampus berboncengan dengan temannya. 

"Pulang kuliah, aku membawa sepeda mu"

"Jadi sekarang sepedaku ada di kos-kosan mu?" tanya Rosa.

"Iya" jawab Haryadi.

“Terima kasih nak Haryadi telah memperhatikan Rosa,” kata papa Rosa.

“Rosa, besok kamu bisa mulai kuliah lagi. Papa sendirian tidak apa-apa disini"

"Kan ada perawat, nanti kalau perlu apa-apa Papa akan tekan bel ini" lanjut Papa Rosa. 

Setelah cukup lama berbincang-bincang, Haryadi berpamitan untuk pulang. 

“Rosa, Papa bisa melihat kalau Haryadi sebenarnya juga menaruh hati padamu"

"Bagaimana dengan kamu?” tanya papanya pada Rosa.

“Ah…Papa ada saja. Biarkanlah semua berjalan sesuai alurnya. Kalau memang sudah jodoh insya Allah jadi"

"Rosa juga tidak terlalu serius tentang cinta. Rosa tidak mau menanggung rasa sakit hati"

"Karena itulah, Rosa hanya menganggapnya sebagai teman saja.”

“Ya… Papa ikut saja pada kemauan kamu.”

oOo

Kondisi Setyoko semakin hari semakin membaik. Dokter sudah mengijinkannya untuk pulang. 

Setyoko tidak langsung pulang ke kampung. Untuk sementara waktu dia memilih tetap di Yogya.

Hal ini dilakukannya untuk mempermudah kontrol ke rumah sakit.

Sementara itu, hubungan Haryadi dan Rosa kian akrab. Setiap hari mereka selalu pulang kuliah bersama-sama. 

Dari kebiasaan itu, akhirnya terjalin hubungan spesial antara Haryadi dan Rosa. 

Namun dalam hati kecilnya, Haryadi masih menyimpan tanya untuk Ningrum.

Haryadi tidak bisa melupakan Ningrum. Bagi Haryadi, Ningrum adalah cinta pertamanya. 

Sampai kapanpun, cintanya pada Ningrum tak akan bisa hilang. 

Namun Haryadi juga mengagumi Rosa.

Kali ini Haryadi menerima cinta Rosa, itupun karena desakan orang tuanya juga. 

Orang tua Haryadi menginginkan Haryadi segera punya calon pendamping hidup.

Bahkan kalau bisa, masih satu kota.

Orang tuanya khawatir setelah lulus nanti, Haryadi ditempatkan di luar pulau Jawa. 

Seandainya ditempatkan diluar Jawa, orang tuanya akan tenang jika Haryadi sudah menikah.

oOo

Setahun sudah berlalu.

Haryadi, Ningrum maupun Rosa sudah hampir lulus sarjana. 

Prasojo masih melanjutkan hubungannya dengan Ningrum, meskipun kedua orang tuanya kurang menyetujui.

“Pras, Ayah rasa kamu sudah waktunya untuk berumah tangga"

"Hotel yang Ayah titipkan padamu kini sudah berkembang pesat. Bahkan sudah menghasilkan hotel baru"

"Ibumu sudah memilihkan jodoh untukmu, yang Ayah rasa sesuai untukmu,” kata ayah Prasojo. 

Prasojo diam beberapa saat tak menjawab.

“Tak bolehkah kalau Pras punya pilihan sendiri?” tanya Pras.

“Ayah rasa sebaiknya kamu ikuti saja kehendak Ibumu,” jawab ayah Pras.

“Ibu, tak bolehkah kalau Pras punya pilihan sendiri?” pertanyaan Pras beralih pada ibunya.

“Ibu rasa Lely lebih cocok untukmu,” kata Ibu.

“Lely itu cantik, cerdas, pendidikan luar negeri dan masih ada ikatan famili dengan kita"

"Dia mungkin bisa membantu mengembangkan usaha keluarga,” lanjut ibu.

Prasojo tidak menjawab, dia tak ingin menyakiti perasaan ibunya. 

“Pras minta waktu untuk mempertimbangkannya Bu,” jawab Pras dengan datar.

“Apakah teman wanitamu yang pernah kamu ajak kesini dulu itu, yang menjadi pilihanmu?” tanya ibunya Pras.

“Ya Bu,” jawab Prasojo singkat.

“Ibu tidak setuju! Dia kelihatan seperti wanita desa, tidak pandai bergaul, dari pakaiannya saja sudah kelihatan"

"Bagaimana mungkin dia bisa diajak mengembangkan usaha keluarga kita?"

"Beda dengan Lely yang lebih modern. Pakaiannya modis dan selalu mengikuti mode"

"Pergaulannya juga luas. Bahasa Inggrisnya jelas tidak diragukan,” kata ibunya Pras dengan agak kesal. 

“Tapi Pras mencintainya Bu”

“Pikirkan lagi permintaan Ibu!” kata ibu sambil pergi meninggalkan Pras dan ayahnya.

“Ayah pikir kamu harus mengikuti permintaan Ibumu Pras,” kata ayah.

“Beri waktu Pras untuk menenangkan hati dan pikiran.”

“Mudah-mudahan kamu bisa memahami niat Ayah dan Ibu, Pras,” kata ayah sambil menepuk pundak Prasojo dan meninggalkan Prasojo sendirian. 

Prasojo berdiri dan berjalan menuju kamarnya dengan langkah gontai.

Bagaimana dia harus mengatakan semuanya pada Ningrum. Dia tak tega menyakiti hati gadis yang sangat dicintainya itu. 

Biarlah semua yang akan terjadi, terjadilah. 

Prasojo tak akan menceritakannya pada Ningrum. 

Dia tetap melanjutkan hubungannya dengan Ningrum, tapi dengan cara tidak menyakiti hati ibunya. 

oOo

Hari-hari terus berlalu, bulan demi bulanpun berlalu. 

Hubungan Ningrum dengan Prasojo tetap berjalan seperti biasa. Setiap hari Prasojo menjemput Ningrum ke kampus. 

Kadang langsung pulang ke tempat kost, kadang mereka makan siang dulu. 

Sesekali mereka ke kolam pancing atau ke tempat hiburan lainnya. 

Ningrum dan Prasojo bagaikan pasangan yang tak terpisahkan. 

Ningrum tidak menyadari adanya badai besar dibelakangnya. 

Semakin hari cinta Ningrum semakin subur pada Prasojo. 

Mereka tetap menjaga agar hubungan ini tetap suci tanpa dinodai oleh kemaksiatan. 

Prasojo hanya menggandeng tangan Ningrum pada saat akan menyeberang jalan saja. 

Itulah yang membuat Ningrum sangat mengagumi Prasojo. Dia benar-benar menjaga Ningrum. 

Sebenarnya Prasojo ingin segera menikahi Ningrum. 

Namun Ningrum keberatan karena harus menyelesaikan studi dulu demi kedua orang tuanya, yang telah susah payah membiayainya. 

Meskipun begitu, Prasojo dengan sabar akan tetap menunggu Ningrum. (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (26)"