Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (33)

Jendela Hati


Ninien Supiyati


Haryadi panik, begitu pula Rosa.

Haryadi segera mengambil alat pemadam kebakaran di ruang praktek yang letaknya dekat ruang tamu. 

Namun api sudah terlanjur membesar, Haryadi berteriak memanggil pembantu rumah tangga supaya membantu memadamkan api. 

Pembantu rumah tangga datang dengan membawa ember berisi air dan menyiramkannya ke gorden yang menyala.

“Jangan siram apinya, siram gorden sekitarnya yang belum terbakar, ambil air lagi cepat!" 

"Ambil dari kamar mandi depan saja. Rosa, bawa Reni menjauh!” perintah Haryadi. 

Haryadi sibuk memadamkan apinya dengan tabung pemadam kebakaran, sedangkan pembantu rumah tangga menyiramkan air disekitar yang belum terbakar menggunakan gayung. 

Dengan susah payah akhirnya api pun dapat dipadamkan. 

Haryadi bernapas lega, kemudian mendatangi Rosa dan anaknya dan memeluk mereka berdua. 

Haryadi sebenarnya sudah mencintai Rosa semenjak mereka menjadi suami isteri, lebih-lebih pada anaknya. 

Haryadi membimbing Rosa dan mendudukkannya di sofa. 

“Bi….tolong ambilkan air putih untuk Ibu,” perintah Haryadi pada pembantunya.

“Injih…,” tak lama kemudian yuk Rum pembantu rumah tangga, datang dengan membawa segelas air.

“Minum dulu. Tak perlu menyakiti hatimu sendiri,” katanya pada isterinya.

“Tapi,…. hatimu masih ada di Ningrum,” kata Rosa lirih karena peristiwa kebakaran tadi.

“Kenyataannya kan sekarang aku jadi milikmu. Aku tak akan berbuat yang tidak-tidak. Percayalah padaku"

"Aku sangat mencintai keluarga kita. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuh atau menyakiti keluarga kita"

"Begitu juga aku, aku tak akan menyentuh keluarga Ningrum. Kita sudah ditakdirkan jadi suami isteri. Itu keyakinanku.”

“Jangan sebut nama Ningrum lagi dihadapanku,” Rosa benar-benar sakit kalau suaminya menyebut nama Ningrum,

“Ok…Ok…aku tak akan menyebutnya lagi. Aku sudah pendam dalam-dalam tentang dia.”

Bagaimanapun juga rasa cemburu itu tidak bisa hilang dari hati Rosa. 

Rosa tak akan membiarkan suaminya pergi sendirian. 

Sebenarnya Rosa wanita yang kuat, tapi karena dibakar rasa cemburu yang tak kunjung padam, akhirnya Rosa berubah menjadi wanita yang rapuh. 

Sedangkan Haryadi berprinsip lain.

Cinta pertama memang sulit untuk dilupakan, namun dia harus tetap berpijak pada kenyataan hidup. 

Yang dimilikinya adalah Rosa, dia akan mencintai apa saja dan siapa saja yang menjadi miliknya. 

Tidak ada artinya tenggelam dalam khayalan yang bagaikan fatamorgana.

Ningrum sudah menjadi milik orang lain, seindah apapun khayalan tentangnya, Haryadi tak akan memilikinya.

Berbeda dengan Rosa, pribadinya didominasi oleh perasaan. 

Semakin hari kesehatan Rosa semakin menurun. Haryadi merasa kasihan melihat keadaan Rosa. 

Haryadi berkali-kali meyakinkan pada Rosa tentang cintanya. 

Mencintai apa yang sudah menjadi milik orang lain adalah pekerjaan yang sia-sia. 

Haryadi tak mau melakukan pekerjaan yang sia-sia. 

Yang dilakukannya sekarang adalah bagaimana supaya keluarganya bahagia. 

Setiap akhir pekan diajaknya keluarga keluar kota, ketempat yang sejuk dan menginap di sana supaya suasana menjadi romantis. 

Rupanya apa yang dilakukan Haryadi membuahkan hasil. 

Kini Rosa berangsur-angsur kelihatan bersemangat lagi, lebih-lebih setelah diketahui bahwa Reni mau punya adik.

Berat badannya kini berangsur-angsur naik.

oOo

Kandungan Ningrum kini berusia 9 bulan, tetapi belum ada tanda-tanda melahirkan. 

Handoko dan Ningrum dihinggapi rasa tegang siang dan malam. 

Ketika malam tiba dan Ningrum tertidur disampingnya, Handoko memandangi wajah Ningrum dengan perasaan iba. 

Jarang sekali Ningrum tidur lelap seperti itu. Semenjak kandungan menginjak usia 9 bulan, hampir tiap malam Ningrum tak bisa tidur. 

Tidur telentang merasa tak enak, miring kekiri tak nyaman, miring kekanan tak enak juga, tidurnya selalu gelisah. Duduk agak lama pinggang terasa sakit. 

Betapa sengsaranya menjadi wanita ketika kandungan sudah sebesar itu. 

Ketika kandungan baru berusia 2 sampai 3 bulan Ningrum sudah sangat menderita. 

Setiap mencium bau masakan dia langsung muntah. Setiap aroma wewangian menyentuh hidungnya dia langsung muntah. 

Handoko sampai bingung dibuatnya. Ketika pulang kerja sampai di rumah dan belum mandi, Ningrum tak mau didekati karena tak tahan bau keringatnya. 

Habis mandi pun tak mau di dekati karena setiap mencium wanginya sabun mandi, langsung muntah. 

Akhirnya mereka sepakat mandi pakai sabun mandi yang tidak beraroma apa-apa, yaitu sabun batangan. 

Namun kini kandungan Ningrum sudah berusia 9 bulan, jadi mereka bisa kembali menggunakan sabun mandi seperti sedia kala.

Namun aroma bumbu yang ditumis masih saja membuat Ningrum muntah.

Saat-saat yang menegangkan itu akhirnya terpecahkan dengan teriakan Ningrum ketika ada darah yang keluar dan menetes di lantai. 

Menurut keterangan Bidan, itu adalah salah satu tanda-tanda akan melahirkan. 

Handoko buru-buru mendatangi Ningrum yang berdiri dekat kamar mandi sambil memegangi perutnya. 

“Sabar,…sabar…sayang. Ok,… aku keluarkan mobil dulu,” kata Handoko pada isterinya.

“Buk Yah… buk Yah…!”  teriak Handoko memanggil pembantu.

“Cepat kesini! Bantu Ibu untuk ke mobil, aku akan keluarkan mobil dulu!”

Semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk dibawa kerumah sakit sudah dipersiapkan Ningrum semenjak 1 bulan yang lalu, untuk berjaga di hari kelahiran. 

Rasa takut bercampur bahagia bergantian menari dibenak Ningrum. 

Akhirnya Ningrum menghibur hatinya sendiri, kenapa harus takut, semua wanita pasti mengalami dan itu adalah proses alamiah. 

Terbukti  ibunya melahirkan sampai 5 kali, toh tidak pernah mengeluh tentang sakitnya rasa melahirkan. 

Memang saat itu Ningrum belum merasakan sakit sedikitpun walau sudah ada darah yang keluar. 

Waktu itu menunjukkan jam 18.00.

Sesampainya di rumah sakit, Ningrum langsung masuk dan rawat inap di rumah sakit. 

Handoko menunggu di luar kamar. Belum ada tanda-tanda si jabang bayi mau lahir. 

Ningrum disarankan berjalan-jalan supaya pembukaan cepat bertambah.

“Kau pulang sajalah mas, kan di sini sudah banyak suster yang merawat aku,” 

Ningrum merasa kasihan jika Handoko masih terus menunggu Ningrum di luar kamar, sedangkan Ningrum belum merasakan sakit sedikitpun.

“Tidak Ningrum, aku akan tetap menunggumu di sini sekalipun sampai besok pagi"

"Besok pagi aku tidak masuk kerja. Bagaimana, apakah dia sehat-sehat?” tanya Handoko sambil mengelus perut Ningrum.

“Kata dokter normal, tidak ada kelainan apa-apa.”

“Ya sudah,…masuk kamar dan tidurlah. Kamu sudah cukup lama berjalan-jalan. Aku akan tidur di bangku panjang ini,” kata Handoko sambil memapah Ningrum masuk kamar. 

Ningrum tak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi nanti. 

Dibacanya doa, surat-surat pendek, berharap nanti dia dan bayinya selamat. 

Akhirnya Ningrum pun tertidur, lelap sekali tidurnya malam itu karena merasa capai.

Ketika subuh datang, Ningrum berniat mengambil air wudhu, betapa terkejutnya ketika seluruh badannya basah oleh air, tempat tidurpun juga basah, padahal dia tidak merasa ngompol. 

Perut Ningrum merasa mulas pingin ke kamar kecil, dan Ningrum pergi ke kamar kecil. 

Ningrum kembali ke tempat tidur lagi. Aneh, belum ada 10 menit dia pingin ke kamar kecil lagi. 

Diapun masuk kamar kecil, tapi tak ada sedikitpun kotoran yang keluar. Ningrum sekalian mandi barangkali sebentar lagi dia mau melahirkan.

Selesai mandi, cepat-cepat Ningrum menekan bel memanggil perawat.

Perawat pun datang dan Ningrum melaporkan kejadian yang menimpa dirinya. 

Perawat segera mengganti baju Ningrum dengan baju khusus untuk melahirkan yang berwarna putih. 

Setelah itu Ningrum diajak perawat untuk menuju ke kamar bersalin.

“Auugh….,” Ningrum mengeluh merasa kesakitan.

“Sakit…sakit sekali suster…”

“Ayo, tinggal sedikit lagi Bu,” kata perawat sambil terus memapah Ningrum menuju kamar bersalin.

Dengan sangat susah payah akhirnya Ningrum bisa naik ke tempat tidur khusus untuk melahirkan. 

Ningrum rasanya tak bisa menahan rasa sakit yang setiap beberapa menit sekali datang seperti menusuk-nusuk perut. 

Tiba-tiba ia teringat akan ibunya.

“Betapa sakitmu Ibu ketika melahirkan aku, ampuni aku Ibu, mungkin selama ini aku menjadi anak yang kurang berbakti padamu Ibu…aauugh,” 

Benar apa yang dikatakan temannya, bahwa rasa sakit melahirkan itu ibarat 1000 sakit jadi satu menimpanya.

“Kenapa aku tak pernah membayangkan rasa sakit yang seperti ini sebelumnya....aakh…” pikir Ningrum yang masih menahan rasa sakitnya. 

Untuk menghemat energi ningrum memanfaatkan waktu 1 atau 2 menit untuk tidur. 

Ternyata hal ini tidak membantu untuk mempercepat kelahiran, suster pun membangunkannya. 

Dia dilarang tidur lagi oleh suster. Bidan, dibantu oleh beberapa orang suster membantu kelahiran bayinya.

“Ayo ibu….…ayo..…sudah kelihatan rambutnya……ayo….semangat ibu…semangat…” kata suster untuk memberikan semangat pada Ningrum. 

Mendengar kata-kata ,”sudah kelihatan rambutnya…”, semangat Ningrum menyala. 

Dikumpulkan tenaga, dan menarik napas panjang sesuai perintah suster.

Tangannya berpegang erat pada kerangka besi tempat tidur yang ada di samping kanan dan kirinya, Ningrum pun mengejan dengan sekuat tenaga. 

Dan beberapa detik kemudian.

”Owaaaa….owaaa….,” terdengar suara tangis bayi yang melengking. 

Suasana berubah menjadi ceria, dunia tersenyum menyambut kehadirannya. 

Bertambah satu jumlah insan di dunia ini. Selamat datang insan mungil, mudah-mudahan kamu tidak merasakan pahitnya hidup seperti yang dialami Ibumu. 

Tangisan bayi itu bagaikan nyanyian sukma yang mengingatkan kita pada penciptanya. Allaahuakbar.

“Alhamdulillahi robbil alamiin….,” bisik Ningrum lirih. 

Para perawat masih membantu Ningrum untuk membersihkan dirinya. Yang lain merawat bayinya. 

“Bayi Ibu tampan sekali,” kata bidan yang menolongnya sambil mengulurkan bayi mungil itu kepada Ningrum. 

Ningrum tersenyum mencium kening bayinya. 

Ibu Ningrum dan Handoko masuk kekamar Ningrum, kemudian Handoko memperdengarkan Adzan di telinga kanan anaknya dan iqomah di telinga kirinya untuk mengajarkan kepada bayinya tentang kebesaran Allah. 

Itulah kalimat yang pertama kali masuk kedalam telinganya, supaya anaknya terbiasa dengan kalimat tauhid. 

Kemudian Handoko mendatangi Ningrum dan mencium keningnya,

"Aku pulang dulu untuk menanam ari-ari anak kita,” kata Handoko.

“Ya…hati-hati di jalan mas, biarlah aku sama Ibu di sini.”

Sampai di rumah, Handoko segera menanam ari-ari anaknya. 

Kini Handoko sibuk mencarikan nama untuk anaknya. Sebelumnya tak pernah terpikirkan tentang nama. 

Akhirnya didapatkan sebuah nama yang cukup bagus ‘Akhmad Zulhilmi’ dan nama panggilannya ‘Hilmi’.

Lengkap sudah kodrat Ningrum sebagai seorang wanita. Rasanya sangat bahagia dengan kelahiran putra pertamanya. 

Terbayar sudah penderitaan dan rasa sakit yang luar biasa, yang dialaminya ketika hendak melahirkan. 

Dipandanginya Hilmi putra pertamanya dengan penuh harapan kelak menjadi anak yang sholih. 

Ya Allah, matanya yang bening, belum terbaca adanya dosa, tubuhnya pasrah pada sekitar, terserah apa yang akan ditorehkan pada awal hidupnya. 

Lindungilah dia dari goresan tinta hidup yang menyesatkan pada jiwanya yang masih putih. 

Diciumnya kening anaknya, dan mata itu memanggilnya, “Ibu,…jangan tinggalkan aku sendiri.” 

Heran kenapa ada seorang ibu yang tega menggugurkan bayi dalam kandungan. 

Andai saja bisa ngomong dia akan berteriak minta ampun. 

Dia hadir dalam perut ibu bukan atas kemauannya, dia pun jiwa putih yang belum tentu serendah kedua orang tuanya. 

Jiwanya kelak tergantung pada lingkungan yang mengukirnya

“Tidak anakku, kita tak akan berpisah sejengkalpun, doakan Ayah dan Ibumu dikaruniai umur panjang, kita akan selalu bersama selamanya,” bisik Ningrum pada telinga bayi yang belum berdosa

oOo

Handoko merasa tubuhnya mudah lelah akhir-akhir ini. 

Apakah karena sering terjaga setiap malam menggantikan popok bayi, karena Ningrum juga sering terbangun untuk menyusui. 

Ia berniat ingin meringankan beban Ningrum.

“Sudahlah, Mas tidur saja biar aku yang mengurus Hilmi setiap malam. Mas kan kerja esok hari,” kata Ningrum ketika suaminya menggantikan popok Hilmi.

“Tidak apa-apa Ningrum, biarlah aku bantu, nanti kalau kamu terlalu capai dan kemudian sakit bagaimana?”

“Ini kan memang tanggung jawabku, sudah qodratku sebagai seorang ibu. Sudah, Mas tidur saja.”

Memang Ningrum sebenarnya sangat capai, hampir semalaman tidak tidur. 

Ningrum dan Handoko menginginkan anaknya diasuh sendiri tanpa campur tangan pembantu. 

Pembantu biarlah membantu pekerjaan fisik dirumah dan didapur. 

Tiap malam mereka bergantian menjaga Hilmi anak tersayang. Melihat pengorbanan Handoko seperti itu, rasa cinta Ningrum pada Handoko semakin besar. 

Pagi-pagi sekali Handoko harus sudah bangun dan berangkat ke Malang, untuk mengurus proyek yang ada di Malang yang memakan waktu sekitar 2-3 jam perjalanan. (bersambung)



Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (33)"