Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (29)

Jendela Hati

Ninien Supiyati

Prasojo menyerah. Kali ini Ningrum benar-benar marah. Ia tak akan memaksa Ningrum untuk makan bersama. 

Prasojo menepi dan memutar mobilnya untuk kembali mengantar Ningrum pulang.

Braakkk!!!

Ketika mobil sudah hampir memutar, tiba-tiba sebuah mobil menabrak mobil Prasojo dari belakang.

Prasojo dan Ningrum yang berada di dalam mobil, kaget bukan kepalang. Beruntung, tidak terjadi sesuatu yang fatal pada mereka.

Prasojo segera menepikan mobilnya dan turun untuk menyelesaikan tabrakan tersebut.

Alangkah kaget dirinya, ternyata yang menabraknya adalah mobil ayahnya.

 Prasojo ingin tahu, siapakah yang mengemudikan mobil ayahnya dengan ugal-ugalan itu.

Si pengemudi mobil ayahnya juga turun dari mobilnya.

Hampir copot jantung Prasojo. Ternyata pengemudinya adalah

“Lely….?” 

Prasojo tidak percaya, yang baru saja menabraknya adalah Lely.

“Aku tahu ternyata kakak sudah punya pasangan sendiri” 

”Kenapa kakak tak pernah cerita padaku?” cerocos Lely.

“Tenang Lely…kami hanya teman biasa. Aku tak akan merebut Prasojo darimu,” Ternyata Ningrum sudah disamping Lely.

Dia berusaha menenangkan Lely, sambil memegang pundaknya.

“Jangan sentuh aku!” kata Lely sambil menepis tangan Ningrum. 

“Aku tak mengenalmu, kamu telah merebut kakak dariku!" 

Seolah mengejek, Lely membersihkan bekas tangan Ningrum di bahunya.

“Pulanglah Lely…nanti aku jelaskan di rumah. Aku juga mau pulang” kata Prasojo membujuk Lely.

Dengan cemberut, Lely kembali lagi ke mobilnya. Kemarahannya ditunjukkan dengan membanting pintu mobilnya.

Mobil Lely berlalu dan mendahului mobil Prasojo yang masih ditepi jalan. 

Prasojo dan Ningrum kembali masuk ke dalam mobil untuk mengantar Ningrum pulang ke tempat kost. 

Tidak ada percakapan di dalam mobil. Ningrum memandangi jalan raya di depannya dengan pandangan yang kosong. 

Begitukah jalan hidup semua orang? Atau hanya dirinya saja yang mengalaminya? 

Mengapa orang zaman dulu rumah tangganya bahagia sekalipun mereka dijodohkan oleh orang tuanya, padahal sebelumnya mereka tak saling kenal? 

Ningrum berpikiran dalam hati andaikata dia dijodohkan oleh kedua orang tuanya dia tidak akan menolak, karena disitu terselip restu kedua orang tua yang menentukan masa depan rumah tangga mereka. 

“Ah… biarlah Allah yang menentukan. Aku mengikuti kehendakmu ya Allah….berikan yang terbaik untukku,” pikir Ningrum.

Tanpa disadari, mobil sudah berhenti di depan kos Ningrum. 

Ningrum tetap diam di tempat duduknya. Prasojo membiarkan Ningrum terbawa oleh angan-angannya sendiri.

“Kenapa berhenti?” tanya Ningrum singkat.

“Sudah sampai… atau mau pergi lagi denganku?”

“Oh… tidak,” kata Ningrum seperti terbangun dari tidurnya.

"Terimakasih… selamat jalan,” Ningrum keluar dari mobil sambil melambaikan tangan. 

Ningrum kembali masuk kamarnya  dan berganti pakaian santai. Ia ingin melanjutkan tiduran dengan santai sambil mendengarkan radio. 

Mata ini sudah kering tak ada air mata lagi yang harus dikeluarkan untuk meratapi nasibnya. 

Ningrum mematikan radionya turun dari tempat tidur dan mengambil air wudhu untuk melakukan sholat duha. 

Radio ternyata tak mampu menghiburnya, tidak bisa membuat hatinya tenang. 

Selesai sholat diraihnya Qur’an yang ada di rak paling atas. Diciumnya kemudian dibuka. 

Ningrum tidak segera membacanya. Direnunginya keberadaan Al Qur’an di tangannya. Ini bukan karangan manusia, manusia mana yang mampu menciptakan karya seindah ini.

Ningrum masih merenung… ya Allah ini adalah maha karyaMu. 

Kau zat yang ghoib, karya ini adalah karya Dzat yang ghoib. “Allahu Akbar” bisik Ningrum. 

Ningrum mulai membuka dan membacanya dengan suara pelan. Sedikit demi sedikit luka dihatinya terobati. 

Qur’an membuat siapa yang membacanya memperoleh ketenangan, disamping pahala per huruf yang dibacanya. 

Ningrum sudah bisa menguasai emosi sepenuhnya, tidak lagi mengeluh akan nasibnya, bahkan dia mensyukurinya. 

Tanpa cobaan, barangkali Ningrum tak akan dekat dengan Allah. Qur’an di tangannya itu telah lama tak dibacanya semenjak dia terbuai cinta Prasojo.

 “Terimakasih ya Allah telah engkau buka mata hatiku, bahwa semua yang ada di dunia ini adalah semu"

"Semuanya hanya sementara yang mudah menjebak manusia dalam buaian duniawi. Terimakasih engkau telah mengembalikan aku ke jalanMu,” 

Dalam hati Ningrum berjanji akan mencintai seseorang sepenuh hatinya kalau dia sudah resmi menjadi suaminya.

oOo

Di tempat yang lain dalam keluarga Prasojo, terjadi perang mulut antara Lely, Prasojo dan Ibunya.

“Dari dulu kan Ibu sudah bilang, Lely itu lebih cantik dan lebih mapan. Ibu memilihkan dia untukmu dengan segala pertimbangan,” kata Ibu.

“Pras bisa menerima saran Ibu, Pras sudah mulai menghindari Ningrum sedikit demi sedikit.”

“Lalu kenapa tadi kakak masih bersama satu mobil dengannya?” tanya Lely.

“Kakak mengajaknya jalan-jalan untuk yang terakhir kalinya.”

“Aku sudah curiga waktu kakak mengeluarkan mobil, makanya aku mengikuti kakak. Ternyata benar dugaanku pasti kakak ke rumah perempuan itu.”

“Sudahlah… yang penting sekarang kan kakak sudah bersama Lely lagi,” kata Prasojo menghibur. 

Ibunya merasa lega karena Prasojo menuruti kemauannya. Prasojo benar-benar anak yang sholeh.

“Kakak janji, mulai sekarang kakak akan bersama Lely. Urusan kakak dengan Ningrum sudah selesai.”

Ibunya masuk ke dalam dan membiarkan keduanya menyelesaikan masalahnya.

“Perlu kakak ketahui, bahwa sebenarnya aku juga sudah punya kekasih, aku meninggalkan dia karena aku juga ingin mengikuti kemauan kedua orang tuaku,” kata Lely sambil matanya berkaca kaca. 

Prasojo merasa iba melihat Lely yang senasib.

“Sudahlah Lely… jangan menangis, nasib kita sama… kita ingin berbakti pada orang tua.”

“Tapi…kenapa kakak masih bersamanya…”

“Aku janji, aku tidak akan menemui Ningrum lagi, tadi adalah pertemuan terakhirku dengannya. Kami sudah sepakat untuk berpisah dan dia setuju.”

“Ok, aku akan setia asal kakak memegang janji kakak”

“Nah…. Sekarang apa rencanamu? Kita keluar bersama? Mau belanja?”

“Tidak…aku mau tidur saja, aku ingin menenangkan diri dulu.”

Hari-hari selanjutnya Prasojo lebih sering mengantar Lely untuk shoping, beda dengan Ningrum yang tidak suka shoping. 

Ningrum hanya belanja kalau memang barang-barang itu dibutuhkan dan ada manfaatnya. 

Bagi Ningrum, jangansampai belanja hanya mengikuti hawa nafsu. 

Buat apa berbelanja jika hanya tertarik dengan promosi yang ditawarkan. Sedangkan sampai rumah, hanya akan masuk lemari penyimpanan. 

Menurut Ningrum belanja yang semacam itu mubadzir.

oOo

Suatu hari, Ningrum dan Anisa, teman sesama guru, berbelanja kain untuk keperluan adiknya Anisa.

Ningrum senang sekali berbelanja kebutuhan menjahit. Karena dia juga senang menjahit.

Ningrum tak pernah menjahitkan baju untuk kuliah, bahkan untuk mengajar. Semua baju-bajunya dijahit sendiri. 

Sesampainya di tempat kos, Ningrum

Disambut adik kosnya.

“Mbak, tadi ada tamu katanya keluarga mbak, mereka sedang keluar dan nanti akan kesini lagi.”

“Oh,…ya dik terima kasih.”

Ningrum ganti pakaian santai sambil membongkar hasil belanjanya. Dibuatnya gambar untuk model bajunya nanti. 

Digambar macam-macam model rok maupun baju. Asyik juga, rupanya Ningrum berbakat dalam mendisain model baju. 

Tak lama kemudian terdengar pintu diketok dari luar.

“Mbak Ningrum..,” terdengar suara dari luar memamemanggilnya.

"Ya masuk tidak dikunci,” jawab Ningrum dari dalam.

“Ada tamu keluarga mbak,” kata adik kost.

“Tolong disuruh masuk dulu, terimakasih ya…” jawab Ningrum.

Dia segera mengemasi koran bekas yang tersebar untuk membuat pola baju. Ningrum berganti pakaian, merapikan rambutnya lalu keluar menemui keluarganya.

Dii ruang tamu sudah hadir ayah, ibu dan adiknya. Ningrum gembira sekali melihat mereka.

Ningrum mencium tangan ayah dan ibunya, dan memberi salam pada adik dan seorang pria yang bersama ayahnya. 

“Ayah kesini hanya mampir, tadi pak Handoko rekanan kerja Ayah ada urusan bisnis dengan rekanannya yang ada di Malang,” kata ayah pada Ningrum.

“Bagaimana dengan kuliahmu Ningrum?” tanya ibunya.

“Sudah selesai Bu tinggal menunggu wisuda saja, saya sudah dinyatakan lulus,” jawab Ningrum.

"Alhamdulillah"

“Kalau wisuda kabari Ayah, supaya Ayah bisa membuat persiapan untuk ke Malang,”

“Pasti deh … Ayah dan Ibu harus hadir.” 

“Nanti saya juga bisa mengantar Bapak dan Ibu sambil menyelesaikan urusan kerja di Malang”

“Saya sering ke Malang urusan pekerjaan” sahut pria yang ada di samping ayahnya.

“Terimakasih sebelumnya,” kata Ningrum.

“Apakah pak Handoko tidak terlalu siang nanti baliknya ke Mojokerto, rupanya Ningrum masih kangen sama Bapak dan Ibunya,” kata ibu.

“Tidak Bu, saya tidak ada acara lagi, urusan saya sudah selesai.”

“Ningrum, pak Handoko ini rekan kerja Ayah. Atasan di kantor selalu menyerahkan pada Ayah dalam menangani sarana bangunan.”

“Ningrum ini anak saya yang nomor dua Pak,” kata ayahnya pada Handoko.

Handoko menganggukkan kepala pada Ningrum, Ningrum tersenyum pada Handoko. 

Handoko sedikit bergetar melihat senyuman Ningrum. 

“Cantik juga putra pak Hadi ini,” pikir Handoko.

“Kok bisa sama-sama dengan pak Handoko?” tanya Ningrum.

“Kemarin pak Hadi cerita kalau mau ke Malang menengok putranya yang kuliah di Malang, dan kebetulan juga saya ada urusan ke Malang,” jawab Handoko.

Pertemuan keluarga itu berlanjut hingga siang hari. Ningrum banyak menceritakan suka dukanya selama menyelesaikan skripsi.

Pengalamannya selama mengajar tak luput juga ia ceritakan.

Gado-gado dan es campur turut menemani sajian siang itu. Pertemuan yang sangat menggembirakan bagi keluarga Ningrum.

oOo

Hari wisuda Ningrum telah tiba. 

Di hari wisuda Prasojo, Ningrum menghadirinya sebagai teman khususnya, kali ini Ningrum wisuda tanpa didampingi teman khusus. 

Hanya ayah dan ibu saja nanti yang akan menghadiri acara wisudanya.

Ningrum sudah siap dengan pakaian kebaya panjang, make up wajah yang istimewa, melebih hari-hari biasa. Ningrum ingin tampil istimewa di hari bahagianya.

Konde modern menghiasi rambutnya dan bulu mata lentik yang dipasang di pihak salon. 

Kebaya biru muda panjang dengan bordir depan sepanjang kerah sampai kuthu baru dan lingkar pergelangan tangan, yang juga dihiasi dengan bordir serasi  pada pinggiran kebaya membuat wajah Ningrum memantulkan cahaya terang dari warna biru tadi. 

Ningrum masih menunggu kedatangan orang tuanya dari Mojokerto. Ningrum sengaja tidak memberi tahu Prasojo bahwa dia hari ini wisuda, supaya tidak timbul konflik. 

Tak lama kemudian sebuah sedan berhenti tepat di depan rumah kost. Ningrum sudah menunggu di teras dan siap untuk berangkat. 

Tanpa disangka oleh Ningrum, ternyata Handoko turun dari mobil dan membukakan pintu belakang.

Handoko mengenakan celana warna coklat, hem batik motif burung berwarna coklat dengan dasar hitam. Serasi sekali.

Handoko semakin nampak gagah dengan kaca mata hitam yang dikenakannya.

Ningrum yang belum sepenuhnya kenal dengan Handoko, tentu saja tersipu malu. Apalagi Handoko sempat melempar senyum kepadanya.

Di bangku belakang sudah menunggu ibunya. Ayahnya berada di bangku depan bersama dengan Handoko.

Dalam hati pak Hadi ingin mengambil Handoko sebagai menantu, tapi apakah Handoko bersedia menjadi menantunya? (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (29)"