Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (30)

jendela hati


Ninien Supiyati

Handoko turut mengantarkan keluarga Ningrum sampai ke kampus, tapi Handoko tidak ikut menghadiri acara wisuda Ningrum. Handoko ada urusan kerja dengan rekanannya.

“Nanti dijemput jam berapa ?” tanya Handoko.

“Wah…kurang tahu nanti acara selesai jam berapa,” jawab Ningrum.

“Ya sudah, nanti akan saya tunggu sampai acara selesai.”

oOo

Handoko kini lebih sering ke Malang. Awalnya hanya mengantar titipan dari orang tua Ningrum. 

Handoko selalu mampir ke rumah orang tua Ningrum sebelum ke Malang, mungkin ada yang mau dititpkan. 

Handoko melakukan hal tersebut, karena dirinya selalu ingin bertemu Ningrum. 

Dia sengaja membawa barang-barang titipan orang tua Ningrum, agar ada alasan untuk bertemu Ningrum.

Suatu hari Ningrum menerima sepucuk surat dari ayahnya. 

Isi surat itu merupakan permintaan ayahnya.

“Ayah tahu sifat nak Handoko, orangnya penyabar dan suka menolong orang lain"

"Ayah pernah menanyakan apakah nak Handoko sudah mempunyai calon? Dia menjawab ‘belum’"

"Ayah sangat mengharap mudah-mudahan kalian berjodoh. Nak Handoko sendiri pernah menanyakan pada Ayah apakah Ningrum sudah mempunyai calon? Ayah jawab, ‘Setahu ayah belum.’ "

"Ayah tahu, karena selama ini belum pernah pernah ada laki-laki yang menanyakan kamu"

"Pikirkanlah permintaan Ayah” ujar ayahnya seperti tertulis dalam surat

Ningrum merenung. Sepertinya memang Handoko menaruh hati padanya, tapi Ningrum tidak mencintainya. 

Hatinya serasa beku untuk menghadapi cinta seorang laki-laki. 

Ningrum sudah membuang jauh-jauh tentang Haryadi dan Prasojo. Sekarang akan hadir Handoko. 

Tapi kali ini Handoko datang dengan restu kedua orang tuanya, yaitu ayah dan ibu Ningrum. 

Jangan-jangan nanti ayah dan Ibu Handoko seperti orang tua Prasojo, sudah punya calon sendiri untuknya. Kekhawatiran itu selalu menghantui Ningrum

“Tok..tok…tok. mbak ada tamu,” kata adik kost dari luar.

“Ya… tolong disuruh duduk dulu,” Ningrum berganti pakaian kemudian keluar ke ruang tamu.

Dilihatnya Handoko sudah menunggu di ruang tamu. 

Handoko memang kelihatan selalu modis dalam setiap berpakaian, selalu serasi. 

Kali ini Handoko mengenakan baju santai kaos putih, warna kesukaannya, celana hitam dan kaca mata hitam terselip di saku kaos. 

“Tumben pagi-pagi sudah datang, tidak mampir ke teman kerja?” tanya Ningrum. 

“Tidak, tadi aku sengaja kesini ingin mengajakmu jalan-jalan. Ini kan hari Sabtu, kamu tidak mengajar kan?” tanya Handoko. 

Ningrum diam sejenak. Dia terngiang-ngiang kembali pesan ayahnya.

“Baiklah. Aku akan coba untuk mengenal pria ini lebih jauh” pikirnya.

“Hm…,” Ningrum masih merenung.

“Bagaimana? Kamu ada waktu?” tanya Handoko lagi

“Baiklah” kata Ningrum.

“Nah,… begitu. Tak sia-sia perjalananku dari Mojokerto ke Malang,” kata Handoko.

“Tunggu ya… aku ganti baju dulu,” kata Ningrum sambil beranjak dari tempat duduknya. 

Tak lama kemudian, Ningrum sudah keluar dengan pakaian rok panjang warna hijau gelap.

Ia memakai blus warna kekuningan, rambut disisir menyamping dengan asesoris jepit rambut dengan tekstur seperti berlian.

Bedak tipis dengan lipstik merah tipis yang menghias bibirnya yang mungil. Cantik sekali bagai putri salju. 

Untuk beberapa saat Handoko terkesima.

“Ayo.. menunggu apa lagi?” tanya Ningrum.

“Oh,… ayo.,” Handoko terkejut dengan sapaan Ningrum.

Sesekali Handoko melirik wajah Ningrum lewat spion mobil. 

“Cantik sekali memang,” pikir Handoko. 

Handoko mengenakan kaca mata hitamnya supaya tidak silau. Diam-diam Ningrum juga sering melirik Handoko.

Dia adalah lelaki yang modis, badannya tegap. Tutur katanya juga sopan

“Saya akan pertimbangkan permintaan ayah,” kata Ningrum dalam hati. 

Ningrum hanya mengagumi saja ketampanan Handoko. Sepertinya belum ada getaran cinta di hatinya. 

Demi kedua orang tuanya, Ningrum akan mencobanya. 

Kata orang tua, cinta itu datang setelah menikah. 

Menurut cerita ayah dan ibunya, sebelum jadi suami isteri mereka juga tidak saling kenal. 

Toh mereka rukun-rukun saja sampai sekarang.

“Kemana tujuan kita?” tanya Handoko.

“Terserah kamulah…aku ngikut saja,” jawab Ningrum.

“Kita ke Selecta…mencari udara sejuk sambil makan Bakso… bagaimana?”

“Setuju…” jawab Ningrum spontan.

Mereka melaju ke Selecta. Sepanjang perjalanan, mereka membicarakan keluarga masing-masing. Tentang ayah, ibu dan adik-adik.

“Ibuku sebenarnya mengharapkan aku segera menikah, beliau ingin segera menimang cucu,” kata Handoko.

“Kenapa kamu tidak segera menikah, kan dari segi ekonomi sudah mapan,” tanya Ningrum.

“Belum ada yang naksir aku.”

“Tidak mungkin kalau pria sepertimu tidak ada yang naksir.”

“Bener,… aku tidak bohong.”

Mereka menghabiskan waktunya sehari itu di Selecta, sambil menikmati pemandangan yang alami. Dan sajian menu makanan yang beragam.

Sejak itu Handoko sering mengajak Ningrum pergi berjalan-jalan setiap ada hari libur atau hari Minggu. 

Hubungan mereka semakin akrab. Ningrum berharap akan mencintai Handoko. 

Ternyata rasa cinta tak bisa dipaksakan. 

Cinta adalah anugerah Allah. Rasa cinta Ningrum sudah didominasi oleh cinta pertamanya. 

Cinta kedua, ketiga dan seterusnya tak lebih dari cinta pada sahabat, yang lebih menjurus pada rasa sayang. 

Tapi Ningrum tak bisa terus menerus meratapi cinta pertama. 

Dia tak mungkin memiliki cinta pertama sekalipun semua yang tak mungkin adalah mungkin bagi Allah. 

Cinta yang sejati adalah cinta Allah dan Rosul pada umatnya. 

“Mengapa aku tak membalas cinta sejati ini, cinta ini jauh lebih tinggi derajadnya dari pada cinta pertamaku,” pikir Ningrum. 

Apa yang akan terjadi serahkan saja pada Allah. 

Selama perjalanan hidup ini berpegang pada Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, manusia tak akan terjerumus pada kenistaan.

Ningrum selalu ingat pada pesan orang tuanya melalui surat, beberapa minggu yang lalu. 

Handoko orangnya baik, penuh kasih sayang dan penyabar. Dari sisi ekonomi sudah mapan dan juga mendapat restu dari orang tua. 

Tak terasa hubungan mereka sudah berjalan selama setahun. 

Handoko menyampaikan niatnya pada Ningrum untuk mengenalkan pada kedua orang tuanya. 

Kedua orang tua Handoko tinggal di rumah Handoko di Mojokerto, Handoko merupakan anak tunggal. 

Kesuksesan Handoko diperoleh dari keuletannya dalam bekerja. 

SebelumnyaHandoko hanyalah pegawai biasa sebagai juru ketik pada perusahaan milik pemborong yang sukses di kota asalnya. 

Dikota asalnya itu Handoko tidak mau jadi pegawai rendahan terus menerus. 

Prinsip kerjanya adalah jujur dan menepati janji. 

Setiap ada pekerjaan yang diberikan padanya segera diselesaikan supaya tidak menumpuk. 

Akhirnya Handoko pun menjadi orang kepercayaan pimpinannya, setiap ada pertemuan Handoko ditunjuk untuk mewakili pimpinan. 

Handoko juga merupakan tangan kanan dari pimpinan perusahaan.

Karena kecerdasan dan keuletan Handoko maka perusahaan mencapai kemajuan yang pesat. 

Hingga akhirnya dia diserahi oleh pimpinan untuk menangani anak perusahaan di luar kota, yaitu di Mojokerto.

Makin lama perusahaan semakin maju semenjak dipegang oleh Handoko, bahkan sekarang mengembangkan sayap sampai ke Malang. 

Akhirnya pimpinan membelikan rumah di Mojokerto untuk Handoko, kemudian kedua orang tuanya diboyong ke Mojokerto. 

Kedekatannya dengan orang tua Ningrum memang sudah ada sejak masih di kampung asalnya. 

Pak Hadi ayah Ningrum menangani bagian sarana pada instansi tempat dia bekerja, dan selalu berhubungan dengan Handoko. 

Kemudian pak Hadi dipromosikan ke Mojokerto. 

Setahun kemudian perusahaan tempat Handoko bekerja membuka cabang di Mojokerto dan Handoko diserahi untuk menangani.

Ningrum tidak keberatan untuk dikenalkan kepada orang tua Handoko di Mojokerto. 

“Minggu pagi aku jemput ke Malang, kuharap kamu tidak keberatan,” kata Handoko ketika mereka berdua sedang makan malam di rumah makan yang sederhana. 

Berbeda dengan Prasojo yang lebih suka mengunjungi tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh orang-orang yang banyak duit. 

Handoko, meskipun bisnisnya maju dia lebih menyukai kesederhanaan. 

“Baik aku tunggu hari Minggu, sekalian aku juga pulang. Sudah lama aku tak pulang,” jawab Ningrum.

Hari Minggu yang dinantikan itupun datang. Ningrum dalam perjalanan ke Mojokerto bersama Handoko. 

Mereka bercanda sepanjang perjalanan, Ningrum merasa sudah akrab sekali dengan Handoko. 

Tibalah mereka di rumah Handoko. Rumahnya tidak terlalu mewah seperti rumah Prasojo.

Rumahnya sederhana, ruang tamunya seperti ruang tamu pada umumnya, ukurannya tidak terlalu besar.

Meja dan kursi tamu di tengah ruangan dan di sudut ruangan ada TV. Tidak ada perabotan mewah dalam ruang tamu, selain TV. 

Ningrum dipersilahkan masuk oleh Handoko dan Ningrum menempati kursi tunggal dekat pintu masuk. 

Tak lama kemudian seorang pembantu rumah tangga keluar dengan membawa nampan berisi kue kering dalam toples dan minuman dingin es jeruk.

Berikutnya Handoko beserta ayah dan ibunya keluar, dengan ramah ibunya menyapa Ningrum. 

“Ibu, Ayah, ini Ningrum teman dekat Handoko,” handoko mengenalkan Ayah dan Ibunya kepada Ningrum.

“Ningrum,” kata Ningrum sambil mencium tangan ibunya Handoko. 

“Saya Ibunya Han, dan ini Ayah Han,” kata ibunya Handoko pada Ningrum. 

Han adalah panggilan Handoko di keluarganya.

“Beginilah keadaan kami nak Ningrum"

"Rumahnya sempit, kalau di kampung rumah dan halamannya cukup luas serta udara cukup sejuk" 

"Beda dengan Mojokerto yang panas ini"

"Tapi bagaimanapun juga kami mensyukurinya, karena semua ini adalah anugerah Allah,” kata ibunya Handoko.

“Tidak apa-apa Bu yang penting kumpul dalam satu keluarga,” jawab Ningrum.

“Han,.. ajak makan dulu nak Ningrum, perjalanan jauh tentunya lapar,” kata ibunya pada Handoko.

Kebiasaan orang dari desa yang selalu ramah pada tamunya dan selalu menyuguhnya dengan makan. 

Ningrum, Handoko dan kedua orang tuanya akhirnya makan siang bersama.

“Ini semuanya Ibu masak sendiri. Ibu masakkan kare ayam kesukaan Handoko"

"Ini sambal bajak, ini ada juga sayur asem dan empal. Ayo nak Ningrum di cicipi semua,” kata ibunya dengan ramah.

Ningrum merasa tersanjung, baru kali ini Ningrum serasa disambut berlebihan. 

Berbeda dengan orang tua Prasojo yang sedikit angkuh, ini dimaklumi oleh Ningrum, karena memang keluarga Prasojo dari kalangan orang berada.

Selesai makan mereka kembali keruang tamu, ibu dan ayah Handoko menemani ngobrol tapi tidak lama. 

Ibu dan ayahnya istirahat tidur siang. Handoko dan Ningrum berdua saja di ruang tamu.

“Bagaimana pendapatmu tentang kedua orang tuaku?"

"Apakah kelak kalau kamu menjadi isteriku bersedia menemani beliau juga?” tanya Handoko.

“Ayah dan Ibumu sangat baik, aku merasa terharu dengan penyambutan kedatanganku"

"Sampai-sampai beliau masak sendiri demi kesenanganmu,” kata Ningrum.

“Andaikata kau ikut merawatnya kelak bagaimana, apakah kamu bersedia?”

“Kalau sudah jadi suami isteri, orang tuamu kan juga orang tuaku.”

“Ningrum bagaimana kalau aku minta orang tuaku untuk melamarmu?”

Ningrum tersentak dengan pertanyaan Handoko. 

Dia tidak mengira, Handoko bakal menanyakan hal tersebut. 

Yang ia tahu, hari ini dia bersilaturahmi dengan kedua orang tua Handoko. 

“Hmm…” Ningrum diam sejenak. 

Dia tidak tahu harus berkata apa. 

“Tidak…..” 

“Kok tidak…?”

“Tidak keberatan maksudku…” jawab Ningrum tersipu.

“Ada-ada saja Bu guru ini.”

Setelah Shalat Dhuhur, Handoko
mengantar Ningrum pulang.

Mojokerto kotanya tidak terlalu besar,  untuk menuju rumah Ningrum hanya butuh waktu beberapa menit saja. 

Orang tua Ningrum bahagia melihat kedatangan Ningrum berdua dengan Handoko. 

Di kesempatan itu, Handoko mengutarakan keinginannya pada Ayah dan Ibu Ningrum, untuk melamar Ningrum.

Bila Ayah dan Ibu Ningrum mengijinkan, ia akan mengajak kedua orang tuanya untuk melamarnya.

“Tergantung Ningrum saja bagaimana,” jawab ayah Ningrum. 

Ningrum hanya tersenyum, tidak menjawab. 

Ayahnya mengartikan senyuman itu tanda bahwa Ningrum mau.

oOo

Dua bulan kemudian kedua orang tua Handoko mendatangi rumah orang tua Ningrum untuk melamarkan Handoko. 

Tanggal pernikahan ditetapkan saat itu juga. 

Pernikahan akan dilaksanakan dua bulan yang akan datang. 

oOo

Hari bahagiapun tiba. 

Ningrum kini telah resmi menyandang predikat sebagai Nyonya Handoko.

Acara akad nikah dilaksanakan pagi tadi di rumah keluarga Ningrum.

Resepsi pernikahannya diadakan saat itu juga, setelah akad nikah. 

Resepsi dilaksanakan di rumah Ningrum, tamu-tamu dari dalam dan luar kota berdatangan. 

Ningrum mengundang teman-teman dekatnya termasuk teman-teman guru di Malang. 

Handoko juga mengundang rekanan kerjanya baik dari dalam kota maupun dari Malang. 

Satu-persatu tamu-tamu menyalami mempelai berdua, baik dari teman Handoko maupun dari teman Ningrum, dan teman-teman ayah Ningrum. 

Sampai suatu ketika, datang seorang tamu teman Handoko. 

Ningrum tak asing lagi dengan wajah tamu tersebut. 

Ningrum berusaha menyembunyikan kekagetannya, namun tamu tersebut tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya.(bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (30)"