Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Layang-layang Ditelan Badai (35)

Jendela Hati


Ninien Supiyati

“Aku tak mau berpisah darimu…” katanya sambil terisak. 

Air mata Ningrum membasahi dada Handoko. Tak tega rasanya Handoko untuk menyampaikan maksudnya. 

Sebenarnya Handoko ingin menyampaikan pada Ningrum supaya Ningrum menikah saja dengan Prasojo sepeninggalnya nanti. 

Tapi kalimat itu belum selesai Ningrum sudah histeris. Handoko berniat memendam saja niatnya itu sampai akhir hayatnya. Dia hanya berdoa semoga mereka bisa berjodoh.

“Manusia boleh merencanakan segala sesuatu, tapi keputusan ada pada Allah,” kata Handoko untuk menenangkan hati Ningrum.

“Tapi kamu harus tetap semangat Mas, demi aku dan anak kita. Apakah Mas memikirkan sesuatu, atau ada yang membebani hati Mas?” Handoko tidak menjawab.

“Katakan, aku berharap ini bisa meringankan penderitaan Mas dan membuat Mas menjadi lebih baik. Aku siap mendengarkannya.”

Handoko diam, tidak sepatah kata pun terucap, wajahnya nampak sedih.

“Mas apakah selama ini ada tingkah lakuku yang menyakitkan hati Mas? Maafkan aku Mas.”

“Tidak Ningrum, selama ini kamu sudah sangat baik padaku. Justru aku sedih karena kini aku selalu menjadi bebanmu. Aku tak bisa membahagiakan kamu lagi.”

“Tidak, aku tidak merasa terbebani dengan keadaanmu. Ini sudah kewajibanku. Hari-hari yang lalu sudah amat banyak yang kau berikan padaku. Kini giliranku untuk membalas semua kebaikanmu.”

“Ningrum maukah kamu memenuhi permintaanku?”

“Selama aku masih mampu akan kuusahakan.”

“Sepeninggalku nanti, bersediakah kamu menikah dengan Prasojo?” Handoko nekad mengatakannya, supaya tidak ada ganjalan dalam hatinya.

Ningrum diam tidak menjawab. Menikah dengan Prasojo? Keluarganya yang begitu arogan? 

“Tidak! Aku tak mau menikah dengan Prasojo, keluarganya materialis,” pikir Ningrum.

“Bagaimana? Prasojo sangat mencintaimu,” kata Handoko. 

Ningrum sebenarnya tidak begitu cinta pada Prasojo. Cintanya pada Prasojo hanyalah pelarian saja, karena Haryadi yang benar-benar dicintainya telah menikah dengan Rosa. 

Sedangkan dengan Handoko cintanya tumbuh setelah pernikahan. Handokolah orang yang telah memberikan kebahagiaan yang belum pernah diberikan oleh siapapun. 

Kebahagiaan sebagai suami isteri. Dan cinta itu sangat tertanam dalam…dalam sekali di relung hatinya, melebihi dalamnya cinta pertama.

“Maaf, aku tidak bisa,” kata Ningrum sambil menggelengkan kepalanya. 

“Cintaku hanya untukmu seorang Mas, aku tak bisa…tak bisa…” kata Ningrum sambil bangkit dari tidurnya dan duduk dengan menatap wajah Handoko. 

“Karena itu…sembuhlah Mas…semangat…ayo…semangat…sembuh Mas…” kata Ningrum sambil terisak menahan tangisnya. 

“Aku tak mau menikah dengan siapapun…sembuh…demi aku dan anak kita…” lanjutnya sambil masih terus menangis.

“Sembuh ya Mas….sembuh…jangan katakan yang bukan-bukan….”. 

Handoko diam saja. Hatinya merasa terharu, betapa besar cinta isterinya. Akhirnya Handoko pun bersemangat lagi. 

“Semangat! Aku tak boleh menyerah pada keadaan. Aku tak boleh tenggelam dengan penderitaan Prasojo yang sangat mencintai isteriku" 

"Aku harus bangkit. Mereka memang bukan jodoh, mengapa aku sesedih ini memikirkan nasib Prasojo. Apakah ini yang membuat aku sakit?” pikir Handoko. 

Handoko dengan bersusah payah juga bangkit dari tidurnya.

“Maafkan aku Ningrum,… maafkan Mas…Mas berjanji akan berusaha sembuh dengan sekuat tenaga…demi kamu dan anak-anak" 

"Terima kasih kamu telah memotivasi aku.” Handoko mencium kening isterinya. 

“Ya Allah berikanlah kesembuhan padaku…Ibu ampuni aku…” tiba tiba Handoko ingin pulang dan bersujud dikaki ibunya.

“Besok aku ingin pulang, bisakah kamu mengantarku pulang. Aku ingin ketemu Ibu,”

“Baiklah, besok kita pulang, aku akan cari sopir. Mas istirahat di kampung saja, minggu depan anak-anak SMA ulangan umum, setelah itu libur panjang" 

"Kita berlibur di rumah Ibu di kampung saja,” usul Ningrum. 

Handoko menyetujui usulan Ningrum.

oOo

Selama masa liburan di kampung, kesehatan Handoko berangsur-angsur pulih. Handoko sudah tidak duduk di kursi roda lagi. 

Dia mulai berjalan menggunakan kruk ketiak, kakinya yang sebelah kiri masih sulit untuk berjalan. 

“Semangat terus Handoko, kamu pasti sembuh,” pikirnya, untuk menyemangati dirinya sendiri. 

Setiap habis maghrib Handoko mengikuti pengajian di masjid yang tidak jauh dari rumah. Ningrum bahagia melihat Handoko mulai bersemangat lagi. 

Untuk sementara, Handoko tinggal di rumah orang tuanya di kampung. 

Ningrum kembali ke Mojokerto untuk mengajar, sedangkan anak-anak dan buk Yah ikut tinggal di kampung. Ningrum menghuni rumah Mojokerto sendirian. Setiap hari Sabtu Ningrum pulang ke kampung.

Beberapa bulan kemudian kesehatan Handoko sudah pulih kembali. Handoko, anak-anak dan buk Yah kembali ke Mojokerto. 

Kini Handoko hanya 2 kali dalam seminggu pulang pergi ke Malang. Proyek yang di pegangnya diserahkan kepada temannya, dia hanya membantu saja. 

Kalau ada waktu dia menyempatkan diri mengunjungi Prasojo. Prasojo masih tetap seperti dulu, belum ada pilihan untuk pendamping hidupnya. 

Orang tuanya berharap Prasojo dapat jodoh yang setara dalam hal materi. Prasojo menyerahkan jodohnya pada orang tuanya. 

Baginya siapapun pilihan orang tuanya tak mungkin menggeser kedudukan Ningrum dalam hatinya. Bagi Prasojo menikah hanya formalitas saja. 

Kini Handoko hanya bisa mendoakan saja jodoh untuk Prasojo, dia tidak lagi berfikir tentang hubungan Prasojo dengan Ningrum. Ningrum sudah mantap cintanya pada Handoko. 

oOo

Haryadi kini sangat kerepotan mengasuh kedua anaknya, Rosa sudah lama dirawat di rumah sakit.

 Kedua anaknya tidak mau berpisah dari Haryadi. Rosa menderita kangker serviks, kandungannya telah diangkat, tapi sel-sel kanker yang ganas sudah menjalar ke bagian organ tubuh lainnya. 

“Yuk Rum..! Yuk..!” panggil Haryadi pada pembantunya.

“Ayo…Reni…Rina, sama yuk Rum dulu ya. Ayah mau ke kantor,” kata Haryadi pada kedua anaknya yang masih balita.

“Yuk, tolong jaga anak-anak”

“Ya ndoro. Ayo ning Reni..ning Rina.,” kata yuk Rum sambil mengulurkan tangannya.

“Nggak mau…nggak mau. Ikut ayah…ikut Ibu…” kata Reni, si sulung yang berusia 4 tahun. 

Ia terus berpegang erat pada paha ayahnya, sedang Haryadi menggendong Rina yang baru berumur 1 tahun. Rina pun tak mau lepas dari pelukan ayahnya. 

Tumben anak-anak tidak bisa ditinggal seperti ini. Biasanya selama Rosa di rumah sakit mereka juga sama yuk Rum. 

“Reni, ayah hanya sebentar, nanti juga ayah pulang.”

“Reni pingin sama Ibu…. Reni kangen sama Ibu….”

“Iyyaa…nanti ya sayang…nanti kita ajak Ibu pulang.”

Akhirnya karena rayuan yuk Rum untuk mengajak main umpet-umpetan mereka pun mau ditinggal pergi ayahnya.

Haryadi sebenarnya telah membawa Rosa berobat ke luar negeri, tapi tidak membuahkan hasil. Kondisi fisik Rosa sebelumnya memang sangat lemah. 

Pada awalnya rasa cemburu berkepanjangan yang menyiksa batin Rosa, membuat Rosa sering sakit-sakitan. Kondisi fisiknya semakin lemah. 

Rosa sadar bahwa Haryadi secara fisik memang miliknya, namun secara batiniyah tidak. Haryadi memendam rasa cinta yang sangat mendalam pada Ningrum, hatinya tak bergeming dari Ningrum.

Bahkan pernah Haryadi berdoa 

“Ya Allah jodohkanlah saya dengan Ningrum” 

Namun Allah punya maksud tersendiri yang tidak bisa ditebak oleh manusia. Itulah sebabnya Allah tidak menjodohkan Haryadi dan Ningrum. 

Rosa tidak bisa menerima keadaan ini, Rosa ingin memiliki Haryadi seutuhnya, padahal Haryadi sudah berkali-kali menyatakan bahwa Rosa adalah satu-satunya wanita yang sangat dicintai. 

“Lalu kenapa itu di meja kerjamu masih juga aku dapatkan tulisan NR dibeberapa tempat,” tanya Rosa pada suatu hari.

“Oh,…itu NR itu adalah kepanjangan dari N-methyl-D-aspartate receptor, itu ada kaitannya dengan anti nyeri" 

"Buanglah jauh-jauh pikiran negatifmu padaku. Kapan kamu bisa sehat kalau kamu selalu negatif thinking” 

Namun perasaan seorang wanita memang kuat. Perasaan Rosa tak dapat dikelabuhi dengan kasih sayang yang berlebih. 

Memang benar. Bagi seorang wanita, lebih baik dicintai dari pada mencintai. 

begitulah cinta, ada kalanya menyenangkan, menyehatkan, memotivasi dan sebagainya, tapi ada kalanya cinta itu menyakitkan dan mematikan. 

Cinta itu egois, yang kita cintai hanya milik kita, orang lain tidak berhak memilikinya, sekalipun kepemilikan itu hanya dalam hati.

Setibanya di rumah sakit, Haryadi langsung menuju kamar Rosa. Sebagai seorang dokter Haryadi tahu betul penyakit yang diderita oleh isterinya. 

Haryadi menyerahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Didekatinya tempat tidur Rosa. 

Rosa tergolek lemah, badannya kurus. Diciumnya kening isterinya, iba rasanya melihat Rosa seperti itu.

“Sembuhlah sayang, nanti kita bulan madu lagi bersama,” bisiknya ditelinga Rosa. 

Rosa membuka matanya pelan, kemudian tersenyum.

“Ya….aku harapkan itu,” kata Rosa lirih.

“Banyak-banyaklah membaca kalimat thoyyibah, istighfar….sebut Asma Allah, Allah…Allah…Allah…” Haryadi membisikkan asma Allah ditelinga Rosa.

“Ayo sayang…terus jangan putus… Allah…Allah….Allah…Allah…”. Rosa menirukan ucapan suaminya. 

Dengan sangat lemah dia menyebut 

“Allah..Allah..Allah..Allah..Allah..” suaranya lirih, semakin lemah…..

semakin lemah...semakin lirih..lirih..

Dan lirih sekali..dan..akhirnya tak terdengar lagi. 

Rosa terdiam...

Tak mampu mengucapkan sepatah katapun, napasnya pun telah tiada. 

“Innalillahi wainnaailaihi rooji’uun.” ucap Haryadi. 

Rosa meninggal dengan menyebut asma Allah diakhir hayatnya. 

Haryadi mengusap wajah Rosa dengan telapak tangannya, sampai matanya rapat terpejam. 

Sebagai orang yang bijaksana Haryadi tidak lantas tergopoh gopoh untuk memberitakan pada sanak kerabatnya. Ia duduk disamping jenazah isterinya sambil mengenang semua kebaikan yang pernah dilakukan oleh isterinya. 

Mohon kepada Allah untuk diampuni segala dosanya dan ditempatkan ditempat yang layak disisiNya. 

“Betapa tulusnya cintamu padaku…. Sampai cinta itu kau bawa mati"

"Maafkan aku Rosa. Andai saja kamu bisa hidup kembali, aku akan selalu temani kamu siang dan malam, aku lantunkan lagu cinta untukmu" 

"Tapi aku hanyalah makhluk yang tak berdaya, aku hanya menjalani saja rencana Allah” bisik Haryadi lirih

“Ya Allah ampuni dan kasihanilah isteri hamba, jauhkan dia dari siksa kubur dan siksa api neraka, hapuskanlah semua dosa-dosanya, dan masukkanlah dia ke dalam surgamu. Aamiin.”

oOo

Di rumah Haryadi, para pelayat sudah berdatangan. 

Reni dan Rina yang masih balita tak dapat menahan tangisnya, lebih-lebih Rina yang sebenarnya masih menyusu. 

Kedua balita tersebut terus menangis meronta-ronta, dari pagi mereka sudah ingin ikut ayahnya untuk ketemu Ibunya. Mungkin mereka merasa akan berpisah dengan Ibunya di hari itu. 

Selamat jalan Rosa (bersambung)

Posting Komentar untuk "Layang-layang Ditelan Badai (35)"