Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (28)

Jendela Hati


Ninien Supiyati

Ningrum makan dengan tak banyak bicara. Dia akhirnya bisa mengalihkan pandangannya dari Haryadi. 

Ningrum sudah mulai tersenyum lagi, Prasojo senang melihatnya. Senyuman itu yang tak bisa dia peroleh dari wanita lain. 

Senyuman terindah yang dia tahu diantara senyuman-senyuman para wanita. 

Ningrum sedikit demi sedikit mulai bisa mengendalikan emosinya, sehingga Prasojo tak tahu sama sekali kejadian yang baru dialami Ningrum. 

Prasojo tak tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi pada  Ningrum. Memang sakit perut tak bisa dianggap remeh, wajar kalau sampai Ningrum menangis. 

Perkiraan Prasojo Ningrum sedang menstruasi dan tak berani mengatakan pada Prasojo. 

Tabu bagi seorang wanita menceritakan bahwa dia sedang menstruasi, kepada lawan jenisnya.

Dari bangku Ningrum duduk, nampak keluarga Setyoko telah selesai makan dan berjalan keluar dari rumah makan.

Rumah makan tempat keluarga Setyoko singgah adalah rumah makan yang sering menjadi langganan para pendatang dan wisatawan yang hendak masuk atau keluar kota Malang. 

Hari itu memang tanggal merah, keluarga Setyoko menyempatkan rekreasi keluar kota dengan tujuan Songgoriti. 

Haryadi menyempatkan diri menoleh ke belakang untuk memandang wajah Ningrum, sebelum meninggalkan ruangan. 

Ningrum tersenyum mengiyakan kepergian Haryadi. Tak ada kecurigaan sedikitpun dari Prasojo, karena dari tadi Ningrum memang sudah mulai tersenyum untuknya. 

Setelah selesai makan, Prasojo mengantarkan Ningrum pulang ke rumah kost. 

Ningrum menghamburkan dirinya ke tempat tidur. Menumpahkan isi hatinya lewat air mata. 

Di bukanya jendela kamar tidurnya, udara segar menyeruak disertai aroma bunga melati kesayangannya yang sengaja ditanam di pot dekat jendela.

Sebelah adalah tanah kosong yang ditanami pohon pepaya dan tanaman lainnya yang terawat rapi. 

Ningrum mengambil kursi dan duduk dekat jendela. Sepasang kupu-kupu berkejar-kejaran. 

“Ya Allah, jangan pisahkan sepasang kupu-kupu itu supaya tidak menderita seperti aku"

"Janganlah engkau pisahkan mereka-mereka yang sudah berpasangan, cukup aku saja yang merasakan sakit seperti ini,” kata Ningrum dalam hati.

Pandangan matanya disapukan kearah yang agak jauh, samping kanan depan.

Dua pohon pisang yang cukup besar, disekitarnya agak berdempetan beberapa pohon pisang yang tanggung, dewasa, dan yang agak kecil, selebihnya kecil kecil. 

Serumpun pohon pisang, bagaikan sebuah keluarga yang sakinah. Daunnya saling bersentuhan ketika diterpa angin, sepertinya sedang tertawa riang.

Ningrum tersenyum iri melihat kebahagiaan keluarga pisang itu.

Bisakah aku nantinya memiliki keluarga seperti pohon pisang itu? Lama sekali Ningrum duduk dekat jendela sambil mengumbar pikirannya kemana-mana.

“Tidak…aku tak boleh menyesali nasibku. Rosa memang lebih beruntung dari pada aku"

"Mudah-mudahan Rosa benar-benar mencintai Haryadi. Aku harus bangkit, aku tak boleh tenggelam dalam emosiku sendiri"

"Bangkit Ningrum…ayo bangkit. Siapa lagi yang akan menumbuhkan semangatmu kalau bukan dirimu sendiri?"

"Kasihanilah dirimu sendiri"

"Ayo Ningrum bangkit… ambil air wudhu….bersujudlah padaNya"

"Berdoalah yang baik-baik saja, sekalipun dia itu lawanmu, sekalipun dia pernah menyakiti hatimu"

"Doakanlah mereka, mohonkan ampun atas  dosa-dosanya, berikanlah kesehatan dan rizki yang barokah, panjangkanlah umurnya"

"Pada hakekatnya semua doa-doa itu kembalinya juga kepada kita,” Ningrum berusaha sekuat tenaga memulihkan sendiri semangatnya.

Ia tak ingin terjerembab kedalam jurang kesedihan. 

Ningrum berdiri dan mengambil air wudhu kemudian membaca Al Qur’an.

“Ya Allah berikanlah aku kekuatan. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolonganMu ya Allah. Hamba membutuhkan bantuanMu” 

Ningrum tak henti hentinya berdzikir menyebut asma Allah mohon kekuatan, sampai akhirnya dia tertidur pulas.

Kini Ningrum sudah mulai bisa mengendalikan perasaannya. 

Bukan hanya Haryadi saja tumpuan kebahagiaan. Allah adalah pusat tumpuan segala apa yang kita inginkan. 

Allah adalah pusat tumpuan harapan segala harapan. Hanya dengan mengingat Allah setiap saat, kita akan merasakan kebahagiaan yang tak ternilai.

oOo

Hari-hari berlalu, menggilas apapun yang sudah terjadi. Dia tak akan memberi kesempatan untuk kembali.

Ningrum sudah menyelesaikan skripsinya dan sudah dinyatakan lulus. 

Namun Ningrum masih betah tinggal di Malang dan berniat mencari pekerjaan di Malang. 

Ningrum senang dengan suasana di Malang yang sejuk dan damai. Ningrum sudah jarang pergi ke kampus.

Kegiatan Ningrum sekarang mengajar di sekolah swasta, sambil menunggu panggilan pekerjaan.

Ningrum kini banyak terlibat dengan pekerjaannya sebagai pengajar pada Sekolah Menengah Atas Swasta.

Semakin hari hubungannya dengan Prasojo semakin renggang. Sudah dua minggu ini Prasojo tak pernah muncul ke tempat kostnya. 

Ningrum tidak begitu memikirkan mengapa Prasojo sekarang jarang datang, kesibukannya sebagai pendidik lebih utama baginya. 

Baginya, mengajar adalah suatu seni.

Ketika Ningrum hadir di kelas dan duduk di meja guru, semua kepedihan entah itu tentang Haryadi, atau tentang Prasojo semuanya hilang. 

Hatinya tersentuh dengan wajah-wajah polos para siswa yang seakan mengatakan, :”Ditanganmulah wahai Ibu, masa depan kami.”

Kini Ningrum semakin sibuk dengan kegiatannya sebagai pengajar. 

Dia tak ambil pusing apakah Prasojo akan datang atau tidak, karena makin hari kehadiran Prasojo semakin jarang.

Sedangkan bagi Prasojo, ini adalah cara  meninggalkan Ningrum sedikit demi sedikit. 

Prasojo sudah memutuskan untuk memenuhi keinginan kedua orang tuanya, walaupun sebenarnya Prasojo merasa berat untuk meninggalkan Ningrum. 

Pedih memang, Prasojo menggunakan logikanya. Dia tak boleh mengikuti perasaannya. 

Orang tua adalah yang merawatnya sejak kecil. Hampir tiap malam ayah dan ibunya tak tidur ketika dia bayi. 

Yang paling berat bagi Prasojo adalah bagaimana menyampaikan ini pada Ningrum. 

“Ningrum…. Jadi tidak kita jalan-jalan,” tanya Nisa teman Ningrum. 

Nisa adalah rekan mengajar Ningrum. Nisa belum menikah. Nisa juga mengajar di sekolah yang sama dengan Ningrum. 

Ningrum terkejut karena dia lupa kalau tadi siang janjian dengan Nisa, untuk mengantarnya jalan-jalan ke toko buku. 

Ningrum segera ganti pakaian dan berdandan ala kadarnya, kemudian berangkat bersama Nisa. 

Sore itu Ningrum dan Nisa pergi berdua, naik angkutan umum menuju toko buku yang cukup terkenal di Malang itu. 

Ningrum sedang memilih-milih buku, untuk kepentingan buku pegangan dalam mengajar, demikian juga Nisa. 

Tanpa sengaja pandangan ningrum tertuju pada sepasang insan yang juga sedang asyik memilih buku. 

Ningrum segera menyembunyikan dirinya di balik rak buku, sambil terus mengawasi mereka. 

Nisa tak tahu apa yang sedang dilakukan Ningrum, karena ia sedang asyik memilih buku. 

Wanita tersebut cantik dan nampak manja sekali. 

Sepertinya Ningrum pernah kenal dengan wajah wanita itu … tapi dimana ya? Kapan? Kalau si prianya sudah tak asing lagi bagi Ningrum. 

Tapi wanitanya itu… Ningrum memutar otaknya mengingat-ingat siapa wanita itu. Oh,…. ingat dia sekarang, wanita itu adalah Lely sepupu Prasojo!

Sadarlah Ningrum sekarang, mengapa Prasojo tak pernah datang ke rumah kost lagi. 

Ningrum nampak menahan amarah. Tapi apalah gunanya. 

Dari awal Ningrum sudah menyadari keadaan ini, ketika Lely menghadiri acara wisuda Prasojo. 

Yang kedua, ketika Ningrum dikenalkan dengan ibunya di rumah Prasojo, tak ada respon yang positif dari ibunya. 

Ibunya Prasojo sepertinya dingin sekali menerima uluran tangannya. Nampak keberatan menerima kehadirannya. 

Ningrum sebenarnya sudah siap mental dengan keadaan ini. 

Hanya dengan Haryadi Ningrum yang sama sekali belum siap untuk ditinggalkan, walaupun dia sudah bersama Prasojo. 

Tapi semua skenario itu milik Allah… itu yang benar-benar Ningrum sadari. 

Tak lama Ningrum dan Nisa berada di toko buku itu. Mereka meninggalkan toko buku setelah mendapatkan buku yang diperlukannya

Rupanya Prasojo tak tahu kehadiran Ningrum disitu. 

Terjawab sudah pertanyaan Ningrum mengapa Prasojo jarang datang ke rumah. 

oOo

Minggu pagi itu Ningrum agak malas. Dia lebih memilih bermalas-malasan sambil mendengarkan musik yang disiarkan oleh radio amatir. 

Tak lama kemudian ada adik kostnya datang setelah mengetuk pintu.

“Mbak ada tamu mencari mbak,” kata adik kost itu.

“Siapa?” tanya Ningrum

“Aku tak tahu mbak, aku belum pernah melihatnya,” kata adik kost.

 “Tolong suruh dia masuk dulu. Terimakasih ya.”

“Sama-sama mbak.”

Ningrum ganti baju dan berdandan sekenanya untuk menemui tamunya.

“Assalamualaikum,” sapa tamu itu

“Waalaikum salam… oh kamu. Dengan siapa kesini? Kok sendirian, mana Lely?” tanya Ningrum beruntun.

“Kenapa harus sama Lely? Ada acara tidak?” jawab Prasojo.

“Tidak ada, aku hanya mendengarkan radio saja di rumah.”

“Keluar yuk, ada yang ingin aku omongin tapi tidak enak kalau dirumah.”

“Kemana?”

“Kerumah makan yang biasa kita singgah.”

“Kau kelihatan lesu…kenapa? Sakit?” tanya Prasojo.

“Tidak…aku agak malas sih sebenarnya”

"Aku sudah tahu apa yang mungkin bakal kamu bicarakan. Disini sajalah tidak usah keluar.” jawab Ningrum agak panjang.

Prasojo menarik napas dan menghembuskannya pelan.

“Kita keluar saja…please. Tidak enak sama tamu-tamu lainnya nanti. Kan ini hari Minggu, banyak tamu mungkin,” kata Prasojo memohon. 

Dengan terpaksa Ningrum memenuhi permintaan Prasojo untuk keluar. 

Prasojo mengendarai mobilnya pelan-pelan, sambil menikmati udara Minggu pagi yang segar. 

Cuaca memang cerah, puncak gunung Arjuno kelihatan jelas sekali dari kota Malang. 

“Maafkan aku, selama ini aku agak jarang mengunjungi kamu, aku sibuk dengan pekerjaanku,” kata Prasojo.

“Sibuk dengan pekerjaan atau dengan lainnya?”

“Sibuk dengan pekerjaan Ningrum. lainnya itu siapa? Hanya kamu Ningrum…” Prasojo menghentikan ucapannya.

Prasojo punya firasat Ningrum sudah tahu apa yang bakal disampaikannya.

“Hanya aku…? Sudahlah Pras kamu tidak usah berbelit belit, aku sudah tahu kok,” kata Ningrum.

“Maafkan aku Ningrum…. Orang tuaku menjodohkanku dengan Lely….”

“Ya aku sudah tahu..” 

“Semalam aku melihatmu belanja buku dengannya, dan kalian kelihatan mesra sekali” ujar Ningrum tanpa melihat sedikitpun ke arah Prasojo.

“Tapi Ningrum…”

“Tidak ada tetapi, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, dia begitu manja padamu dan kau kelihatan menyayangi dia. Untung kita belum menikah.”

“Maafkan aku Ningrum… aku harus mengikuti kemauan Ibuku. Tapi cintaku tetap padamu sekalipun aku tak bisa memilikimu,” Ningrum tak menjawab. 

“Kita pulang saja! Aku tidak lapar. Dari tadi aku hanya ingin istirahat. Sudah cukup kan apa yang akan kamu omongkan" kata Ningrum.

“Kita makan saja dulu supaya kamu nanti tidak repot masak di tempat kost.”

“Aku sudah bilang, aku tidak lapar! Pulang saja. Kamu akan merayakan perpisahan kita kan?”

“Tidak Ningrum, aku benar-benar menyayangi kamu…aku tidak punya pikiran sejauh itu…. Aku hanya ingin berterus terang saja padamu.”

“Pulang! Aku minta pu…lang…,” kata Ningrum yang air matanya mulai meleleh. 

Kenapa keberuntungan tidak berpihak padanya. 

Begitukah semua laki laki? Sedih….sedih sekali memang. Luka yang kemarin, karena Haryadi sudah menikah, belum sembuh, sekarang ada luka baru.

Prasojo akan meninggalkannya dan akan menikah dengan pilihan orang tuanya.

Prasojo tak tahan melihat Ningrum menangis, dia merasa iba, kasihan gadis ini.

Tapi Prasojo juga tak bisa menolak perintah orang tuanya untuk menikah dengan Lely. 

Ningrum sebenarnya sudah mulai mencintai Prasojo semenjak Prasojo dengan telaten mengantar jemput Ningrum kuliah. 

Bahkan dia Ningrum sudah bisa melupakan Haryadi waktu itu. (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (28)"